Jakarta -
Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan baru untuk pembangunan ekonomi desa dengan mendirikan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, yang digadang-gadang mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat desa. Namun, dengan sejarah panjang berbagai program serupa seperti KUD dan BUMDES, muncul pertanyaan krusial: apakah ini langkah maju atau sekadar mengulang pola kebijakan yang tak berujung?
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 7 Maret 2025 lalu mengumumkan rencana pendirian Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan mengatasi tantangan ekonomi pedesaan. Kopdes Merah Putih ini dirancang sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penyedia layanan simpan pinjam di tingkat desa, dengan harapan dapat memberikan akses pendanaan yang lebih terjangkau bagi masyarakat serta mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman online ilegal (pinjol), tengkulak, dan rentenir.
Selain itu, Kopdes juga diarahkan menjadi offtaker hasil pertanian dengan harga pembelian yang ditetapkan pemerintah guna memastikan kesejahteraan petani. Untuk mendukung operasionalnya, Kopdes akan dilengkapi dengan fasilitas penyimpanan seperti cold storage, gudang, armada transportasi, serta jaringan distribusi ke berbagai gerai penjualan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah berkomitmen untuk memberikan pendanaan sebesar Rp 5 miliar per koperasi, yang bersumber dari perbankan BUMN (Bank Himbara). Model pengembangan Kopdes ini dirancang dalam tiga skenario: mendirikan koperasi baru, merevitalisasi koperasi yang sudah ada, atau membangun kelompok tani di desa sebagai embrio koperasi baru.
Belajar dari Sejarah: KUD dan BUMDES
Sebagai sebuah kebijakan, inisiatif ini tentu patut diapresiasi. Namun, sebelum meluncurkan instrumen baru, pemerintah seharusnya melakukan kajian menyeluruh terhadap kebijakan yang telah ada. Hal ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan dapat tercipta kesinambungan yang lebih efektif.
Kajian retrospektif juga dapat menjadi pelajaran berharga, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan program sebelumnya. Setidaknya, terdapat dua instrumen kebijakan desa yang memiliki tujuan serupa dengan Kopdes Merah Putih: Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES).
Pertama, KUD, yang diperkenalkan pada era Orde Baru pada tahun 1978, dirancang sebagai instrumen utama dalam mendukung swasembada pangan. Namun, sejak Reformasi 1998, peran KUD mulai terpinggirkan. Ketidakjelasan arah kebijakan, lemahnya tata kelola, serta menurunnya dukungan pemerintah menyebabkan banyak KUD mengalami mati suri, terjebak dalam dilema untuk bertahan atau dibubarkan.
Kedua, BUMDES, yang lahir dari implementasi Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan spirit yang hampir serupa dengan KUD, BUMDES dirancang sebagai wadah bagi pengembangan ekonomi desa serta pemberdayaan potensi lokal.
Tidak seperti KUD yang lebih terpusat, BUMDES diberikan fleksibilitas dalam menentukan unit usahanya, termasuk mengelola usaha koperasi. Setelah satu dekade berjalan, perkembangan BUMDES masih berada pada tahap 'berkembang', meskipun beberapa telah berhasil menjadi champion di tingkat nasional dan bahkan Asia Tenggara.
Namun, dari segi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Desa (PADes), penelitian yang saya lakukan pada tahun 2024 menunjukkan bahwa kontribusi BUMDes terhadap PADes masih berada di kisaran 2-4%. Hal ini mengindikasikan tingginya ketergantungan BUMDES terhadap pendanaan pemerintah pusat dan daerah.
Lanjut ke halaman selanjutnya
Sejak 2015 hingga 2024, total Dana Desa yang telah dialokasikan pemerintah mencapai sekitar Rp 610 triliun. Investasi sebesar ini seharusnya menjadi modal kuat bagi pembangunan ekonomi desa yang berkelanjutan. Namun, jika kebijakan baru seperti Kopdes Merah Putih diterapkan tanpa strategi yang jelas dan integrasi yang matang, BUMDES bisa mengalami nasib serupa dengan KUD-menjadi proyek yang akhirnya kehilangan relevansi dan dukungan. Pemerintah harus memastikan bahwa besarnya investasi ini tidak berakhir sia-sia tanpa dampak nyata bagi masyarakat desa.
Jangan Mengulang Kesalahan, Perkuat yang Sudah Ada
Pemerintah semestinya bertanggung jawab atas efektivitas ratusan triliun rupiah yang telah dikucurkan dalam program BUMDES. Sebagai bentuk akuntabilitas, alih-alih memperkenalkan instrumen baru yang berpotensi tumpang tindih, pemerintah sebaiknya berfokus pada revitalisasi dan penguatan instrumen yang sudah ada.
Jika tujuan utama pemerintah adalah swasembada pangan dan kesejahteraan petani, maka intervensi dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas manajerial, tata kelola, serta daya saing BUMDES. Pemerintah dapat menginjeksi permodalan, memperkuat jejaring pasar, serta memberikan dukungan teknis dan pendampingan manajemen bagi BUMDes agar mampu menjalankan fungsi yang diharapkan dari Kopdes Merah Putih.
Dengan jaringan BUMDes yang telah terbentuk secara nasional, misi swasembada pangan pedesaan tetap dapat dijalankan tanpa harus menciptakan entitas baru yang berpotensi mengulang kegagalan KUD. Yang diperlukan bukanlah duplikasi kebijakan, melainkan integrasi strategi yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Jika tidak, bukan tidak mungkin Kopdes Merah Putih hanya akan menjadi babak baru dalam siklus kebijakan yang berulang, meninggalkan jejak yang sama seperti pendahulunya-ambisi besar tanpa dampak nyata yang berkelanjutan bagi masyarakat desa.
Desti Fitriani
Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia,
Peneliti di bidang akuntabilitas pemberdayaan desa.