Jakarta -
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengajukan uji materi pasal 36 huruf a UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia merasa dirugikan dengan pasal yang mengatur larangan pegawai KPK melakukan hubungan dengan pihak terkait perkara.
Kerugian itu disampaikan Alex lewat pengacaranya dalam sidang perbaikan perkara nomor 158 PUU-XXII 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, yang digelar pada Kamis (28/11/2024).
Berikut isi pasal yang digugat:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun
Kuasa hukum Alex selaku pemohoh, Periati Ginting, mengatakan keberadaan pasal tersebut telah menimbulkan kerugian bagi Alex. Dia mengatakan pasal tersebut tidak jelas batasannya.
"Merugikan hak konstitusional para pemohon bahwa akibat rumusan norma yang kontradiktif, tidak jelas, dan tidak berkepastian dalam norma Pasal 36 huruf a tersebut, telah menyebabkan peristiwa bertemunya Pemohon I dengan seseorang yang bertujuan menyampaikan laporan dugaan tindak pidana korupsi dan diterima secara resmi di kantor dengan disertai staf yang membidanginya, pertemuan mana dilakukan sebagai pemenuhan tugas kewenangan Pemohon I, sebagaimana seharusnya Pimpinan KPK bertindak dalam tugas jabatannya. Pertemuan tersebut dilaporkan sebagai tindak pidana berdasarkan Pasal 36 huruf a yang selanjutnya oleh kepolisian," ujar Periati.
Dia mengatakan pasal itu menyebabkan pemohon mengalami kerugian. Hal itu menjadi alasan Alexander bersama dua pemohon lainnya, yakni Lies Kartika Sari dan Maria Fransiska mengajukan gugatan.
"Hal ini menunjukkan secara nyata, akibat ketidakjelasan batasan atau kategori larangan berhubungan dengan alasan apa pun pada pasal a quo, telah menyebabkan Pemohon I harus menjadi terlapor atas dugaan tindak pidana dan telah merugikan Pemohon I secara nyata, faktual," ujarnya.
Pihak Alex menyebut pasal itu mendiskriminasi Pegawai KPK dalam hubungannya dengan sesama manusia. Alex merasa menjadi bulan-bulanan politik gara-gara pasal tersebut.
"Rumusan norma hukum, baik materiil maupun formil terkait kelembagaan KPK ini, haruslah presisi dengan konstitusi, sesuai dengan tujuan dan cita-cita pembentukannya, sehingga tidak benar dan tidak dapat dibenarkan jika ada norma yang menjadi batu sandungan yang mencederai marwah dan merusak harapan dan citacita penegakan dan pemberantasan korupsi karena insan KPK, in casu pimpinan dan pegawai KPK sering jadi bulan-bulanan politik karena ketidakjelasan norma hukumnya, dalam hal ini Pasal 36 huruf a," ujarnya.
Berikut petitum dalam permohonan Alex dkk:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 197) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Menyatakan Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional), dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai secara 'Mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya'.
4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
(haf/dhn)