Lipstick Effect Beri Kenikmatan Sesaat, Alarm Tanda Bahaya buat Ekonomi

1 month ago 22

Jakarta -

Fenomena lipstick effect kini marak terjadi di kalangan kelas menengah. Fenomena ini ditandai dengan masyarakat yang terus menggunakan uangnya untuk membeli barang seperti kosmetik, produk perawatan kecantikan, dan sejenisnya secara impulsif.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa fenomena lipstick effect cenderung menunjukkan indikator yang kurang baik untuk perekonomian.

"Lipstick effect ini cenderung indikator yang kurang baik sebenarnya, untuk sektor secara keseluruhan. Untuk industri kosmetik, ini peluang. Tetapi bagi sektor lainnya, kalau orang membeli kosmetik secara impulsif berarti dia sedang mengurangi pembelian barang lainnya," terang Bhima kepada detikcom, Sabtu (4/1/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bhima melanjutkan, dibandingkan dengan menggunakan uangnya untuk rekreasi, belanja transportasi, belanja akomodasi lainnya, masyarakat justru lebih memilih untuk berada di rumah dan menghibur diri dengan belanja perintilan kecil untuk mencari pelarian sesaat. Fenomena ini, kata Bhima, salah satunya juga didorong oleh peran media sosial.

"Gaya hidup selfie itu untuk menghibur diri, bahkan untuk bisa dapat validasi ya secara sosial. Tetapi kalau dilihat secara ekonomi, makanya dulu ada banyak riset soal lipstick effect, ini menandakan bahwa kondisi ekonomi makro mengarah pada perlambatan, bahkan penurunan di berbagai sektor." kata dia.

Masyarakat yang ada dalam fenomena lipstick effect mayoritas adalah kelas menengah, lantaran tidak bisa mendapatkan privilese untuk mengakses "pelarian" yang lebih mewah.

"Yang paling mudah beli skin care. Skin care belum habis, sudah order lagi mencoba merek baru. Bukan berarti uangnya banyak, karena sebagian fenomena ini juga dibiayai oleh pay later," imbuh Bhima.

Senada, peneliti senior sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad berpendapat, lipstick effect dalam ranah ekonomi adalah juga dampak dari kesulitan ekonomi.

"Ketika kita menghadapi masalah keuangan, tetapi keinginan untuk belanja masih tetap ada, masyarakat tetap mengonsumsi bahkan lebih tinggi untuk barang yang sifatnya terkesan luxury (mewah) sebagai cover," terang Tauhid saat dihubungi detikcom.

Melihat dari sisi perekonomian, efek dari fenomena ini punya sisi positif. Hal ini karena, Tauhid bilang, masyarakat masih ada keinginan untuk belanja.

"Bagi ekonomi lipstick effect ini positif, karena masih ada keinginan untuk belanja daripada tidak sama sekali. Ini kan sifatnya escape, jalan keluar atau pelarian. Fenomena lipstick effect ini ada ketika masalah finansial menghantam kelas menengah. Kalau pendapatan mereka bagus, berarti mereka benar-benar membeli barang yang real luxury, bukan sekadar pelarian," tambahnya.

Sementara itu, Kepala Center of Macroeconomics and Finance INDEF, M. Rizal Taufikurahman, juga mengatakan, meski lipstick effect dapat menjaga perputaran ekonomi di sektor tertentu, seperti kosmetik dan makanan ringan, dampak yang diberikan terhadap perekonomian justru bersifat ambigu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita pada 2024 mencatat pengeluaran untuk makanan naik 5,69% yang mengindikasikan peningkatan konsumsi untuk barang non-esensial.

"Namun, jika perilaku ini tidak diimbangi dengan literasi keuangan, risiko alokasi anggaran yang tidak produktif dapat mengancam stabilitas finansial individu dan daya beli masyarakat secara keseluruhan," imbuh Rizal kepada detikcom.

Rizal membeberkan lebih dalam, bahwa fenomena ini paling marak dialami oleh kelas menengah. Walaupun pendapatan mereka cukup, Rizal bilang tekanan ekonomi kerap dirasakan kelas menengah dan kerap mencari kepuasan instan melalui konsumsi.

Lebih lanjut Rizal menerangkan, generasi muda memiliki peran signifikan dalam fenomena ini, terutama dengan preferensi terhadap produk terjangkau yang memberi kepuasan dengan cepat.

"Namun, perilaku konsumtif tanpa perencanaan dapat menggerus tabungan dan memicu utang, menciptakan potensi masalah finansial di masa depan. Pemerintah perlu mendorong literasi keuangan, memberikan insentif untuk konsumsi produktif, dan memastikan kebijakan ekonomi yang mendukung daya beli masyarakat secara berkelanjutan," tandas Rizal.

(eds/eds)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial