Mengkritisi Wacana Mengubah Posisi Polri

1 month ago 28

Jakarta -

Pemilu itu adalah wadah kegembiraan masyarakat untuk menentukan putusan hati nuraninya, memilih seseorang menjadi pemimpin negara atau pemimpin daerahnya, atau memilih perwakilannya. Pemilihan melalui proses panjang, detail dan terkadang melelahkan. Adu strategi dan gagasan antara partai yang satu dengan partai yang lain sebagai jembatan untuk mengimplementasi perasaan politiknya melalui partai yang diyakini dapat menjadi penyampai aspirasi dari kehendak rakyat.

Yang kemudian ketika pendidikan politik di kalangan partai politik 'tidak baik-baik saja', beradu program dan gagasan, ada kalanya terwujud sebagai lawan tanding seperti perang yang sebenarnya, fisik maupun psikis. Mengakibatkan terjadinya fitnah, penghinaan, dan intrik-intrik lain baik secara fisik, psikis, maupun melalui media sosial.

Yang dipompakan para pimpinan politiknya adalah terus mengalahkan pesaingnya dengan berbagai cara, termasuk cara negatif, bahkan menyerang ke arah yang bersifat pribadi seseorang sampai dengan keluarganya, baik garis ke atas maupun garis ke bawah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ironis memang, yang semestinya adu gagasan dan program untuk melaksanakan tujuan negara sebagaimana amanah pembukaan konstitusi, namun yang terjadi justru mengarah kepada fitnah dan penurunan harkat dan martabat manusia. Persaingan tersebut diteruskan sebagai dendam kesumat ketika pemilu usai. Meskipun cibiran tokoh politik tersebut tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, karena masyarakat sudah cerdas, sudah bisa memilih mana yang cibiran negatif, maupun positif.

Yang melaksanakan politik gembira juga banyak. Damai, adem, adu gagasan secara positif. Para pendukungnya ikut gembira.

Aneh dan lucu di tahun 2024 ini, baik rangkaian pilpres maupun rangkaian Pilkada, ada elite partai yang ketika pernah menang dan berhasil di pemilu sebelumnya cenderung diam, tidak menyalahkan siapapun atas kemenangan tersebut, dan tidak berlanjut sepanjang kekuasaannya. Namun ketika kalah dalam perolehan suara di berbagai wilayah penting, di mana calonnya berasal dari pensiunan TNI maupun Polri, sementara yang menang adalah purnawirawan Polri, atau yang menang itu bukan dari calon yang di dukungnya, terjadilah pembangunan narasi-narasi kebencian, fitnah, emosial, curiga, menyudutkan atau menyalahkan pihak lain.

Termasuk yang dibangun itu adalah narasi yang memojokkan Polri. Kemudian menjadi viral, timbul pro dan kontra. Cara-cara ini memecah belah, seperti praktik politik di masa lalu, hanya saja ada perbaruan saat ini dengan adanya teknologi informasi, dikemas lebih tampak kekinian. Meskipun cara demikian tidak dipercayai sebagian besar masyarakat Indonesia, karena cara-caranya tersebut terlalu sering di cuap-cuapkan dan membosankan.

Narasi emosionalnya adalah, yang saya baca dari berbagai media, medsos maupun suara podcast, kemenangan calon kepala daerah tertentu yang menduga dibantu oleh 'parcok' (Partai Coklat) yang diduga adalah Polri atau ASN, dan kemudian membuat pernyataan mereposisi Polri di bawah TNI atau Kemendagri. Narasi ini sangat menyakitkan, mengkhianati perjuangan reformasi 1998

Perlu diketahui bahwa pemisahan antara ABRI dan Polri memiliki proses sangat panjang, baik secara politis maupun yuridis yang luar biasa. Bahkan menurut buku Proses Hukum Pemisahan Polri dari ABRI Serta UU Polri, yang ditulis oleh Irjen Pol (P) Drs Hari Soenanto, tulisan ini merupakan catatan beliau sebagai pelaku sejarah pemisahan ABRI dan Polri. Disebutkan beliau soal pemisahan tersebut adalah 'sebuah perjuangan yang tak kenal lelah menghadapi situasi dan kondisi Polri saat itu'.

Menurut saya, permisahan ABRI dan Polri tersebut merupakan buah dari perjuangan reformasi di segala bidang. Jadi Pemisahan ABRI dan Polri tersebut adalah anak kandung dari Reformasi pada tahun 1998. Menurut buku di atas, pemisahan tersebut diawali dengan pidato Presiden RI Soeharto pada saat Hari ABRI tanggal 5 Oktober 1997, dilanjutkan dengan adanya Inpres Nomor 2/1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara RI, yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie.

Diteruskan dengan terbitnya Kepres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara RI, yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1 Juli 2000. Setelah itu Terbit Tap MPR no VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI, yang ditandatangani oleh Ketua MPR Prof. Dr. HM Amien Rais dan para Wakil Ketua lainnya, pada tanggal 18 Agustus 2000.

Dilanjutkan dengan terbitnya Tap MPR no VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara RI pada tanggal 18 Agustus 2000, tandatandatangani oleh pejabat MPR yang sama. Setelah itu terbitlah UU nomor 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Januari 2002, ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Menurut saya, pemisahan TNI dan POLRI tersebut tidak bisa diklaim oleh satu presiden saja, melainkan merupakan satu rangkaian kisah berseri berkesinambungan di mulai dari Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid sampai dengan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Kalau boleh saya ibaratkan bagaikan disambar petir, sungguh sangat menyakitkan, ketika suatu partai ketika menderita kekalahan di dalam Pilkada langsung berpendapat ingin mengembalikan Polri bergabung dengan TNI atau atau di bawah Mendagri. Bagaimana mungkin intelektual berpikir aneh seperti itu, penuh nafsu dan emosi. Dia pikir mengelola negara seperti membalikkan telapak tangan? dan ini sebuah penghianatan terhadap amanah Reformasi di segala bidang.

Secara normal tidaklah mungkin memundurkan jarum jam. Dan kemudian memframing rasa kebencian kepada Polisi. Bersyukurlah sebagian besar masyarakat menolak, 7 dari 8 fraksi menolak, Mendagri juga menolak. Secara pribadi saya juga sangat menolak.

Kombes Pol (Purn) Slamet Pribadi
Pakar hukum pidana

(aud/aud)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial