Menata Parlemen yang Merakyat

4 weeks ago 23

Jakarta -

Konstalasi politik yang semakin dinamis turut menempatkan kelembagaan DPR sebagai objek sorotan. Pada kenyataannya, DPR belum juga mampu bangkit dari kubangan sinisme yang cukup akut. Teranyar, survei Indikator Politik Indonesia, persepsi publik memposisikannya di tempat terendah dari belasan lembaga negara, dengan persentase kepercayaan di angka 69%. Hanya setingkat lebih tinggi dari produsennya, partai politik, yang berada di angka 62%.

Sebagai lembaga politik, ihwal tentang DPR dengan segala kompleksitas yang mengitarinya bukanlah realitas yang baru. Suatu hal yang sulit dimungkiri, lembaga itu masih bersitegang (vis a vis) dengan rakyat yang diwakilinya. Sebuah kenyataan yang seharusnya makin terkikis seiring sejumlah kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pun karena sejatinya lembaga tersebut merupakan manifestasi kehendak rakyat.

Komunikasi Politik

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

DPR dan rakyat adalah dua subjek yang teraktualisasi dalam sebentuk komunikasi. Ketidaksepahaman antara kedua belah pihak bisa jadi ditengarai oleh sekumpulan persepsi yang tidak sama, adil dan setara. Konstalasi ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman tentang dunia sosial yang menyelubungi perspektif keduanya. Paradigma politik yang begitu kuat di lingkungan kerja DPR tidak berjalan seiring dengan paradigma rakyat tentang dunia sosial yang sedang mereka hadapi.

Pada titik inilah diperlukan komunikasi intersubjektif. Komunikasi yang mendudukkan keduanya dalam aras yang sama dan setara, dengan saling memasuki relung pikir sambil tidak mengabaikan posisi masing-masing. Huru-hara wacana dan ide yang bertebaran dan saling dikonsumsi di gedung DPR seharusnya memang berkisar seputar diskursus-diskursus kerakyatan. Sehingga muara dari semua perbincangan dan perkataan berujung pada kebijakan yang merakyat. Hanya dengan demikian, konsensus bisa tercapai. Saling menyepakati objek-objek perdebatan untuk dihasilkan sebagai kesimpulan bersama.

Merujuk pada rilis beberapa lembaga survei, posisi dan peran DPR selalu berada dalam titik terendah. Baik dari segi kinerja kelembagaan, output regulasi, maupun karakter integritas para pemangku jabatan di dalamnya. Terlepas dari perdebatan konseptual tentang posisi dan peran tersebut, DPR sejatinya berkaca pada cermin yang lebih objektif. Bukan untuk menafikan persepsi yang juga tidak lepas dari konstruksi opini dan media, tapi juga membangun citra dan wibawa positif di tengah sinisme yang sudah terlanjut akut.

Tentu saja tidak semua persepsi publik merupakan kebenaran yang diterima begitu saja (taken for granted). Namun sudah pada tempatnya untuk senantiasa membangun dialog yang berkelanjutan dengan lebih mengoptimalkan simpul-simpul pelibatan publik dalam setiap kerja-kerja politik parlemen.

Sudah saatnya DPR semakin membuka diri dalam menerima berbagai kritikan publik. Keterbukaan tidak diartikan dengan membuka seluruh selubung politik yang memang tidak bisa dilepaskan dari rahim politik kepartaian. Tapi keterbukaan dimaknai sebagai kesediaan menjalin dialog konstruktif, mendebatkan argumentasi, lalu menyajikannya dalam ruang publik. Sejauh opini dan gagasan dikemukakan secara terbuka, sejauh itu pula ide akan menjadi konsumsi yang bisa dievaluasi dan dikritisi.

DPR tidak menafikan kritik sebagai tabiat publik. Seperti halnya DPR tidak menolak untuk dievaluasi sebagai ciri kehidupan berdemokrasi. DPR maupun publik tentu menyadari ketidakmungkinan untuk menyatukan pemahaman yang bulat secara bersama-sama. Namun, kita bisa menempatkannya dalam lokus komunikatif, di mana DPR dan publik senantiasa mengkomunikasikan kebijakan yang dipandang benar dan menempatkannya sebagai sesuatu yang bersifat deliberatif.

Menata Lembaga

DPR telah menjadi poros rasionalitas di mana suara rakyat berlalu-lalang tiada henti. Suara-suara rakyat yang terbiasa nyaring terus dihidupkan dan diputarkan dalam setiap momen pertemuan, rapat, dan sidang di gedung wakil rakyat. Para wakil hanya bersuara, sebagaimana rakyat yang terbiasa bersuara. Para wakil rakyat menyelesaikan persoalan dengan kata-kata, karena tugas mereka memang berkata-kata.

Meski demikian, di antara suara nyaring tersebut, sesekali terdengar nada sumbang. Kita tidak menutup mata tentang mereka yang terlibat dan berkalang kasus. Kita tidak menutup telinga tentang mereka yang berulangkali menerima pengaduan dan kehilangan kepercayaan dari rakyat. Meski mereka adalah orang terpilih, namun mereka hanyalah manusia biasa. Meski mereka disebut "terhormat", mereka tidak lepas dari jeratan institusi yang dapat mencabut status kehormatannya.

Di era keterbukaan, tuntutan pada kelembagaan DPR yang responsif dan acceptable menjadi keniscayaan. Evaluasi dan kritik adalah vitamin yang mampu merangsang kinerja. Menutup mata dan telinga hanya mengulang sejarah masa lalu yang telah terbukti menciptakan kehancuran. Atas dasar itulah, DPR perlu meluruskan dan mematangkan strategi kerja dalam mesin demokrasi yang sesungguhnya.

Pematangan konsep tentang kelembagaan perwakilan harus merujuk pada esensi dari tujuan demokrasi itu sendiri. Melindungi segenap kepentingan bangsa, mewujudkan masyarakat berkeadilan dan berkesejahteraan adalah visi dan misi yang memerlukan dialog secara terus-menerus. Segala bentuk sumber daya yang dimiliki oleh kelembagaan DPR terfokus pada upaya perwujudan tersebut, yang lahir dalam percaturan ide dan gagasan, bukan semata kepentingan. Muncul dari sekumpulan argumen, bukan sentimen, terkuak dalam momen-momen diskusi, bukan caci-maki.

Memang, kompleksitas politik parlemen menghadirkan berbagai macam keluh dan kesah, apresiasi dan puja-puji. Terkadang juga pada titik ekstrim muncul desakan untuk membubarkan lembaga DPR yang justru "terlahir kembali" sebagai amanat reformasi. Tapi, kita tidak ingin membawa pendulum berbalik ke masa lalu, sebagaimana kita juga tidak ingin kelembagaan DPR hanya menjadi benalu dalam ingatan publik.

Menyongsong awal masa sidang 2025, DPR dituntut untuk berbenah, menghadirkan suasana teduh dan memfasilitasi berbagai solusi bagi persoalan bangsa dan negara. Publik berharap diberi ruang dan celah untuk memberi respons konstruktif, melahirkan gagasan-gagasan yang mampu memperkuat kelembagaan DPR sebagai wadah konstitusional penyalur aspirasi rakyat. Hingga pada gilirannya kita menyaksikan DPR dan publik saling bersanding erat dalam menata masa depan kehidupan rakyat yang lebih baik.

Adlan Nawawi pengajar Program Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, Tenaga Ahli MKD DPR 2019-2023

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial