Jakarta -
Geliat usaha para pedagang di Pasar Slipi, Jakarta Barat, kian lesu dari hari ke hari. Hal ini terlihat dari banyaknya toko yang sudah tutup hingga kini hanya tersisa beberapa pedagang saja yang masih sanggup bertahan. Di sana sepi pengunjung.
Satu-satunya pedagang sepatu dan tas yang tersisa di Pasar Slipi, Erizon, mengatakan kondisi pasar sepi pengunjung ini sebenarnya sudah mulai terjadi beberapa tahun sebelum Covid-19 melanda RI pada 2020 lalu. Namun kondisi pasar menjadi semakin parah tidak lama setelah pandemi.
"Sebelum Covid itu sebenarnya kondisi pasar sudah mulai sepi, cuma setelah Covid makin parah," kata pria yang sudah berdagang di kawasan itu sejak 1988 lalu kepada detikcom, Senin (30/12/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang sehari-hari memang sepi. Mau akhir tahun atau Lebaran sepi. Sudah berapa tahun ini Lebaran saja sepi," tambah Erizon.
Menurutnya kondisi sepi pengunjung ini terus berlanjut meski pandemi berakhir. Belum lagi persaingan dengan toko-toko online membuat pasar yang sudah sepi semakin ditinggal pengunjung.
Beruntung, Erizon yang berjualan sepatu dan tas masih bisa mendapat sejumlah pembeli saat musim masuk sekolah tiba. Sebab tokonya menerima pembayaran dari Kartu Jakarta Pintar atau KJP, yang mana tidak bisa digunakan untuk pembelian secara online.
"Paling lumaya pas mau masuk sekolah saja, soalnya kan bisa bayar pakai KJP, gesek kartu. Memang itu diperuntukkan buat beli kebutuhan sekolah kan. (Jadi sekarang rata-rata pembeli cuma penerima KJP saja?) iya paling itu doang kebanyakan," ucapnya.
Meski penjualan tokonya tertolong saat musim masuk sekolah, namun sehari-hari Erizon mengaku hampir tidak kedapatan pembeli. Padahal setiap bulan dirinya harus membayar uang iuran dan listrik, belum biaya sewa toko dan pengeluaran sehari-hari.
Pada akhirnya, ia harus merogoh ongkos yang jauh lebih besar daripada keuntungan alias merugi untuk tetap membuka toko di Pasar Slipi. Kalau bukan karena usaha lain yang tidak ingin ia rinci lebih jauh, Erizon mengaku mungkin dirinya sudah tutup toko sejak lama.
"Ya ini sudah gigit jari kalau nggak ada di belakangnya usaha lain yang nyokong. Kalau nggak ini sudah pindah. Setiap hari makan sepatu, makan tas, sandal saya," kata Erizon.
"Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya toko ini jatuhnya rugi, bukan untung, tapi rugi. Orang saya setiap ada untung paling cuma buat bayar-bayar iuran saja," terangnya lagi.
Senada dengan Erizon, pedagang pakaian di Pasar Slipi bernama Uyus menyebut kondisi pasar sepi pengunjung ini juga sudah mulai terlihat sebelum pandemi. Namun kondisi ini menjadi semakin parah pada 2020 lalu saat pandemi berlangsung.
Ia juga merasa persaingan dengan toko online membuat pasar semakin sepi. Belum lagi posisi pasar yang menurutnya banyak dikelilingi tempat kos membuat daya beli atau keinginan masyarakat sekitar untuk belanja di pasar semakin kecil.
"Di sekitar sini orang tanahnya sudah banyak pada dijual, sudah nggak ada pribumi tinggal di sini lagi. Banyaknya orang kos, kalau orang kos kan nggak mungkin bisa belanja, nggak belanja ke pasar sini kan," ucap Uyus.
Ia yang sudah berjualan di kawasan pasar ini sejak akhir 1990an ini juga mengatakan sehari-hari dagangannya belum tentu laku terjual. Sehingga rata-rata keuntungan yang didapatnya hanya cukup untuk membayar biaya iuran pasar. Beruntung toko yang ditempatinya merupakan milik sendiri sehingga ia tidak perlu membayar sewa yang lain.
"Sehari belum tentu ada laku, ini saja tadi ada orang datang, saya minta untung Rp 5.000 saja nggak mau, langsung pergi dia. Ini kan celana dua saya jual Rp 70.000, dia minta Rp 60.000, itu harga modal saya, akhirnya saya tawar Rp 65.000 untuk ambil untung Rp 5.000 saja nggak mau," kata Uyus dengan nada lemas.
"Kalau nggak ada buat nambal dari luar-luar mah sudah, kita orang pasar sudah nggak bisa bertahan. Ini kalau saya nggak terima kerjaan jahit-jahit atau ini ada kerjaan orang minta pasang payet nggak mungkin nutup," sambungnya lagi.
(fdl/fdl)