Bantuan Dipangkas, Pengungsi Myanmar di Thailand Dihantui Ancaman Kelaparan

11 hours ago 6

Jakarta -

Pemotongan dana bantuan luar negeri, lonjakan permintaan, serta inflasi yang tak terkendali telah memaksa lembaga-lembaga amal di Thailand untuk memangkas bantuan pangan secara drastis bagi puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan dan perang saudara di Myanmar.

Kurangnya bantuan dana ini mengancam berkurangnya jumlah pasokan makanan, yang berujung pada kondisi makin jarang pula mereka bisa makan.

Pemotongan bantuan dana tersebut diperkirakan akan mempengaruhi lebih dari 80% dari lebih 100.000 pengungsi yang kini tinggal di sembilan kamp sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian besar di antaranya telah berada di sana sejak tahun 1980-an, demikian menurut laporan The Border Consortium, sebuah aliansi lembaga amal yang menyuplai sebagian besar dukungan pangan ke kamp-kamp tersebut.

Para pengungsi tidak bisa bekerja, Mengapa? Mereka terhalang oleh larangan untuk bekerja di luar kamp yang diberlakukan oleh pemerintah Thailand. Padahal kesempatan untuk mencari nafkah di dalam kamp juga peluangnya kecil.

Untuk menghindari kelaparan, sebagian besar pengungsi sangat bergantung pada bantuan.

Kesenjangan dana yang memaksa pemangkasan bantuan

Pemangkasan bantuan ini berasal dari keputusan Departemen Luar Negeri AS pada tahun lalu, yang biasanya menanggung lebih dari setengah anggaran tahunan The Border Consortium.

Direktur Eksekutif konsorsium tersebut, Leon de Riedmatten, menjelaskan, "Permintaan kami pada Agustus lalu adalah sebesar $20 juta, namun kami hanya menerima $15 juta, yang hanya cukup untuk bertahan hingga Juli 2025."

Inflasi yang merajalela, fluktuasi nilai tukar, serta lonjakan jumlah pengungsi turut memperburuk keadaan.

Menurut hitungan konsorsium itu sendiri, sembilan kamp di sepanjang perbatasan telah menerima hampir 30.000 pengungsi baru sejak militer Myanmar menggulingkan pemerintah terpilih secara demokratis pada 2021, yang memicu perang saudara mematikan.

De Riedmatten melanjutkan: "Ada beberapa faktor yang telah meningkatkan pengeluaran kami, dan kini... apa yang kami miliki tidak akan cukup untuk terus memberikan bantuan pangan pada skala yang sama kepada para pengungsi di kamp-kamp tersebut."

Apakah pemangkasan ini akan berlanjut setelah Juli 2025? Jawabannya sangat bergantung pada keputusan para donor yang masih belum memberi kepastian.

Ketidakpastian pangan yang kian melebar

Setelah terdaftar dalam program bantuan pangan, pengungsi menerima kartu digital yang diberi saldo setiap bulan berdasarkan kebutuhan mereka yang dievaluasi secara berkala.

Namun, The Border Consortium menegaskan bahwa rumah tangga yang sangat bergantung pada kartu ini untuk membeli sebagian besar kebutuhan pangan mereka akan tetap mendapatkan top-up pada level yang sama seperti sebelumnya.

Yang paling menanggung beban pemotongan anggaran adalah 83% pengungsi di rumah tangga standar, yang dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan mereka sendiri, sering kali dengan bantuan dari kebun kecil, pekerjaan sederhana di dalam kamp, atau sumbangan dari kerabat di luar negeri. Bagi sebagian dari mereka, pemotongan anggaran akan terasa sangat besar.

Seorang pengungsi di kamp terbesar, Mae Le, bukan nama sebenarnya dan yang enggan disebutkan namanya karena khawatir ditindak otoritas Thailand, mengungkapkan bahwa pemangkasan ini akan memaksa mereka untuk makan lebih sedikit.

"Mungkin kami hanya akan makan dua kali sehari, mungkin satu kali sehari, atau bahkan harus mengurangi porsi makan kami," ujarnya, sambil menambahkan, "Apa pun yang kami terima, kami harus menerima kenyataan ini."

Anak-anak kurang gizi

Pada saat yang bersamaan, hasil survei terbaru mengenai gizi anak-anak di kamp-kamp pengungsi menunjukkan bahwa malnutrisi semakin meningkat.

Malnutrisi akut meningkat menjadi 3,4% sejak 2019, setelah bertahan stabil pada angka sekitar 2% selama bertahun-tahun.

Sementara itu, malnutrisi kronis yang sebelumnya menurun secara bertahap hingga 2022, kini melonjak menjadi 25,7% pada tahun lalu, dari 21,5% pada tahun sebelumnya.

Direktur Program Thailand untuk The Border Consortium, Tim Moore, menegaskan bahwa meskipun tingkat malnutrisi akut masih berada di bawah ambang batas yang dianggap mengkhawatirkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kenaikan malnutrisi kronis sangat terkait dengan meningkatnya jumlah pengungsi yang datang dari Myanmar, di mana perang saudara telah menenggelamkan jutaan orang dalam kemiskinan.

Moore menyatakan bahwa meski pemangkasan bantuan pangan telah dilaksanakan, kamp-kamp tersebut masih memiliki beberapa langkah perlindungan untuk mendeteksi dan mengobati malnutrisi.

Larangan bekerja bagi pengungsi: beban yang makin berat

De Riedmatten juga mengungkapkan bahwa konsorsium tengah mencari cara untuk menanggulangi pemangkasan ini secepat mungkin.

Dengan banyak negara donor yang kini lebih fokus memenuhi kebutuhan domestik mereka daripada memberikan bantuan luar negeri, mereka berharap dapat meyakinkan pemerintah Thailand untuk memberikan izin kepada pengungsi untuk bekerja di luar kamp agar mereka bisa memenuhi lebih banyak kebutuhan mereka sendiri.

Selama bertahun-tahun, para pembela hak pengungsi telah mendorong gagasan ini, namun belum ada hasil nyata.

Bahkan, setelah seorang anggota parlemen oposisi mengusulkan hal yang sama pada Januari lalu, Wakil Perdana Menteri Phumtham Wechayachai menolaknya, dengan alasan bahwa hal itu akan membebani warga negara Thailand.

Namun, De Riedmatten tetap berharap bahwa Kementerian Dalam Negeri Thailand yang harus mengimplementasikan kebijakan ini, mulai membuka ruang untuk mempertimbangkan proposal tersebut.

"Tapi kita belum sampai pada titik itu, saya sungguh berharap kita bisa menemukan cara untuk menyelesaikan masalah ini sebelum sampai pada situasi yang benar-benar tak terpecahkan," pungkas De Riedmatten penuh harap.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningih

Editor: Hendra Pasuhuk

(haf/haf)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial