Jejak Trauma Militer di Kampus

6 hours ago 7

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 29 April 2025

Bus-bus berwarna hitam bertulisan ‘Mabes TNI’ memasuki kawasan kampus Institut Pertanian Bogor pada Senin, 21 April 2025. Bus itu Mengangkut sekitar 100 perwira menengah TNI. Muhammad Afif Fahreza kaget bukan main, tak ada pemberitahuan apa pun dari kampus, tak ada poster kegiatan kerja sama yang terpampang.

Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) IPB itu pun menghimpun segenap mahasiswa untuk menempel poster ke seluruh penjuru kampus IPB. Isinya: kembalikan TNI ke barak.

Setelah mendesak kampus melakukan transparansi apa yang sedang terjadi, akhirnya Afif mendapatkan jawaban. Sekitar 100 perwira menengah tersebut hendak melaksanakan bimbingan teknis menyoal pertanian.

“Dengan kondisi yang terjadi hari ini (pengesahan UU TNI), yang kami sayangkan tak ada transparansi. Akhirnya, setelah melakukan dialog dan tuntutan, kami menemukan jalan tengahnya di mana kami diberi tahu surat tugas mereka adalah mereka ingin belajar terkait proyek strategis nasional yang hari ini diamanahkan ke TNI,” jelas Afif alias Kokoh.

Pihak kampus IPB pun akhirnya menerima kesepakatan yang dibuat dengan para mahasiswa terkait dengan aturan TNI masuk kampus. Salah satunya, jika ingin belajar di dalam kampus, harus melepaskan atribut seragam maupun senjata dan berkegiatan selayaknya sipil dengan pemberitahuan sebelumnya.

Direktur Kerja Sama, Komunikasi, dan Pemasaran IPB Alfian Helmi memahami betul kekhawatiran para mahasiswa. Ia juga menyadari adanya kelalaian tidak mengumumkan terlebih dahulu kegiatan tersebut ke sivitas akademika. Alhasil, tuntutan para mahasiswa diterima menyoal transparansi dan normalisasi kehadiran militer di kampus.

“Beberapa hal kita memang luput gitu ya untuk umumkan atau segala macamnya gitu karena kami pikirkan bukan acara yang luar biasa dan bukan acara publik. Jadi kami memandang masukan-masukan mahasiswa itu sebagai sivitas akademika kampus juga kami dengar semuanya karena mahasiswa itu kan bagian juga dari IPB, gitu,” jelas Alfian kepada detikX.

Ketua Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia atau BEM SI Herianto sepakat kehadiran militer di kampus, apalagi tanpa pemberitahuan atau tujuan, menjadi ancaman tersendiri bagi mahasiswa secara psikologis.

Demonstrasi mahasiswa di Brebes, Jawa Tengah, Jumat (28/3/2025).
Foto : Imam Suripto/detikJateng

Apalagi baru-baru ini memang secara bersamaan, di berbagai kampus, terdapat kemunculan TNI entah dengan alasan urusan pribadi maupun bekerja sama dengan pihak kampus.

“Namanya juga militer, kan pasti pegang senjata, apa pun itu, entah pistol entah senjata-senjata yang lain. Itu mengancam psikologi mahasiswa ataupun masyarakat,” jelas Herianto kepada detikX.

“Artinya kan, kalau tiba-tiba mereka masuk, apalagi kita masyarakat awam, tiba-tiba ditanyain identitas, kemudian hari kita lagi sendirian, tiba-tiba data kita sudah dimiliki militer, kan itu kita nggak tahu seperti apa jadinya. Itu sangat mengancam bukan hanya secara fisik, tapi secara psikologi itu berbahaya sekali,” lanjutnya.

Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK) Dhia Al Uyun mengatakan, berkaca dari kejadian masa lalu, kehadiran militer di kampus menjadi catatan buruk dalam ingatan sipil. Alhasil, dampaknya, kedatangan militer sekarang di kampus menimbulkan ketidaknyamanan bagi sivitas akademika.

“Kedatangan itu bukan untuk, katakanlah, diskusi. Bukan untuk bergabung dengan diskusi. Meskipun diskusi itu terbuka, bisa diakses siapa pun, masuknya itu dalam rangka melakukan dominasi: apakah itu dominasi perspektif, apakah itu dominasi pemikiran, dan bahkan melakukan penghakiman terhadap orang-orang yang ada di sana. Itu yang mengerikan,” tutur Dhia kepada detikX.

Oleh karena itu, SPK menolak pola-pola dominasi militer tersebut di ruang akademis. Apalagi aparat militer merupakan pihak yang bersenjata, yang merupakan alat negara. “Tetapi mereka menerjemahkan entitas mereka sebagai alat kekuasaan,” tandas Dhia.

Pengarsip dan sejarawan Muhidin M Dahlan atau yang akrab disapa Gus Muh menuturkan terdapat jejak trauma yang panjang antara kampus dan militer, hingga memunculkan istilah kembalikan militer ke barak.

