Mampukah KPPU Menghukum Google?

4 weeks ago 24

Jakarta -

Raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Google, kini tersandung masalah hukum di Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan denda Rp 202,5 miliar kepada Google atas dugaan praktik monopoli melalui penerapan Google Play Billing (GPB) System yang dianggap membatasi ruang gerak kompetitor digital di Indonesia.

Google memang bukan perusahaan biasa. Selain mesin pencari yang melegenda, mereka menguasai sistem operasi Android, Gmail, Google Drive, Chrome, YouTube, Google Maps, hingga platform periklanan seperti Google Adsense. Data Statcounter per Januari 2025 menunjukkan dominasi Google sangat mencengkeram: 94,64% pangsa pasar mesin pencari, Android menguasai 67,66% sistem operasi, dan Chrome mendominasi 87,8% pasar browser.

Pertanyaannya, apakah dominasi ini problematik? Jawabannya: ya, ketika kekuatan monopoli (monopoly power) digunakan untuk praktik anti-persaingan. Inilah yang kini diperkarakan KPPU.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KPPU menemukan Google Play Store menguasai lebih dari 50% pangsa pasar distribusi aplikasi digital di Indonesia, jauh melampaui pesaingnya seperti Apple, Amazon, Huawei, Samsung, Xiomi, Tancent, Alibaba, Baidu, dan Oppo. Berdasarkan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Google Play Store telah memenuhi kriteria sebagai perusahaan dominan.

Mengapa Google bisa begitu dominan? Jawabannya terletak pada karakteristik unik pasar teknologi digital. Bayangkan sebuah benteng tinggi yang dijaga naga berbagai kepala, itulah pasar teknologi digital dengan struktur oligopolinya. Untuk masuk ke pasar ini, perusahaan baru harus menghadapi hambatan berlapis: investasi teknologi yang sangat besar, kebutuhan akan jejaring pengguna yang luas (network effect), skala ekonomi yang menuntut operasi besar-besaran, plus tuntutan inovasi tanpa henti.

Dengan kemampuan diversifikasi produknya yang luar biasa, Google, tidak hanya berhasil melewati benteng ini, tapi bahkan membangun kerajaan digital yang menciptakan ketergantungan ekosistem bagi penggunanya.

Masalahnya, Google mewajibkan semua pengembang aplikasi yang mendistribusikan melalui Google Play Store menggunakan GPB System dengan biaya layanan 15-30%. Jika menolak? Aplikasi mereka terancam dihapus dari Play Store. Kebijakan ini berdampak serius: harga aplikasi melonjak hingga 30%, transaksi menurun, dan pendapatan pengembang anjlok.

Kombinasi kebijakan yang memberatkan pengembang dan ancaman penghapusan aplikasi ini bukan sekadar masalah bisnis biasa. Menurut Pasal 17 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, tindakan Google Play Store ini telah memenuhi kriteria praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Google secara nyata menggunakan posisi dominannya untuk mendikte pasar, sesuatu yang justru dilarang oleh undang-undang anti-monopoli.

Bagi pengembang aplikasi, keluar dari ekosistem Play Store bukan pilihan mudah. Mereka harus mempertimbangkan penyesuaian antarmuka pengguna (user interface) dan pengalaman pengguna (user experience) --dengan investasi yang tidak murah.

Peran KPPU sebagai "wasit" di arena persaingan usaha teknologi menjadi semakin krusial. Di tengah pesatnya pertumbuhan pasar aplikasi digital, KPPU harus memastikan permainan berjalan adil dan sehat. Ini bukan tugas ringan, mengingat pasar platform distribusi aplikasi terus melaju dengan akselerasi tinggi, membuka peluang sekaligus risiko baru dalam lanskap persaingan usaha digital.

Data Verified Market Research memproyeksikan pasar distribusi aplikasi akan tumbuh 14,3% periode 2024-2030. Pertumbuhan ini didorong oleh gelombang digitalisasi yang tak terbendung: semakin banyaknya pengguna ponsel pintar, meroketnya tren e-commerce dan m-commerce, lompatan teknologi seluler yang semakin canggih, meluasnya ekosistem Internet of Things (IoT), hingga tuntutan pengalaman pengguna yang semakin tinggi.

Di Indonesia sendiri, dengan 221 juta pengguna internet yang menghabiskan 4,5 jam sehari di ponsel, potensi pasarnya sangat besar. Aktivitas pengguna terkonsentrasi pada media sosial, aplikasi belanja, streaming video, transportasi, dan game.

Denda Rp 202,5 miliar plus perintah penghentian kewajiban GPB System diharapkan mampu menghentikan praktik anti-persaingan. Langkah KPPU ini krusial untuk mendorong persaingan lebih sehat, membuka peluang pengembang baru, dan melindungi konsumen Indonesia.

Namun pertanyaan besarnya: mampukah KPPU "menghukum" sang raksasa teknologi? Kita tunggu hasil putusan hakim atas banding Google. Yang jelas, ini momen penting bagi penegakan hukum persaingan usaha pada era digital Indonesia.

Dyah Nirmalawati Taurusianingsih pengamat persaingan usaha, Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana Perbanas Institute

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial