Jakarta -
Ketika selembar ijazah lebih dipercaya daripada rekam jejak seorang presiden, maka demokrasi kita sedang demam tinggi. Polemik seputar keaslian ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) tidak lagi semata persoalan dokumen akademik. Ia telah menjelma menjadi ujian terhadap rasionalitas publik, integritas lembaga pendidikan, dan kejujuran dalam berpolitik. Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater Jokowi, terseret dalam pusaran fitnah yang mengancam kredibilitasnya sebagai institusi ilmu pengetahuan.
Dua skenario ekstrem membayang: jika tuduhan itu benar, maka sejarah bangsa perlu ditulis ulang. Namun jika fitnah, maka UGM bukan hanya korban, tapi juga simbol bahwa kampus bisa dijadikan bulan-bulanan oleh politik kebencian. Kedua skenario membawa konsekuensi serius, baik secara hukum, sosial, maupun moral.
Bila Ijazah Itu Palsu
Jika dugaan itu terbukti benar, artinya Indonesia telah dipimpin oleh seseorang yang melanggar syarat formal administratif paling mendasar sebagai pejabat publik: keabsahan ijazah. Ini bukan lagi skandal personal, tapi krisis konstitusional. Semua kebijakan, penunjukan pejabat, hingga perundang-undangan yang diteken presiden dapat dipersoalkan legitimasi hukumnya.
Bagi UGM, kasus ini mencoreng nama baik institusi. Ia bukan hanya kehilangan muka di hadapan publik nasional, tetapi juga di mata dunia pendidikan internasional. Ini sejalan dengan konsep institutional decay dalam sosiologi kelembagaan: hancurnya reputasi bukan karena satu kesalahan besar, tapi karena serangkaian kelalaian yang tak pernah ditanggapi serius.
Akreditasi internasional bisa terancam. Lulusan UGM di berbagai belahan dunia mungkin menghadapi stigma baru: ijazah Anda dari universitas yang gagal mengamankan standar akademik. Skandal seperti ini dapat menurunkan nilai akademik secara kolektif.
Jika Itu Fitnah: Lawan!
Rongrongan para penuduh ijazah palsu Jokowi memang tidak main-main. Bukan sekadar ujaran kebencian yang terus dilontarkan di media-media sosial, bahkan aksi massa terus dilakukan di berbagai tempat, hingga puncaknya di depan rumah Jokowi sendiri, para pembenci mengunci kasus ini dengan meminta Jokowi memperlihatkan ijazah asli.
UGM sebagai tempat kuliah terseret-seret dalam arus yang terus berputar-putar tak pernah berhenti selama bertahun-tahun. Meskipun, para penuntut telah diberikan berbagai bukti oleh pihak UGM bahwa Jokowi benar alumni UGM angkatan 1985, tapi tetap saja selalu ada celah yang dijadikan para pembenci Jokowi menolak berbagai bukti dan fakta kebenaran bahwa Jokowi memang alumninya.
Bagi UGM kasus ini adalah academic assassination—sebuah pembunuhan karakter yang menodai reputasi kampus demi agenda politik murahan. Fitnah semacam ini tidak bisa ditanggapi dengan klarifikasi biasa. Ia harus dilawan dengan tindakan hukum dan langkah akademik yang tegas.
Menurut Prof. Lawrence Lessig (Harvard Law School) dalam bukunya Republic Lost, demokrasi bisa runtuh bukan hanya karena kekuasaan korup, tetapi karena publik tak mampu membedakan fakta dari fiksi. Dalam konteks ini, UGM memiliki tanggung jawab moral dan ilmiah untuk tidak sekadar membela diri, tapi menginisiasi perlawanan hukum terhadap penyebar hoaks.
Untuk menghadapinya UGM perlu mengambil langkah strategis; pertama, audit akademik terbuka. Verifikasi ulang seluruh arsip dan prosedur akademik Jokowi secara transparan demi menjawab keraguan publik. Kedua, publikasi dokumen autentik. Jika dimungkinkan secara hukum, arsip akademik seperti skripsi, daftar hadir, dan nilai kuliah perlu dipublikasikan. Ketiga, gugatan hukum --melaporkan pihak-pihak yang terbukti menyebarkan fitnah ke jalur pidana berdasarkan UU ITE dan KUHP.
Diam dalam kasus ini bukan sikap bijak, melainkan pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Kampus tak boleh tunduk pada narasi politik destruktif. Ia harus menjadi penjaga akal sehat di tengah gaduh demokrasi digital.
Belajar dari Dunia
Skandal serupa pernah mengguncang Taiwan saat Presiden Tsai Ing-wen dituduh tidak memiliki gelar PhD dari London School of Economics (LSE). Tuduhan itu tersebar luas, namun ditanggapi secara sistematis. LSE merilis salinan disertasi Tsai, pernyataan resmi dari pihak kampus, serta bukti administratif yang menegaskan keabsahan gelarnya. Transparansi meredam fitnah.
Sebaliknya, kasus berbeda terjadi di Nigeria. Kemi Adeosun, Menteri Keuangan, terpaksa mundur karena surat bebas wajib militer yang digunakan untuk persyaratan kerja terbukti palsu, meski ia lulusan Oxford. Dunia akademik dan publik Nigeria tidak memberi ruang untuk kompromi.
Pelajaran dari dua kasus ini jelas: kampus harus hadir dalam krisis integritas, bukan sebagai penonton. Jika bersalah, tanggung jawab harus dijalankan. Jika difitnah, maka pembelaan harus setajam hukum dan seterang data.
Menutup Luka, Menjaga Marwah
Mempertanyakan keabsahan ijazah seorang presiden yang sudah mengakhiri masa jabatannya adalah cerminan rendahnya kualitas debat publik kita. Ketika tak mampu menyerang kebijakan, sebagian politisi menyerang kelulusan. Ini menandakan matinya kritik substantif, dan bangkitnya demokrasi ilusi.
Sayangnya, ruang digital telah menjadi ladang subur bagi produksi kebohongan. Algoritma media sosial membuat fitnah lebih mudah viral daripada klarifikasi. Hoaks bekerja seperti virus—menular cepat di tengah publik yang malas membaca dan mudah percaya.
Menurut Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, institusi akademik adalah pagar pertama demokrasi. Ketika kampus diremehkan, dilecehkan, bahkan difitnah, dan tak mampu membela diri dengan keberanian, maka publik akan kehilangan rujukan kebenaran. Yang tersisa hanyalah opini yang saling bunuh di medan kebisingan.
UGM memiliki dua pilihan: membela martabat atau membiarkan fitnah mengoyak sejarahnya. Jika ini fitnah, maka harus ada pertanggungjawaban hukum. Jika ini benar, maka UGM wajib introspeksi dan melakukan perombakan total. Apa pun kenyataannya, kampus tidak boleh diam. Karena ketika cahaya kampus padam, maka gelapnya republik akan panjang. Apakah kita rela negeri ini menjadi gelap gulita?
Dr. Arfanda Siregar, M.Si Ketua Akademik Senat Politeknik Negeri Medan, pernah kuliah di UGM
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saksikan Live DetikSore :
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini