Jakarta -
Para pekerja mitra PT Pos Indonesia (Persero) melalui Federasi Serikat Pekerja ASPEK Indonesia menyampaikan sejumlah keluhan kepada Komisi VI DPR RI. Keluhan tersebut berkaitan dengan beban kerja yang ditanggung para pekerja.
Presiden FSP ASPEK Indonesia Abdul Gofur mengatakan, terdapat sejumlah isu yang dialami para pekerja mitra dari Pos Indonesia dengan jumlah sekitar 15.000 mitra. Hal ini mulai dari status kerja, kewajiban, hingga pemenuhan hak, termasuk upah.
"Dengan status mitra ada lebih dari 15.000 seluruh Indonesia. Artinya, jumlahnya itu sampai 70-80%. Apa saja yang dikerjakan? Ada mitra antaran yang tugasnya mengantar paket atau surat. Lalu mitra loket melayani penjualan materai, perangko, layanan uang, cashless dan lain-lain," kata Gofur, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VI DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa hal yang disuarakannya salah satunya status kerja. Status kerja yang dipergunakan Pos Indonesia untuk para pekerja ini ialah kemitraan. Menurutnya dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri hanya ditetapkan status karyawan tetap atau karyawan organik, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), serta outsourcing.
"Regulasi apa yang mengatur status kemitraan di perusahaan BUMN. Dalam kontrak kerja, isinya tidak sesuai dengan yang disesuaikan UU Ketenagakerjaan," ujarnya.
Padahal, menurut Gofur, lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja mitra ini merupakan inti bisnis atau core business dari Pos Indonesia sendiri, yang juga dikerjakan oleh pekerja tetap. Selain itu, pihaknya juga menyoroti jam kerja yang cukup padat, mencapai 200 jam/bulan.
Apabila target 200 jam/bulan tersebut tidak tercapai, maka para pekerja mitra akan dikenakan denda sehingga upah yang diterima akan kena potong. Kondisi ini membuat para pekerja mitra tidak memiliki waktu libur, apalagi cuti.
"Untuk memenuhi waktu kerja, 200 jam menyebabkan tidak memiliki waktu libur dan harus bekerja mengingat apabila kurang, maka teman-teman akan dikenakan denda. Sementara di UU Ketenagakerjaan mengatur jam kerja 8 jam/hari, 40 jam/minggu, secara total 1 bulan 160 jam. Bisa dikatakan mustahil bisa dapat waktu libur, apalagi cuti," kata dia.
Para pekerja juga tidak mendapatkan jaminan sosial, baik itu BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan dari perusahaan. Begitu pula dengan Tunjangan Hari Raya (THR), tidak mereka dapatkan dari perusahaan.
"Adapun yang mereka dapat atas hasil belas kasihan dari teman-teman Pos Indonesia yang organik. Mereka patungan Rp 10.000 s.d Rp 20.000, dikumpulkan lalu dibagi. Itupun satu orang bisa dapat mungkin Rp 50.000 s.d Rp 100.000," terangnya.
Di samping itu, persoalan gaji juga menjadi poin aduan yang disampaikan. Gofur mengatakan, para pekerja mitra mendapatkan gaji yang terbilang minim, jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Gaji hanya dibayarkan paling tinggi Rp 2,5 juta s.d Rp 3 jutaan.
"Yang diterima sama dengan fee dari pengantaran transaksi paling besar Rp 2,5 juta s.d Rp 3 juta. Belum harus melakukan perawatan motor sendiri, bayar pajak sendiri, service sendiri, bayar pajak sendiri. Namun dalam laporan keuangan Pos Indonesia tiap tahun labanya tinggi, tapi tak pernah sampai kesejahteraan itu," ujar Gofur.
Sementara itu, Sekjen FSP Aspek Indonesia Encep Supriyadi mengatakan, para pekerja juga diminta untuk menyerahkan ijazah kelulusan ataupun Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) asli sebagai jaminan. Menurutnya, seharusnya langkah demikian tidak boleh dilakukan.
Atas hal ini, ia berharap agar para pekerja ini bisa mendapatkan kehidupan pekerjaan yang lebih baik. Salah satunya dari segi status pekerja, harapannya bisa naik menjadi pekerja kontrak.
"Harapan kami bisa menjadi pekerja kontrak di Pos Indonesia, bukan sebagai mitra Pos. Karena ini ada beberapa melanggar UU maupun hasil putusan MK kemarin 168/2023. Status pekerja mereka seharusnya karyawan kontrak, dalam UU saja melebihi 3 tahun menjadi karyawan tetap," ujar Encep.
(shc/kil)