Jakarta -
Langkah pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China dalam melakukan 'gencatan senjata' perang dagang meredakan kekhawatiran gonjang-ganjing perekonomian global. Kondisi ini diproyeksikan akan memberikan sentimen positif sekaligus tantangan bagi ekonomi Indonesia.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kesepakatan kedua negara itu diperkirakan dapat memulihkan harga komoditas unggulan ekspor Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, hingga menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum. Kedua, pelemahan kurs rupiah juga cenderung tertahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pelemahan kurs rupiah cenderung tertahan, membuat efek imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil," kata Bhima saat dihubungi detikcom, Selasa (13/5/2025).
Selain itu, menurutnya, cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah. Harga emas sebagai safe haven juga terpantau mulai menurun seiring persepsi risiko geopolitik dan resesi global yang reda.
Sementara itu, Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai aksi 'gencatan senjata' ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga emas mulai melandai. Pergolakan juga semakin mereda ditambah dengan penurunan tensi geopolitik antara Israel dengan Palestina.
"Ini yang sedikit membuat kegaduhan geopolitik, kemudian kegaduhan perang dagang, ini sedikit landai. Ini yang membuat harga emas itu turun. Kemudian di sisi lain pun juga kebijakan bank sentral Amerika kemungkinan besar akan membahas tentang penurunan suku bunga bulan Juli," kata Ibrahim, dihubungi terpisah.
Namun demikian, nilai dolar terhadap mata uang negara lainnya justru diperkirakan akan mengalami penguatan di kemudian hari. Ia juga meyakini bahwa kondisi penurunan harga emas sendiri tidak akan berlangsung lama. Salah satu pendorongnya, konflik Rusia-Ukraina masih terus berjalan.
"Rupiah ini akan masih bertahan di Rp 16.500. Kemudian harga emas dunia, walaupun terkoreksi, kemungkinan akan kembali bangkit. Karena untuk menyentuh level US$ 3.180 (per troy ons) itu belum kena, dan sekarang kembali ke atas," ujarnya.
RI Tetap Perlu Waspada
Di sisi lain, Ibrahim mengingatkan, walaupun ada sedikit ketenangan di pasar akibat 'gencatan senjata' selama 90 hari ini, belum tentu pergolakan ekonomi global seketika sirna. Para investor pun terpantau kini memasang mode 'waswas'.
"Bagi pasar itu masih waswas juga. Selama 90 hari tidak diterapkan biaya impor, tapi setelah 90 hari akan diterapkan biaya impor, yaitu impor Tiongkok ke Amerika 30%, impor Amerika ke Tiongkok 10%. Artinya apa, masih akan ada perang dagang," kata dia.
Bhima juga memberi peringatan serupa. Dampak rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi.
Sedangkan untuk dampak terhadap kemungkinan PHK di sektor padat karya, ini akan bergantung pada seberapa kecil tarif yang akan dibebankan ke Indonesia. Menurut Bhima, jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China.
"Investasi dari AS dan negara Eropa justru masif ke China dibanding negara alternatif lainnya termasuk ke Indonesia. Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah Q1 2025 PMTB tercatat kontraksi -7,4% (q to q) dibanding kuartal sebelumnya," ujar Bhima.
Pemerintah Perlu Lebih Agresif
Menurutnya, Indonesia harus lebih agresif melobi AS dengan gunakan pembaruan IUPK Freeport, dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport. Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China.
"Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%. Tetap perlu diwaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi. Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS," kata dia.
(shc/eds)