Jakarta -
Pasar Jatinegara atau dikenal juga dengan sebutan Pasar Mester merupakan pasar tertua di Jakarta dan masih eksis hingga saat ini. Sayang pasar legendaris yang berlokasi di Jakarta Timur ini sudah sepi pembeli yang membuat omzet para pedagang turun drastis.
Salah seorang pedagang sepatu di kawasan Pasar Mester Jatinegara, Tono, mengatakan penurunan jumlah pembeli ini sudah terasa beberapa tahun sebelum pandemi. Namun saat ini penurunan jumlah pembeli belum separah sekarang.
"Kalau penurunan sih sudah ada ya sejak sebelum pandemi. Cuma waktu itu belum parah. Kalau pas pandemi ya memang semua jatuh lah ya," kata Tono saat ditemui detikcom di Pasar Mester Jatinegara, Senin (6/1/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Habis pandemi itu agak bagus dikit lah ya, cuma itu juga nggak lama, paling setahun doang. Habis itu dua tahun belakang ini tuh sudah paling parah lah, jadi dari 2023 itu sudah parah banget," sambungnya.
Bahkan Tono yang hanya berjualan sepatu secara grosir mengatakan penurunan jumlah pembeli ini tidak hanya terjadi di hari-hari bisa saja, namun juga di hari-hari besar seperti sebelum Lebaran atau momen sebelum masuk sekolah.
"Kalau kita jualan sepatu disini kan event sekolah kan satu tahun satu kali, terus biasanya tuh sebelum puasa. Itu biasanya satu dua bulan sebelum sudah ramai, tapi sekarang sepi, berasa kaya nggak ada event," ucapnya.
"Kalau zaman-zaman dulu kalau ibaratnya bulan puasa di sini orang masuk ke pasar saja macet. Orang masuk atau ini deh, jalan di pasar saja bisa macet. Kalau sekarang bisa pilih tempat pakir. Liat aja ini dari tadi berapa sih yang lewat, jangankan beli, nanya harga atau barang aja belum ada kan," terang Tono lagi.
Menurutnya, kondisi ini terjadi lantaran banyak pembeli yang merupakan pedagang eceran menahan pembelian barang. Karena dagangan mereka sendiri tidak laku.
"Dulu mereka sebelum puasa banyak yang berani 'sekolahin' dulu surat-suratnya, gadein BPKB, buat tambahan modal, tapi habis itu balik lagi karena laku. Sekarang nggak berani mereka. Paling pesan kalau barang memang sudah mau habis," papar Tono.
Akibatnya secara keseluruhan omzet penjualan toko sepatu milik Tono turun hingga 70% lebih jika dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sebab banyak langganan dari Jakarta hingga luar Jakarta yang turut menahan pembelian.
"Kalau sekarang sih penurunannya hampir 70%. Itu kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi," ucapnya.
Pada akhirnya pendapatan Tono dari berjualan sepatu di pasar ini hanya habis untuk kebutuhan operasional toko mulai dari gaji pegawai hingga iuran pasar dan makan sehari-hari saja.
Itupun untuk mencegah kerugian operasional, Tono harus mengurangi jumlah karyawan toko yang dipekerjakannya. Dari sebelumnya ia memiliki empat karyawan, saat ini hanya tinggal seorang saja.
"Kita dulu karyawan ada empat, sekarang tinggal satu, kita tahan. Kalau empat-empatnya kita tahan di sini, kita nggak sanggup ya kan," papar Tono.
Senada dengan Tono, seorang pedagang pakaian di Pasar Jatinegara bernama Andi mengatakan penurunan jumlah pembeli sudah terjadi sejak 2017 lalu. Walaupun saat ini kondisi pasar masih ramai pengunjung.
"2017 mulai turun. Pasar sih masih ramai, tapi kita jualan sudah berasa turun. Soalnya kan kita jualan nggak lihat dari ramai nggak pasar, tapi dari yang beli kan," terangnya.
"Misal dulu langganan yang beli seminggu dua kali. Habis itu turun jadi seminggu sekali. Kan berasa itu omzetnya," sambung Andi.
Namun kondisi ini semakin parah saat pandemi, dan menurut Andi penjualan di toko miliknya belum ada peningkatan meski pandemi sudah berakhir. Alhasil omzet penjualannya turun sekitar 70-80%.
"(Omzet 50% lebih ada?) lebih kalau itu. (70-80%?) ya kurang lebih. (Omzet turun lebih dari 80%?) nggak sih kalo itu, paling sekitar 70-80% lah. Cuma kalau hitung-hitungan pastinya kaya pembukuan gitu-gitu saya nggak ada. Tapi sekitar segitu lah," jelas Andi.
Akibatnya ia juga merasa sering rugi saat membuka toko daripada mendapatkan untung. Sehingga untuk bisa bertahan ia juga harus mengurangi jumlah karyawan, dari awalnya tiga karyawan hingga kini hanya tersisa satu orang.
"Jualan sekarang sering-sering minus sih, tapi kalau lebih sebih sering minus nggak tahu ya, karena saya nggak hitung detail. Tapi kalau dulu istilah kita dagang nggak ada minus, paling kecil nol, kalau dapat untung dikit atau lebihnya lumayan, nggak pernah ada sampai minus," terang Andi.
(fdl/fdl)