Jakarta -
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan rencana evaluasi kinerja kabinet dalam enam bulan, sebagaimana diungkapkan oleh Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo. Penegasan ini disampaikan Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna perdana di Jakarta pada 23 Oktober 2024. Namun, belum genap dua bulan sejak pengumuman tersebut, Miftah Maulana Habiburrahman, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, mengajukan pengunduran diri menyusul kontroversi publik terkait video yang dianggap merendahkan penjual es teh.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang menjadi bagian dari kabinetnya. Wewenang ini merupakan hak prerogatif yang didasarkan pada pertimbangan politik dan administratif yang menjadi tanggung jawab presiden.
Namun, dalam konteks prinsip kedaulatan rakyat, presiden sebagai pemimpin eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari tuntutan akuntabilitas publik. Oleh karena itu, setiap keputusan terkait pengangkatan dan pemberhentian pejabat kabinet harus didasarkan pada prinsip transparansi dan tanggung jawab, mencerminkan komitmen presiden untuk menjalankan pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi dan kritik masyarakat.
Problem Evaluasi Kabinet
Proses pengisian dan pergantian kabinet, atau yang lazim disebut reshuffle kabinet, sering menjadi sorotan publik. Keputusan reshuffle kerap dipersepsikan sebagai langkah politik yang eksklusif, terbatas pada lingkaran kekuasaan tertentu, dan minim transparansi terkait alasan penggantian menteri. Tidak jarang, reshuffle dilakukan tanpa disertai penjelasan resmi mengenai kinerja pejabat yang diberhentikan, sehingga memunculkan spekulasi publik mengenai motif di balik keputusan tersebut.
Sebagai contoh, praktik reshuffle kabinet pernah terlihat pada masa pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019). Beberapa menteri mengalami pergantian dalam waktu relatif singkat tanpa penjelasan yang memadai. Misalnya, Luhut Binsar Pandjaitan yang hanya menjabat selama 11 bulan sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sebelum digantikan oleh Wiranto. Hal serupa terjadi pada Sofyan Djalil yang memimpin Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selama 10 bulan sebelum posisinya diambil alih oleh Darmin Nasution.
Kasus-kasus tersebut mencerminkan kelemahan dalam sistem evaluasi kinerja kabinet yang cenderung tertutup dan tidak memiliki standar penilaian yang jelas. Ketidakpastian dalam metode evaluasi ini membuka ruang bagi subjektivitas dan menyulitkan upaya perbandingan kinerja lintas kementerian. Lebih jauh, ketergantungan yang besar pada laporan internal yang tidak terverifikasi melemahkan objektivitas dalam proses pengambilan keputusan, sehingga melahirkan praktik pemerintahan yang kurang transparan dan akuntabel.
Membuka KPI Kabinet
Minimnya akses publik terhadap hasil evaluasi kinerja kabinet menjadi tantangan serius dalam praktik demokrasi. Sebagai pemilik kedaulatan, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui sejauh mana pemerintah melaksanakan tugasnya secara efektif. Sayangnya, keterbatasan informasi mengenai capaian kementerian dan lembaga negara sering kali menghalangi partisipasi publik dalam pengawasan pemerintahan, melemahkan prinsip checks and balances yang esensial dalam negara hukum.
Dalam konteks negara hukum yang demokratis, pelaksanaan evaluasi kinerja kabinet semestinya didasarkan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip ini tidak hanya memastikan keberlangsungan kebijakan yang efektif, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Oleh karena itu, integrasi antara indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPI) dan prinsip keterbukaan informasi menjadi kebutuhan mendesak untuk mewujudkan tata kelola yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penerapan indeks kinerja kabinet yang terintegrasi dengan keterbukaan informasi publik merupakan langkah strategis untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Meskipun berbagai regulasi dan sistem evaluasi telah diterapkan, publikasi berkala mengenai capaian KPI kementerian/lembaga masih jauh dari memadai. Indeks ini dapat menyediakan data yang komprehensif dan real-time mengenai efektivitas program pemerintah, sekaligus membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan menilai kinerja pemerintahan secara lebih objektif.
Muhamad Saleh peneliti hukum dan regulasi Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
(mmu/mmu)