Jakarta -
Pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dikenakan khusus terhadap barang dan jasa mewah. Selain barang tersebut, besaran PPN untuk barang dan jasa lainnya masih sama dengan beban PPN yang dihitung menggunakan tarif 11 persen. Keputusan ini menjadi jawaban atas sikap penolakan berbagai kalangan yang menganggap kenaikan PPN memberi dampak kepada daya beli, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 tahun 2024. Beleid ini berisi ketentuan perlakuan PPN atas impor Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan BKP, penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, dan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
PMK ini merupakan terobosan untuk mengatur agar beban PPN tetap tidak naik walaupun tarif PPN sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mulai 1 Januari 2025 adalah 12%. Dalam UU HPP, sesuai kesepakatan antara pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan selanjutnya naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Poin penting dalam PMK tersebut adalah tarif PPN tetap 12% tetapi PPN yang dipungut dan menjadi beban konsumen hanya pengalami perubahan untuk barang-barang yang sifatnya mewah atau sangat mewah. Daftar dan kategori barang mewah ini diperinci dalam ketentuan PMK Nomor 141 tahun 2021 dan PMK Nomor 15 tahun 2023, antara lain pesawat jet pribadi, kapal pesiar, kendaraan dengan kapasitas mesin tertentu,serta kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, kondominium, apartemen
Cara Hitung
PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa nilai lain. Nilai lain dihitung sebesar sebelas per dua belas (11/12) dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Sebelum berlakunya PMK ini, DPP ialah nilai impor, harga jual, atau penggantian tanpa faktor pengali 11/12. Sebagai ilustrasi, pada 3 Januari 2025, PT ABC adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjual BKP yang tidak tergolong barang mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan. Harga jual (belum termasuk PPN) adalah Rp 1.000.000.
Untuk menghitung PPN digunakan formula tarif PPN dikalikan dengan DPP. Besarnya PPN yang harus dipungut oleh PT ABC adalah: 12% x DPP nilai lain, atau sama dengan 12% x (11/12 x Rp 1.000.000) yaitu Rp 110.000. Jumlah ini sama dengan PPN yang harus dipungut apabila menggunakan tarif 11% dikali DPP. Jadi secara riil, PPN yang menjadi beban konsumen tidak mengalami kenaikan. Pajak Masukan (PM) atas perolehan BKP tersebut tetap dapat dikreditkan oleh PKP Penjual sehingga sifat PPN tidak menimbulkan efek cascading.
Apabila barang yang dijual merupakan barang mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan, maka penghitungan PPN dapat diilustrasikan sebagai berikut. Mulai 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Untuk periode mulai 1 Februari 2025, PPN dihitung dengan mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai jual.
Sebagai ilustrasi, PT ABC yang merupakan PKP, menjual mobil mewah dengan harga jual (belum termasuk PPN) Rp 500 juta. Apabila penjualan terjadi pada periode sampai dengan 31 Januari 2025, PPN yang terutang atas transaksi sebesar Rp 55 juta (12% dikali DPP berupa nilai lain atau 12% dikali (11/12) x Rp 500 juta. Sementara apabila penjualan terjadi pada periode mulai 1 Februari 2025, PPN yang terutang adalah sebesar Rp60 juta (12% dikali DPP nilai jual atau 12% dikali Rp500 juta).
PPN untuk Keadilan
Sekilas, penghitungan PPN menjadi agak rumit. Apalagi banyak pelaku bisnis telah melakukan penyesuaian administratif untuk mengakomodasi perubahan tarif baru. Sistem, perencanaan, dan strategi bisnis mungkin sudah disiapkan menghadapi tarif 12%. Bahkan, tidak sedikit yang telah menyesuaikan harga, sehingga masyarakat mengeluhkan telah terjadi kenaikan harga walapun beban adanya aturan baru ini, PPN selain untuk barang mewah, tdak mengalami perubahan.
Secara teoritis, situasi ini terjadi karena fenomena expected inflation dan efek psikologis antisipatif pelaku usaha. Apalagi mekanisme pasar berupa efek musiman permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru serta pengaruh cuaca yang mempengaruhi produksi dan distribusi barang-barang tertentu.
Dengan kebijakan baru ini, sudah selayaknya para pelaku usaha menormalisasi harga barang dan jasa yang terlanjur naik karena efek antisipatif kenaikan. Dinamika dan berbagai diskursus di kalangan masyarakat menilai bahwa kenaikan PPN belum perlu di tengah beban masyarakat yang semakin tinggi dan berbagai indikator yang menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat terutama kelas menengah.
Tuntutan masyarakat telah dipenuhi pemerintah dengan hanya menaikkan PPN untuk barang mewah. Kebijakan ini mengikis sifat PPN yang pada umumnya regresif. Beban pajak lebih selayaknya ditanggung oleh yang mempunyai kemampuan lebih. Pemerintah juga tetap memberikan pembebasan PPN atas barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, daging, ikan, telur sayur, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, air minum.
Tentunya, tuntutan lain berupa penggunaan uang pajak yang efisien dan efektif menjadi yang lebih utama. Kewenangan pemungutan pajak diberikan oleh Undang-Undang Dasar, sehingga pemanfaatannya pun harusnya menjadi legitimasi yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah.
Presiden menekankan bahwa aspek keadilan dan pemerataan menjadi dasar perancangan kebijakan PPN ini. Pemerintah juga tetap berkomitmen memberikan stimulus bagi masyarakat terutama yang memiliki daya beli rendah. Total sebesar Rp 38,6 triliun akan digelontorkan untuk memberi bantuan dan dukungan sosial berupa bantuan beras, diskon listrik, insentif bagi industri padat karya, insentif pajak bagi pekerja dengan penghasilan tertentu, pembebasan pajak bagi UMKM, dan berbagai dukungan lainnya.
Timon Pieter Fungsional Penyuluh Pajak
(mmu/mmu)