Jakarta -
Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali menerapkan kebijakan proteksionisme perdagangan yang memicu perang dagang dengan China. Kebijakan proteksionisme AS dinilai akan meningkatnya eskalasi ketegangan global dan memberikan dampak luas bagi rantai pasok dunia.
Indonesia sendiri tak terlepas dari kenaikan tarif baru AS yang ditetapkan hingga 32%. Begitu juga dengan negara-negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam yang dikenakan tarif sebesar 46% dan Kamboja 49%.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional sekaligus Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ariawan Gunadi mengatakan, kebijakan tersebut bukan hal yang mengejutkan. Pasalnya, Presiden AS Donald Trump sendiri telah memberi sinyal sejak masa kampanye.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Trump sudah memberi sinyal akan "menghukum" negara-negara yang dinilai berkontribusi terhadap defisit perdagangan AS. Kini, janji itu ditepati dengan pukulan tarif tinggi, terutama kepada negara-negara anggota BRICS. Indonesia, yang kian erat berkolaborasi dengan Tiongkok, kini masuk dalam radar target," kata Ariawan dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (10/4/2025).
Dengan kenaikan tarif sebesar 32%, Ariawan menilai produk ekspor Indonesia ke AS akan mengalami lonjakan harga yang signifikan. Akibatnya, daya saing produk nasional bisa tergerus dan memicu penurunan permintaan dan berkurangnya pangsa pasar.
Adapun sektor-sektor strategis yang terdampak seperti manufaktur, tekstil, elektronik, hingga otomotif berpotensi terdampak paling besar. Tak hanya itu, kebijakan ini juga dapat menghambat investasi asing ke Indonesia, mengingat AS menjadi salah satu sumber investasi utama di sektor industri dan teknologi.
Mitigasi Redam Proteksionisme Trump
Ariawan menilai, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah taktis dengan cara melakukan diversifikasi pasar untuk mengurangi ketergantungan pada AS sebagai mitra dagang utama. Perluasan pasar ekspor RI dapat dilakukan ke kawasan yang lebih stabil dan tidak terlalu rentan terhadap kebijakan proteksionisme seperti Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengoptimalisasi perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan berbagai negara agar produk-produk Indonesia memiliki akses yang lebih luas di pasar global. Namun begitu, diversifikasi pasar saja tidak cukup. Menurutnya, RI juga harus memainkan strategi diplomasi ekonomi yang cermat.
"Dengan perang dagang antara AS dan Tiongkok yang terus memanas, Indonesia perlu menjaga keseimbangan geopolitik dan tidak terjebak dalam tarik-ulur kepentingan kedua kekuatan besar itu. Bermain fleksibel di antara blok Barat dan Timur akan menjadi kunci untuk mempertahankan posisi Indonesia dalam rantai perdagangan global," jelasnya.
Ia menilai, instrumen hukum perdagangan internasional harus segera diaktifkan untuk melindungi kepentingan industri dalam negeri. Pertama, pemerintah perlu menerapkan safeguard measures untuk menekan dampak lonjakan impor yang berpotensi merugikan industri lokal.
"Misalnya, pada September 2024, Indonesia telah memulai investigasi safeguard terhadap produk polietilena yang mengalami peningkatan impor signifikan. Langkah serupa bisa diterapkan pada sektor lain yang terdampak kebijakan tarif AS," jelasnya.
Selain itu, Ariawan menilai perlu ada penerapan countervailing duties (CVD) untuk mengimbangi subsidi yang diberikan negara lain kepada produsen ketika ditemukan praktik subsidi yang menyebabkan persaingan tidak sehat sebagai upaya melindungi industri domestik.
Meskipun pada Desember 2023 investigasi CVD terhadap produk kasur dari Indonesia menghasilkan determinasi negatif, pemerintah harus tetap waspada dan tidak ragu menindak praktik serupa di sektor lain. Ariawan menambahkan, anti-subsidy measures menjadi instrumen krusial melindungi pasar domestik dari produk impor yang disubsidi secara tidak adil oleh negara asalnya.
"Uni Eropa, misalnya, telah menerapkan kebijakan anti-subsidi terhadap baja tahan karat asal Indonesia dan memperluasnya ke Taiwan, Vietnam, dan Turki. Langkah serupa bisa dipertimbangkan untuk melindungi sektor-sektor strategis dari praktik perdagangan yang tidak adil," jelasnya.
Lebih jauh, Ariawan menilai pemerintah perlu memperkuat diplomasi perdagangan melalui negosiasi bilateral dan multilateral guna mencari solusi terbaik atas tarif tinggi ini. Menurutnya, upaya diplomasi yang tepat dapat membantu meredakan ketegangan sekaligus membuka peluang kerja sama yang lebih menguntungkan bagi Indonesia di kancah internasional.
"Kebijakan tarif agresif Trump menuntut Indonesia untuk segera bertindak. Diversifikasi pasar, penguatan instrumen hukum perdagangan internasional, dan penguatan diplomasi ekonomi harus dilakukan secara simultan dan terarah. Jika tidak, ekonomi nasional akan semakin rentan terhadap dampak kebijakan proteksionisme global. Tidak ada waktu untuk bersikap pasif, Indonesia harus bergerak cepat sebelum terlambat," tutupnya.
(kil/kil)