Tonggak jejak pembungkaman kampus itu dimulai ketika diterbitkannya aturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) pada 1978. Ini dicanangkan pemerintah Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, yang ditandai dengan SK No. 0156/U/1978.

Musababnya, negara melihat kampus dan mahasiswa merupakan pengkritik yang mengancam legitimasi kekuasaan. Pembungkaman kampus dilakukan setelah rentetan pembungkaman partai politik yang tak bisa dikontrol dan dipaksa bergabung hingga menelurkan tiga partai besar, yakni Golkar, PPP, dan PDIP.

Melalui Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), yang terjadi pada 15 Januari 1974 di Jakarta, pemerintah mengkambinghitamkan dua pengkritik kebijakan negara lainnya: yakni pers dengan melakukan pemberedelan juga kampus dan mahasiswa melalui aturan NKK BKK.

Kerusuhan yang terjadi pada peristiwa Malari dilimpahkan pada mahasiswa. Petaka tersebut dianggap sebagai produk rapat-rapat besar yang dilakukan mahasiswa, terutama di Jawa, seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada.

Aktivitas politik mahasiswa dilarang total, dengan dalih mengembalikan kampus sebagai ruang akademik yang steril dari konflik ideologis. “Dalam bahasa itu mengkampuskan mahasiswa. Nah, yang pertama itu yang dikampuskan itu adalah sistemnya. Dewan mahasiswa dibubarkan. Organisasi ekstra kampus yang kritis di zaman Orde Lama ditentang semua ke luar kampus, seperti HMI, PMII, dan sebagainya itu,” terang Gus Muh.

TNI masuk ke kampus memiliki andil untuk menertibkan mahasiswa yang ngeyel berdiskusi maupun berpolitik. Jika mahasiswa ngeyel, sanksinya tak hanya dikeluarkan, tetapi bisa ditahan maupun dihukum mati.

Dalih penahanannya bisa bermacam-macam. Gus Muh menyebut aktivis mahasiswa tersebut bisa dikenai tuduhan tambahan, PKI jika mahasiswa itu bukan orang Islam. “Kalau dia Islam, maka tuduhannya itu dia mau mendirikan Negara Islam Indonesia, mengganti Pancasila, kan bisa dikenai pasal subversif,” katanya.

Wajah paranoia militer terhadap diskusi kampus bahkan menyebabkan sebuah seminar filsafat di kampus UGM pada masa lalu bertajuk ‘Seminar Tuyul’ harus dibubarkan. Sebab, seminar itu dituding militer berbau politis.

Selain itu, melalui kurikulum kampus, mahasiswa dikontrol dengan diterapkannya sistem kredit semester (SKS) lewat SK Mendikbud No. 0214/U/1979. Tujuannya, menstandarkan dan meningkatkan efisiensi proses belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa dituntut belajar dan lulus secepat mungkin agar tidak aktif dalam gerakan sosial politik.

Potret Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi.
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Peneliti militer Aris Santoso menyebut bahkan, pada masa itu, militer memiliki mata-mata di kampus. Mereka menunjuk mahasiswa untuk ‘dibina’ sebagai informan aparat. Ini menyebabkan perpecahan di kalangan mahasiswa itu sendiri.

“Ada juga intel setengah resmi di kampus, yaitu Menwa. Fungsi Menwa ini memang meredam gerakan mahasiswa, namun secara umum kegiatan Menwa kurang populer, khususnya di kampus negeri, karena dianggap kurang intelektual dan cenderung militeristik,” jelas Aris.

Seiring berjalannya waktu, meski jumlahnya minoritas, mahasiswa tetap aktif melakukan kegiatan politik walaupun harus secara sembunyi-sembunyi.

“Namun gerakan mahasiswa, meski minoritas di kampus, selalu melakukan kaderisasi, dan selalu saja ada mahasiswa yang ingin melawan Soeharto, dengan berbagai cara, baik perlawanan terbuka maupun ‘bawah tanah’ (klandestin),” tandas Aris.

Kapuspen TNI Brigjen Kristomei Sianturi membantah tudingan anggota TNI kerap memata-matai mahasiswa di kampus. Menurutnya, tidak ada permasalahan TNI dengan mahasiswa.

"TNI di kampus kan, masalahnya hanya dibesar-besarkan saja. Sebenarnya tidak ada permasalahan antara TNI dan teman-teman mahasiswa di kampus. Tidak ada," kata Kristomei dikutip dari detikNews di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis, 24 April 2025.

Kristomei merespons peristiwa diskusi mahasiswa di Jawa Tengah yang didatangi oleh sejumlah anggota TNI. Dia mengatakan Babinsa saat itu bukan untuk memata-matai, melainkan memonitor wilayah.

"Babinsa di situ bertugas tidak untuk memata-matai atau tidak untuk mengintimidasi kegiatan kampus. Tugas Babinsa adalah memonitor wilayah, sehingga dia bisa menyiapkan kantong-kantong perlawanan apabila terjadi perang semesta, perang gerilya, atau perang berlarut," ucapnya.

Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial