Ramai di Medsos Tagar KaburAjaDulu, Kerja di Luar Negeri Lebih Enak?

4 days ago 15

Jakarta -

Media sosial tengah diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu beberapa waktu terakhir. Tagar tersebut merupakan ajakan meninggalkan Indonesia untuk sekolah ataupun bekerja di luar negeri.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai, salah satu pemicu dari semarak tagar #KaburAjaDulu ialah kebutuhan lapangan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Ditambah lagi, dalam waktu dekat di Indonesia akan terjadi momentum bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif akan lebih besar ketimbang yang non-produktif. Sayangnya beberapa waktu belakangan justru marak terjadi Pemutusan Lapangan Kerja (PHK).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sampai saat ini, kan yang terdengar bukan lapangan pekerjaan yang muncul, tapi kan banyak PHK. Memang adalah lapangan kerja dibuka, tapi yang paling santer belakangan ini PHK. Ini saya pikir cukup berat," kata Tadjudin, saat dihubungi detikcom, Minggu (16/2/2025).

Selain itu, masyarakat juga kerap dihadapkan dengan tantangan untuk melamar pekerjaan di Indonesia. Di aspek persyaratan salah satunya seperti umur. Ada juga sejumlah pekerjaan dengan beban kerja berat, namun gajinya terbilang kurang sesuai.

Karena itulah, semakin banyak anak-anak muda Indonesia yang mencari peluang kerja dari luar negeri. Sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, hingga Australia menjadi destinasi yang paling banyak diincar.

Tadjudin mengatakan, salah satu daya tarik utama yang membuat banyak orang ingin bekerja di luar negeri ialah terkait besaran upah atau gajinya. Di Jepang sendiri, upah pekerja dibayarkan bisa mencapai 1.000 yen per jam atau setara Rp 106.000 per jam (kurs Rp 106).

"Di Australia katanya ada yang sampai Rp 150.000 per jam yang di pertanian, peti anggur, apel, atau ceri. Dan kalau mereka kerja melampaui batas jam yang ditetapkan, mereka dapat uang lembur, dan ada bonus biasanya. Itu yang membuat tertarik ke sana," ujarnya.

Tidak hanya gaji yang besar, para pekerja juga mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan, bahkan beberapa di antaranya juga menyediakan tempat tinggal. Belum lagi, ada bonus dan uang lembur.

"Jadi menurut saya, #KaburAjaDulu bisa dilihat secara positif dan bisa dimanfaatkan. Daripada anak muda berpendidikan menganggur, tidak apa-apa pergi kerja dulu ke luar negeri, dapat pengalaman, dapat uang, nanti pulang ke Indonesia," kata dia.

"Anak-anak yang #KaburAjaDulu, saya kira jangan-jangan setiap bulan dia mengirim uang ke Indonesia. Artinya, orang-orang itu mempunyai kontribusi kepada divisa kita. Kalau dulu pernah kita dengar ART yang bekerja di Malaysia, Arab Saudi, itu biasanya mereka akan mengirimkan uangnya ke Indonesia, kemudian mereka dapat sebutan pahlawan devisa," sambungnya.

Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah mencatatkan peningkatan remitansi atau transfer uang lintas negara setiap tahunnya.

Pada 2024 tercatat ada sebanyak Rp 251,5 triliun. Angka ini naik 14% dibandingkan dengan remitansi di tahun 2023. Hal ini salah satunya ditopang oleh banyaknya anak-anak muda Indonesia mencari pekerjaan di luar negeri.

"Jadi kalau dilihat tergantung, #KaburAjaDulu itu begitu di luar negeri dia apa? Dia hanya bekerja. Kalau dia hanya bekerja kan artinya dia masih menyumbang remitansi atau menyumbang transfer pendapatan ke keluarganya yang ada di Indonesia," kata Bhima dihubungi terpisah.

Namun berbeda cerita apabila anak-anak muda RI memutuskan untuk menetap dan pindah kewarganegaraan, menurutnya angka remitansinya akan berkurang. Hal ini justru akan terjadi kehilangan potensi devisa.

"Yang paling dikhawatirkan, begitu tren #KaburAjaDulu sampai pindah kewarganegaraan, termasuk membeli properti, kendaraan bermotor, dan menjadi wajib pajak di negara tempat dia tinggal. Satu, perputaran ekonomi domestik, kita akan ditinggalkan anak-anak usia produktif yang seharusnya bisa bekerja di domestik dan memutar uangnya di dalam negeri," ujar Bhima.

"Kedua, fenomena ini bisa memicu krisis SDM dalam jangka panjang dalam bentuk brain drain, artinya talenta-talenta terbaik. Sektor digital di Indonesia masih kekurangan 9 juta orang tenaga kerja semi skill dan high skill atau keahlian tinggi, tapi justru kita memenuhi pasar di negara orang. Itu bisa ada bencana krisis demografi di Indonesia," sambungnya.

(kil/kil)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial