PPN 12%: Mengapa Jadi Polemik?

2 months ago 37

Jakarta -

Pemerintah pada 16 Desember 2024 yang lalu telah mengumumkan kebijakan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, hanya naik tarif 1%. Kebijakan ini disertai dengan berbagai kebijakan insentif yang dirancang untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan menstimulus perekonomian.

Di berbagai kanal publik, tak ayal kebijakan ini memunculkan polemik. Beberapa pihak khawatir kenaikan ini akan menambah beban ekonomi dan menurunkan daya beli. Bahkan, ada yang menganggap kenaikan tarif tersebut bukanlah 1% melainkan 9%, dan sebagainya.

Dalam masyarakat demokratis, polemik atas suatu kebijakan itu bagus agar proses diskusi terjadi di masyarakat. Artikel ini mencoba memberikan kontribusi atas diskusi di ruang publik dengan memberikan deskripsi lebih detail atas pilihan kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut, tentu sebatas pemahaman penulis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, kebijakan tarif PPN 12% (bukan kenaikan tarif sebesar 12%) merupakan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR sewaktu pembahasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hampir seluruh fraksi di DPR menyatakan setuju dengan RUU HPP, termasuk kenaikan tarif PPN yang dilakukan secara bertahap, yaitu 11% mulai 1 April 2022 dan 12% paling lambat mulai 1 Januari 2025.

Rancangan awalnya adalah tarif PPN langsung naik dari 10% menjadi 12% dan mulai berlaku pada tahun 2022, tetapi karena pemerintah dan DPR sepakat agar kenaikan tersebut memberikan dampak yang lebih mulus, maka kenaikannya dilakukan secara bertahap.

Perubahan kebijakan dalam UU HPP sebetulnya tidak hanya PPN, tetapi juga penyesuaian tarif PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan penyesuaian besaran pendapatan per lapisan tarif dan kenaikan tarif tertinggi dari 30% menjadi 35%. Semangat perubahan yang dilakukan dalam UU HPP adalah untuk membuat sistem perpajakan yang makin sehat, bersahabat terhadap iklim investasi dan makin kokoh menerapkan azas gotong- royong dan keadilan.

Penerapan azas keadilan sangat nyata dengan memberikan pengecualian atas pengenaan PPN untuk berbagai barang dan jasa yang pokok dibutuhkan masyarakat, antara lain seperti makanan: beras, jagung, daging, telur, susu segar, ikan, dan lain-lain; juga jasa pendidikan dan kesehatan, jasa transportasi umum, dan jasa keuangan.

Pemerintah dan DPR juga sepakat untuk memberikan perluasan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif terendah 5% untuk WPOP dari yang semula sebesar Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta; memberikan pembebasan PPh (0%) bagi WPOP UMKM dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta dan bagi penghasilan Rp 500 juta ke atas sampai dengan 4,8 miliar dikenakan tarif PPh hanya sebesar 0,5%.

Kedua, untuk menerapkan azas gotong royong, atas barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenakan PPN, Pemerintah berencana untuk mengenakan PPN khusus untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat sangat mampu/kaya, antara lain seperti beras tipe khusus dan kualitas yang sangat baik yang harganya sangat mahal, daging sapi wagyu, ikan impor untuk restoran kelas atas, pendidikan yang diselenggarakan swasta/asing yang sangat mahal (pendidikan swasta biasa tetap dibebaskan PPN); serta jasa kesehatan yang dikonsumsi oleh orang yang sangat kaya.

Lanjut ke halaman berikutnya

Artinya untuk barang dan jasa dengan kualitas yang berbeda dan dikonsumsi kelompok masyarakat super kaya akan dikenakan PPN dan tidak lagi menikmati PPN 0%. Jenis dan kriteria untuk jenis barang dan jasa ini akan ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, sehingga sepanjang aturan tersebut belum terbit, untuk barang dan jasa eksklusif ini masih tetap diberikan pembebasan PPN.

Ketiga, atas barang yang selama ini sudah membayar PPN 11%, untuk meringankan beban masyarakat -karena konsumsi barang tersebut sangat luas dan penting di masyarakat-, maka barang seperti tepung terigu, minyak goreng kemasan rakyat "Minyakita", dan gula untuk industri akan tetap membayar PPN sebesar 11%.

Hal ini berarti kenaikan PPN 1% atas barang-barang tersebut akan ditanggung pemerintah (diberikan PPN DTP sebesar 1%). Langkah ini selain untuk menjaga daya beli masyarakat juga untuk meringankan tekanan inflasi.

Empat, untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah mampu memberikan stimulus yang kuat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintah sekaligus memberikan tambahan paket kebijakan ekonomi selain yang sudah disebutkan sebelumnya.

Tambahan insentif kepada masyarakat tersebut antara lain: (i) bantuan pangan/beras sebesar 10 kg per bulan untuk bulan Januari-Februari 2025 bagi 16 juta rumah tangga, (ii) diskon listrik 50% untuk pelanggan mulai 2200 VA ke bawah atau 97% pelanggan rumah tangga PLN.

Kelompok pelanggan ini tetap menikmati bebas PPN dan tidak perlu melakukan registrasi tetapi otomatis akan mendapatkan diskon tarif listriknya ; (iii) perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% hingga 2025; (iv) insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah bagi pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan di sektor padat karya; (v) bantuan sebesar 50% untuk Jaminan kecelakaan kerja pada sektor padat karya selama 6 bulan; (f) kemudahan akses Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP); juga (g) insentif untuk sektor perumahan dan otomotif (mobil listrik dan hybrid).

Penyesuaian PPN ini bukan hanya tentang memenuhi amanat Undang-Undang, tetapi juga memperkuat fondasi fiskal Indonesia dan instrumen kebijakan untuk menavigasi perekonomian. Langkah ini mencerminkan semangat gotong royong, di mana kelompok masyarakat mampu diharapkan berkontribusi lebih besar, sementara kelompok masyarakat miskin dan rentan tetap dilindungi melalui kebijakan afirmatif.

Sehingga kalau diteliti lebih dalam, paket kebijakan yang dilakukan pemerintah ini justru untuk mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi filosofi dasar dan tujuan pembangunan bangsa.

Senang sekali, bisa berkontribusi dalam polemik dan diskusi publik, karena ini artinya demokrasi berjalan dengan baik. Selamat menikmati demokrasi yang sehat bagi masa depan kita semua. Tabik.

Hadi Setiawan
Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial