Jakarta -
Kadang kita lebih takut tagihan listrik daripada gigitan nyamuk. Padahal, yang satu bikin dompet sekarat, yang lain bisa bikin kita lewat.
Beberapa minggu lalu, saya pulang ke kampung halaman. Sebuah desa kecil di pinggiran Jawa Barat yang masih bersahabat dengan udara pagi dan sinyal telepon yang suka bercanda. Rumah ibu saya tetap seperti dulu: tembok separuh bata, separuh kenangan. Dan, di halaman belakang masih berdiri bak penampung air—tempat favorit nyamuk lokal kongkow sambil membicarakan urusan perbanyakan.
Malam pertama, saya lupa memakai lotion anti nyamuk. Hasilnya? Kaki saya mirip papan Braille. Nyamuk-nyamuk kampung ini sepertinya masih setia dengan tradisi: menggigit tamu sebagai bentuk penyambutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lho, belum tahu ya, Mas? Di sini masih daerah endemis," kata Pak RT sambil menyeruput kopi. Ia menyebutkan nama-nama warga yang sempat dirawat karena malaria. Saya diam, antara kaget dan merasa bodoh. Saya pikir malaria itu sudah punah, kayak dinosaurus. Ternyata, dia cuma pindah tempat ngumpet.
Masih Banyak Kasus
Saya iseng tanya ke teman yang kerja di Puskesmas. Namanya Dini, sanitarian senior yang sudah hafal betul wajah warga, dari bayi sampai kakek.
"Masih banyak kasus malaria, apalagi pas musim hujan. Tapi sekarang beda, Mas. Gaya nyamuknya makin rapi. Mereka tahu kapan harus aktif, di mana harus bertelur. Mereka kayak punya SOP."
Saya tertawa. Tapi jujur, ada getir juga. Kita ini kadang baru bereaksi kalau sudah kena batunya. Atau dalam kasus malaria, kena gigitan berulang.
Dini bilang sekarang kampanye malaria bukan cuma soal pembagian kelambu atau fogging. Sekarang lebih kompleks. Harus menyentuh kebiasaan hidup, cara berpikir, bahkan kadang harus memutar ulang cara kita membayangkan kampung sehat.
"Tema tahun ini bagus banget," kata Dini. "Investasikan kembali, bayangkan kembali, nyalakan kembali. Tapi ya itu, jangan sampai cuma jadi spanduk."
Pelengkap Penderita Kebijakan
Saya ingat waktu kecil dulu. Ada program pemerintah yang rutin bagi-bagi kelambu. Anak-anak senang, karena merasa punya tenda kecil di kamar. Tapi kelambu itu lama-lama jadi sarung ayam atau pembungkus buah mangga. Investasi? Lenyap.
Sekarang, banyak program kesehatan datang ke kampung dengan istilah keren: pelibatan komunitas, pendekatan partisipatif, atau empowerment. Tapi saya kadang heran, kenapa warga sering jadi pelengkap penderita dalam kalimat kebijakan?
Saya pernah ikut rapat warga saat ada penyuluhan malaria. Narasumber dari kabupaten bicara dengan bahasa seminar. Warga bingung. Ada yang malah tidur, ada yang sibuk main gim di HP. Setelah selesai, semua bubar tanpa paham. Brosur berserakan di lantai, seperti daun gugur yang gagal berfoto Instagram.
Masalahnya bukan pada niat. Tapi cara. Kita sibuk menanam pohon strategi, lupa menyiram akarnya: kepercayaan dan keterlibatan warga.
Bayangkan Saja Dulu
Mari kita main imajinasi. Bayangkan kampung kita tanpa malaria. Anak-anak bisa main sampai sore tanpa takut digigit. Ibu-ibu tak perlu resah tiap musim hujan datang. Anggaran desa tak habis hanya untuk membeli insektisida.
Tapi imajinasi ini tidak datang dari langit. Harus dipupuk. Harus dimulai dari obrolan di warung, dari kebiasaan kecil: menguras bak, menutup tampungan air, menanam sereh, atau sekadar saling ingatkan.
Bayangkan jika sekolah-sekolah jadi pusat edukasi malaria. Anak-anak belajar bukan hanya dari buku, tapi dari praktik membersihkan lingkungan. Bayangkan kalau masjid bukan cuma tempat salat, tapi juga pusat informasi kesehatan.
Tapi ya itu tadi. Bayangkan saja dulu, karena kadang kita lebih rajin membayangkan kampung tetangga daripada membenahi halaman sendiri.
Menyalakan Kembali
Saya percaya, kampung punya kekuatan yang tak dimiliki kota: gotong royong. Tapi semangat itu, seperti lampu minyak, kadang padam tertiup angin zaman. Maka tugas kita: menyalakan kembali.
Jangan tunggu proyek pemerintah. Jangan tunggu dana hibah. Cukup mulai dari diri sendiri. Dari satu keluarga. Dari satu RT.
Bakar semangat lewat kegiatan bersama. Misalnya ronda malam sambil bawa senter, cek genangan air. Atau lomba kampung bersih bukan sekadar untuk lomba, tapi benar-benar jadi budaya.
"Kampung kita itu ibarat tubuh," kata Pak Lurah suatu malam. "Kalau satu titik kena malaria, yang lain ikut demam."
Saya suka analogi itu. Karena memang benar. Warga sehat itu bukan karena ada rumah sakit megah. Tapi karena ada kesadaran bersama.
Move On
Saya kadang iseng bikin status: "Kalau kamu sudah move on dari mantan, seharusnya juga bisa move on dari malaria."
Teman saya, Joko, membalas: "Mantan sih pergi, tapi nyamuknya masih tinggal di kampung gue."
Kita ini memang bangsa yang jago bercanda dalam penderitaan. Tapi semoga, suatu hari nanti, kita bisa bercanda bukan karena terpaksa. Tapi karena benar-benar sudah bebas.
Dengarkan Suara Warga
Tahun ini, Hari Malaria Sedunia (25 April) menggema dengan tema yang menarik. Investasikan kembali. Bayangkan kembali. Nyalakan kembali.
Saya cuma ingin menambahkan: Dengarkan kembali.
Dengarkan suara warga. Dengarkan logika nyamuk. Dengarkan sinyal alam. Karena kadang, solusi tak datang dari seminar. Tapi dari suara kecil yang kita abaikan.
Jangan remehkan gigitan kecil. Karena sejarah juga pernah berubah oleh nyamuk. Tanya saja Napoleon.
Arda Dinata pendiri MIQRA Indonesia; bekerja di Loka Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) Pangandaran, Kemenkes RI
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini