Jakarta -
Pada 31 Oktober lalu, Institute for Essential Services Reform (think tank transisi energi) berkerja sama dengan Generasi Energi Bersih Jakarta Selatan atau Gen-B Jaksel (organisasi anak muda tentang lingkungan) melaksanakan kegiatan EnergiXplor dengan mengunjungi lokasi-lokasi yang mendukung dekarbonisasi sektor transportasi yang ada di Jakarta. Salah dua lokasi yang dikunjungi adalah produsen bus listrik dan bengkel konversi motor listrik, yakni PT. Mobil Anak Bangsa (MAB) dan Elders Garage --keduanya brand perusahaan anak bangsa.
Sebanyak 35 peserta yang terdiri dari mahasiswa, media, dan komunitas diajak untuk melihat secara langsung sejauh mana kebijakan dan teknologi yang ada di lapangan bekerja dalam menurunkan emisi sektor transportasi. Selama perjalanan dari satu lokasi kunjungan ke lokasi yang lain menggunakan bus listrik karya PT MAB, saya memperhatikan dari balik kaca bus, motor-motor dan mobil pribadi yang mengeluarkan asap di luar sana, saling berdesak-desakan mencari celah untuk melaju.
Saya membayangkan seandainya orang-orang yang menggunakan kendaraan pribadi itu beralih menggunakan transportasi publik seperti bus listrik, atau paling tidak kendaraan-kendaraan pribadi tersebut seketika menjadi kendaraan listrik, tentu emisi polusi yang dihasilkan dapat berkurang drastis. Memang pikiran saya saat itu terkesan utopis dan agak egois. Namun jika melihat target Indonesia untuk Net Zero Emissions pada 2060 dan mempertimbangkan komitmen Indonesia untuk membatasi peningkatan suhu 1,5 derajat Celsius berdasarkan Perjanjian Paris, khayalan tersebut sangat realistis.
Keluar Jalur
Menurut data Climate Action Tracker (2023), aksi iklim Indonesia sama sekali tidak konsisten dengan batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius. Hal itu bisa dilihat dari target, kebijakan, dan aksi yang sudah pemerintah lakukan selama ini, sama sekali tidak mencukupi target Perjanjian Paris karena akan membawa Indonesia pada peningkatan emisi 1600 juta ton Co2e pada 2030 (di luar sektor lahan dan kehutanan). Dengan kata lain, kebijakan pemerintah yang ada saat ini akan mengantarkan Indonesia pada peningkatan suhu di atas 4 derajat Celsius.
Indonesia harus memangkas setengah emisinya atau sekitar 800 juta ton Co2e per tahun pada 2030 jika ingin membatasi peningkatan suhu 1,5 derajat Celsius. Salah satu strategi untuk menurunkan emisi tersebut adalah dekarbonisasi sektor transportasi. Sektor energi termasuk sektor transportasi di dalamnya merupakan kontributor emisi terbesar di Indonesia. Pada 2022, sektor energi menyumbang emisi sebesar 727,33 juta ton CO2e (KLHK, 2022). Khusus sektor transportasi Indonesia sendiri telah menyumbang 150 juta ton Co2 pada 2022 (IESR, 2023).
Dengan begitu, perubahan cepat dunia yang berlomba-lomba mengadopsi kendaraan listrik adalah suatu keniscayaan. Dalam hal ini, Indonesia tidak ingin ketinggalan momentum sehingga pemerintah turut menggenjot adopsi kendaraan listrik di dalam negeri. Dalam beberapa tahun ke belakang, pemerintah telah mengeluarkan seabrek kebijakan terkait kendaraan listrik mulai dari peraturan menteri, instruksi, hingga peraturan presiden. Semangat ini perlu dijaga sekaligus diawasi dan dikritisi, agar kebijakan yang dikeluarkan dapat tepat dan efektif.
Efek Pengganda
Secara langsung, kendaraan listrik tidak menghasilkan polusi. Itulah sebabnya kendaraan listrik kerap disebut kendaraan hijau. Dalam angka, kendaraan listrik mampu memangkas emisi 18-25 persen per kilometer berdasarkan faktor emisi grid 2022 (IESR, 2023). Hal itu terjadi lantaran efisiensi energi kendaraan listrik sangat tinggi, karena seluruh energi yang terkandung dalam baterai terkonversi menjadi energi kinetik. Berbeda dengan kendaraan BBM di mana bahan bakarnya sebagian terkonversi menjadi panas, suara, dan akhirnya berpolusi.
Namun kita mulai ragu ketika mengetahui bahwa sumber listrik untuk pengisian energi kendaraan listrik masih berasal dari sumber-sumber kotor yang ada di pembangkit batu bara. Apalagi jika melihat emisi yang dihasilkan di hulu ketika proses pembuatan baterai untuk kendaraan listrik, juga tak kalah besarnya. Klaim tersebut tidak salah. Namun permasalahan tersebut juga perlu dilihat dari berbagai perspektif sektor yang lebih luas, tidak hanya dari sektor transportasi tapi juga sektor lain, misalnya sektor ketenagalistrikan.
Salah satu permasalahan yang membuat bauran energi terbarukan berjalan lambat di Indonesia adalah karena kondisi kelebihan pasokan listrik Indonesia terutama di jaringan PLN Jawa-Bali. Hal itu membuat listrik dari energi terbarukan sulit masuk ke jaringan PLN. Sementara itu, permintaan listrik akhir-akhir ini alih-alih meningkat, justru mengalami penurunan karena geliat ekonomi yang melambat. Hal itu bisa dilihat beberapa bulan yang lalu ketika banyak industri tekstil pailit secara bersamaan, dan otomatis permintaan listrik ikut menurun. Konsekuensinya, tidak ada sektor yang mampu menyerap kelebihan pasokan listrik PLN. Maka di sinilah sektor kendaraan listrik hadir sebagai solusi.
Saat ini kelebihan pasokan listrik PLN kurang lebih 6 GW. Karena perjanjian jual beli listrik menggunakan skema Take or Pay, PLN harus membayar Rp 3 Triliun kepada Independent Power Producer (IPP) untuk setiap 1 GW yang PLN tidak gunakan. Artinya, PLN harus mengeluarkan uang Rp 21 Triliun setiap tahun untuk membeli energi yang tidak kita konsumsi. Agar kelebihan listrik ini dapat diserap, pengembangan adopsi kendaraan listrik dapat digunakan, mengingat baterai kendaraan listrik memiliki kapasitas yang cukup besar. Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan suatu strategi yang tepat agar elektrifikasi kendaraan dapat mengatasi kelebihan pasokan listrik PLN dan memberi ruang lebih bagi energi terbarukan untuk masuk ke jaringan.
Selain itu, kendaraan listrik juga memberikan efek pengganda yang lain, seperti penghematan. Tidak hanya pada neraca perdagangan akibat impor BBM, tetapi juga penghematan langsung bagi pengguna kendaraan listrik. Beberapa waktu yang lalu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat mengatakan bahwa total alokasi subsidi dan kompensasi energi tahun ini mencapai Rp 435 Triliun. Mempertimbangkan harga BBM yang fluktuatif dan kurs dolar, penghematan subsidi tiap satu kendaraan listrik dapat mencapai Rp 1-3 juta per tahun (IESR, 2022).
Di lain sisi, pengguna, terutama ojek online pengguna kendaraan listrik, akan mendapatkan penghematan kurang lebih 70 persen dibandingkan motor BBM. Artinya pengeluaran 70 persen yang biasanya dikeluarkan untuk BBM dapat masyarakat bawa pulang untuk keluarganya jika menggunakan kendaraan listrik. Dengan begitu, pendapatan dan daya beli masyarakat bertambah dan pada gilirannya alokasi belanjanya dapat disalurkan untuk kebutuhan yang menunjang kesehatan mereka.
Prioritas-prioritas
Sejauh ini pemerintah sudah menggelontorkan dana jumbo dalam bentuk insentif untuk menstimulus ekosistem kendaraan listrik baik di sisi supply dan demand, mulai dari potongan hingga pembebasan pajak seperti PPN, PPnBM, bea masuk, tax holiday, pajak daerah, sampai potongan harga pembelian kendaraan listrik. Untuk motor listrik baru dan konversi dapat potongan Rp 7 juta, dan mobil listrik baru mendapat potongan hingga Rp 80 juta. Namun pemerintahan baru Prabowo-Gibran ke depan masih memiliki PR besar untuk memastikan strategi adopsi kendaraan listrik benar-benar dapat menurunkan emisi demi mencapai target Perjanjian Paris.
Upaya berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah perlu diapresiasi. Namun, jika tujuannya untuk menurunkan emisi, sebaiknya bantuan 80 juta untuk pembelian mobil listrik perlu ditelaah kembali. Pasalnya, angka pengguna mobil di Indonesia kecil, dan kalaupun semua pengguna mobil BBM beralih ke mobil listrik, itu tidak akan mengurangi emisi transportasi dengan signifikan. Sebuah studi menunjukkan, hanya satu persen masyarakat Indonesia yang membeli kendaraan seharga mobil listrik.
Lebih baik insentif Rp 80 juta tersebut dialihkan untuk mengadopsi bus listrik untuk kebutuhan transportasi publik di kota-kota yang ada di Indonesia. Selain itu, insentif tersebut juga dapat diprioritaskan untuk mendukung ekosistem industri pendukung kendaraan listrik, seperti meningkatkan kualitas dan jumlah charging station dan industri spare-part kendaraan listrik.
Yang tak kalah penting, kendaraan listrik hadir untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah. Jangan sampai kebijakan pemerintah untuk menggenjot adopsi kendaraan listrik justru menimbulkan permasalahan baru, misalnya kemacetan. Meningkatkan kendaraan listrik harus berbanding lurus dengan pengurangan kendaraan BBM. Karena itu, pemerintah perlu memprioritaskan konversi motor BBM yang sudah ada menjadi motor listrik daripada membeli motor listrik baru.
Berdasarkan jejak karbon, motor konversi tentu emisinya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan motor listrik baru. Dengan begitu, adopsi motor listrik tidak perlu menambah kendaraan baru yang mengaspal di jalanan. Jika pemerintah menargetkan 13 juta motor listrik pada 2030 (sesuai target NDC), maka cukup 13 juta motor BBM yang ada sekarang dikonversi menjadi motor listrik.
Jadi, pemerintah perlu memberikan prioritas insentif untuk konversi motor listrik, jika perlu insentif pembelian motor listrik baru dialihkan sebagian atau keseluruhan untuk konversi motor listrik. Sayangnya, bengkel konversi yang penulis pernah kunjungi mengeluh karena insentif yang pemerintah janjikan macet padahal ada banyak pesanan motor konversi yang sedang mengantre.
Kemudian yang paling penting, perlu adanya inovasi untuk menjawab keraguan masyarakat tentang sumber energi pengisian kendaraan listrik yang masih berasal dari sumber-sumber kotor. Di sini, pemerintah perlu lebih mengalokasikan insentif untuk membangun charging station yang menggunakan sumber energi terbarukan. Perlu kebijakan yang mengakomodasi pemberian insentif kepada provider-provider charging station yang memasang PLTS atau energi terbarukan lainnya. Kebijakan tersebut tentu akan menstimulus lokasi pengisian daya menggunakan sumber energi bersih.
Dengan begitu, keraguan terhadap kendaraan listrik bisa terjawab serta ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dapat tumbuh, yang pada akhirnya dekarbonisasi sektor transportasi dengan kendaraan listrik bisa maksimal untuk lingkungan hidup yang lebih baik.
Muhammad Zulkifli Koordinator Program Generasi Energi Bersih Jakarta Selatan (Gen-B Jaksel)
(mmu/mmu)