Jakarta -
Pemerintah Daerah Khusus Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025, tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Menanggapi hal tersebut, Anggota DPRD Daerah Khusus Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth mengatakan, poligami di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan topik yang sering menjadi bahan perdebatan. Namun secara umum, poligami diizinkan dalam hukum Islam, tetapi ada banyak regulasi dan ketentuan yang harus dipatuhi.
"Dari segi yuridis Pergub Nomor 2 Tahun 2025, sebenarnya hanya melaksanakan PP Nomor 10 Tahun 1983, semangat dan esensinya sama, untuk mempersulit poligami. Dari teori perundang-undangan khususnya hirarki perundang undangan, stufenbau, dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, yang hanya mensyaratkan izin istri pertama. Dan sesuai dengan regulasi, ASN yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari atasan dan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kemampuan untuk memberikan nafkah yang adil kepada istri-istrinya. Selain itu, ada juga pertimbangan moral dan etika yang harus diperhatikan, mengingat ASN diharapkan bisa menjadi teladan bagi masyarakat," tegas Kenneth dalam keterangannya, Minggu (19/1/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu dari pandangan HAM, kata pria yang akrab disapa Bang Kent itu menambahkan, masalah perkawinan sebenarnya merupakan ranah privat, dan posisi negara harus pasif terhadap hak-hak sipil warga negara termasuk dalam urusan perkawinan.
"Sehingga dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini, maka pergub a quo tentang poligami ini seharusnya tidak perlu diterbitkan lagi, sebab secara materil poligami menjadi urusan agama masing-masing. karena sudah jelas, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 2 UU perkawinan. Syarat administratif suatu perkawinan dalam PP maupun pergub a quo tidak dapat menegasikan syarat sahnya pernikahan yang diatur dalam UU perkawinan," tuturnya.
Dalam peraturan yang ada, kata Kent, ASN pria dibolehkan untuk melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang, tetapi harus mendapatkan izin dari istri pertama dan dari atasannya. Izin untuk melakukan poligami diatur dengan ketat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi ASN.
Pasal 4 Ayat 1 berbunyi, "Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari istri pertama dan dari pejabat yang menjadi atasannya." Permintaan izin ASN untuk berpoligami harus diajukan secara tertulis dengan mencantumkan alasan lengkap untuk beristri lebih dari seorang berikut syarat yang harus dipenuhinya.
Dan jika seorang ASN melakukan poligami secara diam-diam, sanksi hukuman bagi ASN yang melanggar tercantum dalam PP Nomor 94 Tahun 2021, tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan ini, ada tiga jenis hukuman disiplin berat yang dapat dijatuhkan pada ASN yang melanggar, yakni Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan; Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; dan Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai ASN.
"KPI dan ukuran kinerja pegawai sudah dibuat, sehingga tidak perlu lagi mengkaitkan pergub a quo dengan penurunan kinerja. Jika pegawai pemda tidak perform, tentu sudah ada mekanisme tersendiri terkait evaluasi dan penegakan sanksi," tegas Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Menurut Kent, secara prinsip seharusnya pergub tersebut tidak perlu dibuat lagi, karena secara hierarki perundang-undangan bahwa Pergub Nomor 2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan harus di ingat juga bahwa sudah ada peraturan lebih tinggi yang sudah mengatur tentang urusan poligami ini. Masih banyak persoalan yang lebih penting di Jakarta yang perlu di perhatikan dan menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti.
"Masih banyak persoalan di Jakarta yang lebih penting yang harus di perhatikan, dibandingkan soal ngurusin aturan soal poligami ASN ini," tutupnya.
Sekedar informasi, persyaratan perkawinan dan perceraian yang tertuang dalam Pergub Nomor 2 Tahun 2025 lebih rinci dibandingkan PP Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990.
Dalam PP tersebut, izin beristri lebih dari seorang dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan, yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun perkawinan.
Sedangkan, dalam Pergub Nomor 2 Tahun 2025 Pasal 4 ayat (1), persyaratan untuk izin beristri lebih dari seorang disebutkan lebih rinci sebagai berikut:
a. alasan yang mendasari perkawinan:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun perkawinan;
b. Mendapat persetujuan istri atau para istri secara tertulis;
c. Mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan para anak;
d. Sanggup berlaku adil terhadap para istri dan para anak;
e. Tidak mengganggu tugas kedinasan; dan f. Memiliki putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang.
Kemudian, untuk perceraian, dalam Pergub Nomor 2 Tahun 2025 Pasal 11, telah tertuang secara rinci alasan yang harus dipenuhi untuk mengajukan permintaan izin bercerai, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina;
b. Salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan;
c. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan/kemauannya;
d. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat secara terus-menerus setelah Perkawinan berlangsung;
e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
(mpr/ega)