Efek Domino Harga Gabah Tanpa Syarat Kualitas

8 hours ago 10

Jakarta - Aturan yang bertujuan baik tidak selalu berbuah respons yang baik. Sebaliknya, bisa muncul reaksi berantai yang tidak diinginkan. Ini terjadi dalam kebijakan harga gabah terbaru. Lewat Keputusan Kepala Bapanas No. 14/2025 pada 24 Januari 2025 ditetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 6.500/kg gabah kering panen (GKP) di petani. Regulasi ini mengubah drastis isi Keputusan Kepala Bapanas No. 2/2025 yang mengatur hal yang sama.

Pertama, HPP gabah yang semula ada syarat kualitas kini ditiadakan. Kedua, rafaksi harga gabah juga ditiadakan. Tak ada lagi pengaturan pembelian GKP di penggilingan dan di gudang BULOG serta pembelian gabah kering giling (GKG). Semula beleid ini dimaksudkan untuk melindungi petani dari kerugian.

Sejak awal Januari 2025 daerah-daerah sentra produsen padi yang mulai ada panen, seperti di Jawa, Sumatera Selatan, Lampung, dan Aceh diguyur hujan lebat. Sebagian sawah bahkan dilanda banjir. Kualitas gabah amat dipengaruhi cuaca. Ketika panen bersamaan dengan mendung/hujan, mutu GKP bisa rendah. Mutu gabah semakin jelek tatkala padi terkena banjir. Kadar air yang biasanya 21–26% bisa melonjak di atas 30-35%. Kadar hampa naik, bulir gabah menghitam.

Ujung dari semua itu, harga gabah akan jatuh. Di sejumlah daerah dilaporkan harga GKP turun, bahkan terjun di bawah Rp 5.500/kg. Tak ingin menghukum petani dengan harga rendah akibat cuaca, lahirlah regulasi yang mengharuskan semua pihak membeli Rp 6.500/kg GKP, apapun kualitasnya.

Aturan baru ini, di satu sisi, menguntungkan petani yang memiliki gabah kualitas rendah. Di sisi lain, bersifat disinsentif bagi petani dengan gabah kualitas baik. Selain tak mendidik, regulasi ini juga melawan kaidah 'ada harga ada barang'. Artinya barang yang baik harus ditebus dengan harga sesuai.

Adanya 'harga dasar' Rp 6.500/kg ini telah dimanfaatkan pihak tertentu untuk meraih untung. Di sejumlah daerah dilaporkan petani memanen padi sebelum waktunya. Gabah yang dipanen masih hijau atau pengisian bulir belum penuh. Penggilingan, pedagang, dan penebas akan membeli gabah itu seharga Rp 6.500/kg. Setidaknya BULOG akan menjadi pembeli siaga (offtaker). Kalau menolak, siap-siap diperiksa polisi atau Satgas Pangan.

Tidak diketahui seberapa masif praktik 'panen sebelum waktunya' itu. Tetapi, praktik ini membuat rendemen gabah ketika diolah jadi beras bisa rendah. Ditambah gabah dipanen saat hujan/mendung, rendemen kemungkinan hanya 50%. Beras kemungkinan banyak butir patah dan butir kapur. Ujung dari semua ini, harga beras akan tinggi. Kalkulasi kasar kalau GKP Rp 6.500/kg dan ongkos kirim Rp 200/kg, harga beras Rp 13.400/kg. Belum termasuk ongkos mengolah.

Karena harga pembelian beras di gudang BULOG sebesar Rp 12 ribu/kg, hampir bisa dipastikan pengadaan BULOG tahun ini mayoritas dari penyerapan gabah, bukan beras. Yang berlangsung hari-hari ini adalah penyerapan gabah dengan sistem maklon atau jual jasa. Caranya, penggilingan (terutama yang tergabung di Perpadi) membeli gabah petani Rp 6.500/kg, ongkos kirim ke penggilingan Rp2 00/kg, gabah dikeringkan lalu digiling jadi beras.

Dengan jasa maklon Rp 700/kg dan rendemen 50%, harga beras mencapai Rp 14.800/kg. Itu pun belum tentu bisa memenuhi kualitas derajat sosoh 100%, serta maksimal kadar air, butir patah, dan menir masing-masing sebesar 14%, 25% dan 2%.

Ada perbedaan harga beras sekitar Rp 2.800/kg antara penyerapan gabah melalui maklon dan penyerapan beras. Artinya, kalau tahun ini pengadaan mayoritas diisi dari penyerapan gabah ada potensi 'kerugian' Rp 2.800/kg beras. Kalau pengadaan tercapai separuh target dan 75% berasal dari penyerapan gabah, potensi 'kerugian' mencapai Rp 3,15 triliun. Bagaimana BULOG akan mempertanggungjawabkan hal ini?

Bisa saja ini disiasati dengan membuat berita acara dalam setiap transaksi sebagai bagian prinsip akuntabilitas. Tetapi, selain rumit bagi BULOG, ini juga tetap membuka perilaku moral hazard. Bagaimana memastikan tidak ada karyawan BULOG yang masuk penjara?

Ini adalah efek domino dari kebijakan HPP gabah tanpa syarat kualitas dan tanpa harga rafaksi. Ini dampak ikutan dari kebijakan harga yang asimetris ke gabah. Kebijakan ini muncul karena ada pandangan yang salah yang terus dipelihara hingga kini. Bahwa kalau BULOG membeli gabah, petani akan untung. Sebaliknya apabila BULOG membeli beras, pedagang/penggilingan yang untung. Alasannya karena petani tidak menjual atau memiliki beras.

Karena pandangan semacam itu, pengadaan BULOG kali ini 80% berupa gabah. Tidak seperti tahun-tahun lalu yang 80% berwujud beras dan 20% sisanya berupa gabah. Kenapa? Pedagang/penggilingan enggan menyetor beras ke BULOG karena rugi.

Sejatinya yang penting adalah bagaimana BULOG dapat menyerap secara cepat saat panen dalam bentuk beras atau gabah. BULOG ditargetkan menyerap sebesar 3 juta ton beras hingga April. Penyerapan beras lebih cepat karena tahapan pengolahannya tidak harus melalui GKP ke GKG dengan kadar air 14%, dan kemudian GKG ke beras. Tapi bisa langsung dari GKP yang diproses jadi gabah kering sekitar kadar air 15% lalu jadi beras kadar air 14%.

Kian cepat penyerapan beras oleh BULOG, kian cepat pula penyerapan gabah dari mitra ke petani. Dengan demikian harga gabah akan lebih terangkat. Ini hanya mungkin terjadi ketika harga pembelian beras BULOG dinaikan menjadi Rp 13.000/kg.

Gabah adalah input atau bahan baku beras. Kalau HPP GKP dinaikkan berarti ongkos bahan baku membuat beras naik. Karena itu, seharusnya harga eceran tertinggi (HET) beras juga disesuaikan. Ketika HPP gabah naik sementara HET beras tetap, ini potensial menekan harga gabah. Jika ini terjadi, petani yang dirugikan. Bisa juga yang terjadi sebaliknya: harga gabah di atas HPP, seperti yang terjadi selama ini.

Setidaknya ada dua pilihan bagi penggilingan/pedagang. Pertama, mereka akan menjual beras sesuai HET beras tapi mengorbankan kualitas. Kedua, mereka menjual beras sesuai kualitas tapi dengan harga di atas HET. Peluang itu ada di pasar tradisional. Selama ini, meskipun ada ketentuan HET, pasar tradisional tidak pernah patuh --dan tak pernah ditindak juga.

Petani, pedagang, penggilingan, dan konsumen adalah unsur penting ekosistem perberasan nasional. Kebijakan pemerintah tidak seharusnya mengistimewakan salah satu pelaku dan menganaktirikan pelaku lainnya. Kebijakan HPP GKP tanpa syarat kualitas memberikan perlakuan lebih ke petani, tapi menganaktirikan penggilingan dan pedagang. Kebijakan seperti ini akan mengoyak keseimbangan ekosistem perberasan yang ada.

Agar tak muncul efek domino berkepanjangan, HPP gabah perlu dikembalikan ke kondisi semula: ada syarat kualitas dan harga rafaksi. Pembelian beras di BULOG juga dinaikan.

Khudori pengamat pertanian, anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), penulis buku 'Ironi Negeri Beras'

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial