Jakarta -
Indonesia baru saja masuk menjadi anggota BRICS. Upaya dedolarisasi yang dibesut BRICS menjadi salah satu yang jadi sorotan. Sejauh ini Indonesia sendiri memang sudah memulai upaya mengurangi penggunaan Dolar AS.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu pernah mengatakan sejauh ini Indonesia sebetulnya sudah memiliki inisiatif yang sama, mengurangi transaksi dengan dolar AS. Indonesia sudah memiliki kebijakan Local Currency Settlement (LCS) dengan beberapa negara, salah satunya dengan China. Upaya ini sudah dilakukan jauh hari sebelum Indonesia jadi anggota BRICS.
"Tapi kita sebetulnya sudah mempunyai inisiatif-inisiatif seperti itu. Seperti LCS, Local Currency Settlement, misalnya kita mau berdagang dengan Tiongkok, kita nggak usah dari rupiah ke dolar baru ke yuan. Kita sebetulnya sekarang sudah bisa dari rupiah ke yuan," beber Mari di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (7/1/2025) yang lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mari melanjutkan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS memang ada kemungkinan bisa mempercepat kebijakan pengurangan penggunaan dolar AS. Hanya saja dalam waktu dekat ini, Mari meyakini dolar AS masih cukup dominan transaksinya di dunia.
Dia menilai upaya menggunakan mata uang selain dolar AS menjadi hak berbagai negara, termasuk Indonesia, ataupun negara-negara BRICS. Mari bahkan percaya, upaya keluar dari dominasi dolar AS akan menjadi tren baru di dunia keuangan internasional. Hanya saja memang saat ini dominasi dolar AS masih dinilai sangat kuat.
"Dan saya rasa itu suatu perkembangan dalam dunia international finance yang memang akan terjadi lambat laun, tapi orang masih melihat bahwa dolar untuk sementara masih akan dominan," kata Mari.
Kebijakan dedolarisasi sendiri tentu ada keuntungan dan juga kerugiannya, Seperti apa yang dihadapi Indonesia?
Dari segi keuntungannya, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan ada empat hal yang bisa didapatkan Indonesia. Pertama, Indonesia bisa mengurangi kerentanan ekonomi terhadap gejolak nilai Dolar AS dan kebijakan moneter Amerika Serikat. Kedua, biaya transaksi perdagangan internasional bisa ditekan karena tidak perlu lagi ada konversi mata uang ganda.
"Ketiga, ini bisa membuka jalan bagi penguatan rupiah sebagai mata uang regional, terutama dalam perdagangan dengan negara-negara BRICS lainnya. Keempat, dedolarisasi bisa meningkatkan kedaulatan ekonomi kita dengan mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan yang didominasi oleh AS," ujar Yusuf Rendy ketika dihubungi detikcom, Minggu (12/1/2025).
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan dedolarisasi dinilai bisa memperkuat ketahanan sistem moneter Indonesia khususnya dari fluktuasi nilai tukar Dolar yang berlebihan.
"Saat Dolar Index berada di posisi 109,6 yang berarti Dolar tengah alami penguatan. Situasi ini bisa dimitigasi dengan kurangi ketergantungan Dolar dalam pembayaran, utang luar negeri dan perdagangan," beber Bhima ketika dihubungi detikcom.
Keuntungan berikutnya adalah independensi sistem moneter saat Indonesia dikenai sanksi oleh AS dan negara barat. Karena gabung ke BRICS barang Indonesia yang dikenai sanksi bisa menggunakan alternatif pembayaran selain Dolar.
Risiko Dedolarisasi
Nah, Bhima mengungkapkan dedolarisasi bukan tanpa hambatan juga. Risiko sanksi politik dan ekonomi membayangi Indonesia dari negara barat karena mengurangi Dolar. Bisa saja negara barat mengurangi bantuan atau pinjaman ke Indonesia.
"Risiko kerugiannya adalah tekanan politik dan ekonomi dari negara barat meningkat, mungkin mengurangi bantuan dan pinjaman misalnya terkait JETP (Just Energy Transition Partnership) atau kerjasama pendanaan transisi energi," sebut Bhima.
Risiko kedua adalah dari Amerika Serikat secara langsung, bisa saja fasilitas-fasilitas kemudahan perdagangan yang dinikmati Indonesia seperti GSP akan dicabut dan membuat produk Indonesia kalah saing di pasar Amerika.
Direktur China-Indonesia Desk CELIOS Muhammad Zulfikar Rakhmat menambahkan Presiden Terpilih AS Donald Trump sudah memberikan ancaman ke negara BRICS soal dedolarisasi yang mau dilakukan. Ancaman ini perlu diwaspadai sebagai risiko yang cukup besar.
"Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, US memberlakukan tarif 100% pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah," sebut Zulfikar dalam keterangannya.
"Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS " ungkapnya menambahkan.
(kil/kil)