Perang Dagang AS vs China Mereda, Rupiah Bisa 'Berotot' Lagi

7 hours ago 2

Jakarta -

Langkah 'gencatan senjata' perang dagang yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan China membawa sedikit angin segar bagi perekonomian global. Kondisi ini diproyeksikan akan memberikan sentimen positif sekaligus tantangan bagi ekonomi Indonesia.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyoroti sejumlah dampaknya terhadap Indonesia. Pertama, harga komoditas unggulan ekspor Indonesia diperkirakan berlangsung pulih.

Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum. Kedua, pelemahan kurs rupiah cenderung tertahan, membuat efek imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah. Harga emas sebagai safe haven mulai menurun seiring persepsi risiko geopolitik dan resesi global yang reda," kata Bhima, saat dihubungi detikcom, Selasa (13/5/2025).

Namun demikian, Bhima mengatakan, dampak rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi.

Sedangkan untuk dampak terhadap kemungkinan PHK di sektor padat karya, ini akan bergantung seberapa kecil tarif yang akan dibebankan ke Indonesia. Menurut Bhima, jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China.

"Investasi dari AS dan negara eropa justru masif ke China dibanding negara alternatif lainnya termasuk ke Indonesia. Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah Q1 2025 PMTB tercatat kontraksi -7,4% (q to q) dibanding kuartal sebelumnya," ujarnya.

Di sisi lain, menurutnya, Indonesia harus lebih agresif melobi AS dengan gunakan pembaruan IUPK Freeport, dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport. Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China.

"Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%. Tetap perlu diwaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi. Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS," kata dia.

Investor Masih Was-was

Sementara itu, pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengingatkan, walaupun ada sedikit ketenangan di pasar akibat 'gencatan senjata' selama 90 hari, namun investor tetap was-was.

"Bagi pasar itu masih was-was juga. Selama 90 hari tidak diterapkan biaya impor, tapi setelah 90 hari akan diterapkan biaya impor, yaitu impor Tiongkok ke Amerika 30%, impor Amerika ke Tiongkok 10%. Artinya apa, masih akan ada perang dagang," kata Ibrahim, dihubungi terpisah.

Di sisi lain, saat ini harga komoditas emas dunia terpantau sedikit melandai. Hal ini didorong oleh 'gencatan senjata' sementara tersebut, ditambah dengan penurunan tensi geopolitik antara Israel dengan Palestina. Bahkan kemungkinan besar AS akan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat dalam pertemuan di Arab Saudi nanti.

"Ini yang sedikit membuat kegaduhan geopolitik, kemudian kegaduhan perang dagang, ini sedikit landai. Ini yang membuat harga emas itu turun. Kemudian di sisi lain pun juga kebijakan bank sentral Amerika kemungkinan besar akan membahas tentang penurunan suku bunga bulan Juli," ujarnya.

Tidak hanya harga emas dunia jatuh, nilai dolar terhadap mata uang negara lainnya juga diperkirakan akan mengalami penguatan. Meski demikian, Ibrahim meyakini bahwa kondisi penurunan harga emas sendiri tidak akan berlangsung lama. Salah satu pendorongnya, konflik Rusia-Ukraina masih terus berjalan.

"Rupiah ini akan masih bertahan di Rp 16.500. Kemudian harga emas dunia, walaupun terkoreksi, kemungkinan akan kembali bangkit. Karena untuk menyentuh level US$ 3.180 (per troy ons) itu belum kena. Dan sekarang kembali ke atas," katanya.

(shc/eds)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial