Tersulut Skandal Bensin Oplosan

7 hours ago 2

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 3 Maret 2025

Ketika negara tengah terseok-seok memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) pada 2018-2023, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, bersama dua koleganya malah memutuskan menurunkan produksi kilang minyak dalam negeri. Keputusan itu diambil dalam rapat optimalisasi hilir bersama Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.

Seorang sumber di Kejaksaan Agung mengatakan keputusan diambil agar Pertamina menambah volume impor BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal sebetulnya, menurut sumber ini, produksi kilang minyak dalam negeri masih mampu memenuhi sedikitnya 70 persen kebutuhan BBM di masyarakat.

“Di situlah mafianya,” kata sumber ini kepada detikX, “supaya uangnya banyak kesedot.”

Tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung ini juga bekerja sama dengan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi. Ini untuk mencari broker yang bisa memfasilitasi pengadaan minyak mentah dan produk kilang.

Mereka kemudian menunjuk tiga orang perusahaan swasta, yakni Muhammad Kerry Adrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan. Ketiganya terafiliasi di bawah naungan PT Navigator Khatulistiwa, PT Jenggala Maritim, dan PT Orbit Terminal Merak.

Kerry merupakan pemegang saham. Dimas menjabat komisaris di PT Jenggala Maritim dan Navigator Khatulistiwa. Lalu Gading menjabat komisaris di PT Jenggala Maritim dan direktur PT Orbit Terminal Merak. Baik Kerry, Dimas, Gading, maupun Yoki kini juga telah ditetapkan sebagai tersangka.

Agus, mewakili pihak Pertamina, berkomunikasi dengan Gading dan Dimas untuk menyepakati harga yang tinggi untuk impor tersebut. Ketika sudah ada kesepakatan harga, para broker ini lalu dikondisikan untuk menjadi pemenang pengadaan minyak mentah dan produksi kilang—meski sebetulnya syarat-syaratnya belum terpenuhi.

“Tersangka SDS (Sani) yang memberi persetujuan untuk impor minyak mentah dan Tersangka RS (Rivan) untuk impor produk kilang,” terang sumber ini.

Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin dan para tersangka lainnya saat digelandang di kantor Kejaksaan Agung, Senin (24/02/2025).
Foto : Kejaksaan Agung

Untuk memuluskan rencana jahat tersebut, sumber ini melanjutkan, para tersangka dari pihak Pertamina beberapa kali menolak produk minyak mentah dari pihak kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Dalihnya, minyak produksi KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis dan spesifikasinya tidak memenuhi standar.

“Faktanya, masih sesuai range HPS (harga perkiraan sendiri) dan minyaknya masih sesuai kualitas kilang,” terang sumber ini. Keterangan sumber ini juga sudah tertuang dalam keterangan resmi Kejagung pada 24 Februari lalu.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar membenarkan semua keterangan sumber tersebut. Harli mengatakan tindak korupsi dari para tersangka ini memang terbilang cukup terencana. Proses pengadaan minyak mentah dan produk kilang impor ini dibuat seolah-olah sudah sesuai ketentuan.

“Padahal itu sudah diatur dari awal,” kata Harli saat ditemui detikX pekan lalu.

Dengan segala rencana itu, Harli menambahkan, Rivan kemudian mengeksekusi pembelian produk kilang untuk jenis research octane number (RON) 92 alias Pertamax. Namun, faktanya, bensin yang datang justru RON yang lebih rendah, yakni 90 alias Pertalite dan RON 88 alias Premium.

“Itu ada semua dokumennya. Jadi beli RON 90 ke bawah tapi bayar pakai pricelist Pertamax,” terang Harli.

Direktur Penyidikan Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar mengatakan bensin kualitas rendah yang dibeli dengan harga tinggi itu kemudian dioplos alias di-blend di PT Orbit Terminal Merak milik Kerry. Dua tersangka lainnya, yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya, serta Commodity Trader PT Pertamina Patra Niaga, Edward Cone, berperan dalam pengoplosan ini.

Maya-lah yang memerintahkan Edward mengoplos bensin RON 88 dengan RON 92 ini sehingga seolah-olah bensin tersebut berkualitas Pertamax. Namun, faktanya, kata Abdul, kualitasnya jauh di bawah Pertamax.

“Yang dijual dengan harga RON 92,” ungkap Abdul Qohar pada Rabu, 26 Februari lalu.

Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, sempat membantah adanya penjualan bensin oplosan tersebut. Dalam keterangan resminya, Heppy mengatakan spesifikasi BBM yang dijual Pertamina sudah sesuai dengan ketentuan.

Adapun praktik oplosan yang dilakukan Pertamina, kata Heppy, adalah proses injeksi warna sebagai pembeda produk bensin yang dijual. Pertamina juga menambah injeksi aditif dalam proses pengoplosan untuk meningkatkan performa bensin Pertamax.

“Jadi ini tidak mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas BBM Pertamina,” ungkap Heppy dalam keterangan resmi yang diterima detikX.

Terkait bantahan Pertamina itu, Harli Siregar hanya menanggapinya dengan santai. “Yang disampaikan Pertamina itu benar, dalam konteks yang sekarang. Tapi yang kami sidik itu kan dari 2018-2023,” ungkap Harli.

Selain modus bensin oplosan, korupsi dilakukan dengan cara penggelembungan nilai kontrak pengiriman (shipping). Penggelembungan tersebut dilakukan Yoki sehingga negara harus membayar upah broker 13-15 persen. Keuntungan 13-15 persen diduga dinikmati Kerry sebagai penerima manfaat dari tiga perusahaan swasta yang terlibat dalam kasus korupsi ini.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan penghitungan sementara kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun pada 2023. Angka ini bisa jadi bertambah besar mengingat praktik lancung ini dilakukan selama lima tahun.

“Rp 190 triliun itu satu tahun, itu saja. Jadi nanti pelaksanaannya ini lima tahun. Dari tahun 2018 sampai 2023, 5 tahun. Silakan saja hitung berapa,” ungkap Burhanuddin.

Para tersangka korupsi tata kelola minyak mentah berompi tahanan bewarna pink saat digelandang di kantor Kejaksaan Agung, Senin (24/02/2025).
Foto : Kejaksaan Agung

Dalam pengusutan kasus ini, Kejagung telah memeriksa total 96 saksi dan dua ahli untuk membuktikan adanya tindak pidana dalam impor minyak mentah dan produk kilang pada 2018-2023. Sejumlah tempat juga sudah digeledah, termasuk rumah para tersangka, kantor PT Jenggala Maritim, dan kediaman konglomerat minyak Riza Chalid di Plaza Asia Lantai 20. Riza merupakan ayah Kerry sekaligus ayah angkat Gading.

Dalam penggeledahan di rumah para tersangka, Kejagung menyita 20 lembar mata uang pecahan SGD 1.000, 200 lembar mata uang USD 100, 4.000 lembar mata uang Rp 100 ribu, dokumen, dan barang bukti elektronik. Semua dokumen dan uang itu didapatkan dari rumah Gading. Sementara itu, dari rumah Riza Chalid dan kantor PT Jenggala Maritim, Kejagung menyita uang Rp 837 juta, 34 map ordner dokumen, 89 bundel dokumen, dan dua CPU.

Pekan lalu, Kejagung juga menggeledah kantor PT Orbit Terminal Merak dan mendapati 95 bundel dokumen. Penggeledahan juga dilakukan di rumah Riza Chalid lainnya di kawasan Melawai, Jakarta Selatan.

“Dari sana penyidik menyita berupa DVR serta CCTV,” ungkap Harli Siregar.

Untuk memastikan adanya keberimbangan dalam artikel ini, detikX telah berupaya mencari nomor telepon pengacara para tersangka dari pihak swasta, yakni Kerry, Dimas, dan Gading, melalui Kejagung. Namun, sampai artikel ini diterbitkan, kami belum mendapatkan informasinya.

Kami juga sudah berupaya menyambangi rumah Kerry, Dimas, dan Gading untuk memberi ruang kepada keluarga mereka memberikan bantahan. Namun para pekerja di rumah tersangka-tersangka ini mengatakan rumah mereka sedang kosong.

Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Haşim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial