Mutilasi Karena Cinta

1 month ago 20

Jakarta -

Kasus pembunuhan dan mutilasi karena cinta kembali mengguncang Indonesia. Kita baru saja dihebohkan dengan penemuan tubuh potongan mutilasi di Ngawi yang disebar ke tiga tempat. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang yang terlibat dalam hubungan cinta bertindak sedemikian kejamnya sehingga tega membunuh bahkan memutilasi korbannya? Mengapa seseorang bisa kehilangan kendali sedemikian rupa?

Fenomena ini tidak dapat dipahami hanya sekadar sebuah tindakan kriminal biasa, melainkan juga ada masalah psikologis, sosial, dan budaya yang lebih dalam. Kasus ini mencerminkan ada yang serius yang sedang berlangsung di negeri ini. Empati semakin memudar dan kekejaman semakin mengemuka. Manusia sudah tidak lagi menganggap sesamanya human yang harus diperlakukan dengan hormat dan cinta.

Menurut Paul Bloom dalam bukunya Against Empathy (2016), tingkat empati semakin menurun dalam masyarakat modern. Hubungan antarmanusia semakin memburuk akibat individualisme ekstrem. Budaya digital turut menormalkan objektivikasi manusia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Manusia juga semakin larut dalam keinginan untuk memiliki, bukan hanya harta, juga sesama. Dalam bukunya To Have or To Be, Erich Fromm (1976) menjelaskan bahwa manusia modern semakin materialistis. Bukannya semakin menjadi manusia seutuhnya, manusia justru ingin mendapatkan segala kenikmatan duniawi. Lalu, manusia dalam wujud tubuh perempuan pun dinilai tidak lebih sebagai kepemilikan. Perempuan tidak lebih dari benda yang ketika tidak lagi bisa dimiliki sepenuhnya, mereka dapat dilenyapkan agar tidak dimiliki siapa pun.

Kehilangan Kendali

Manusia yang semakin materialistis dan kehilangan empati dapat kehilangan kendali dan melakukan perbuatan ekstrem. Teori General Strain (Agnew, 1992) menjelaskan bahwa individu yang mengalami tekanan emosional ekstrem seringkali kehilangan kemampuan berpikir rasional, berujung pada tindakan impulsif yang destruktif. Dalam banyak kasus, dorongan ini dipicu oleh faktor-faktor seperti kecemburuan, perasaan dikhianati, atau ketakutan ditinggalkan.

Salah satu latar belakang dominan dalam kasus mutilasi adalah rendahnya penghargaan diri (self esteem) yang bersangkutan. Tak heran, pelaku sering mengemukakan alasan merasa terhina saat terlibat konflik. James Gilligan (1976), seorang psikiater penjara yang banyak menyaksikan kasus pembunuhan ekstrem menyatakan bahwa rasa terhina dan malu merupakan salah satu penyebab utama tindakan kekerasan. Sedemikian dahsyatnya rasa malu dalam diri sang pembunuh sehingga ia bisa hidup layaknya zombie, the walking dead. Mereka kehilangan rasa, dan membunuh tanpa belas kasihan.

Menurut Gilligan, hukuman penjara tidaklah menyelesaikan akar masalah. Sebab penjara berarti merendahkan dan semakin melukai penghargaan diri. Penjara adalah tempat yang memperbesar shame (rasa malu dan terhina). Harkat manusia sangat direndahkan dalam penjara.

Perlu Diantisipasi

Bagaimanapun, penjara tetap dibutuhkan. Selain sebagai tempat hukuman, penjara dapat mencegah untuk sementara sang pelaku untuk melakukan tindakan sadis kepada korban lain.

Kriminalitas ekstrem perlu diantisipasi dengan upaya pencegahan. Sebab rasa empati sejatinya adalah natur anak. Namun natur ini dapat terkikis bahkan menghilang bila ia tidak mendapatkan lingkungan yang kondusif buat pengembangannya.

Situasi pengasuhan dan suasana keluarga yang jauh dari konflik akan sangat menolong pengembangan diri anak. Demikian pula, sekolah perlu mengawasi tidak saja masalah akademis, melainkan juga memperhatikan relasi dan komunikasi yang lebih humanis. Perilaku bullying dan merendahkan perlu dicegah. Berharap akan muncul kehidupan yang lebih humanis di masa mendatang.

Heman Elia lulusan S1 Psikologi UGM dan S2 Psikologi Klinis UI

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial