Inflasi Gelar Akademik dan Ketidakpastian Dunia Kerja

4 hours ago 2

Jakarta -

Pentingnya kompetisi di bidang pendidikan tinggi akhir-akhir ini mulai dipertanyakan, apalagi dalam konteks ketidakpastian dunia kerja dan pendidikan saat ini. Di tengah kondisi ini, semakin sulit untuk meyakinkan orang agar tetap fokus pada pencapaian akademik. Misalnya, di lingkungan keluarga saya, saya tahu bahwa jika saya membicarakan pentingnya nilai memuaskan di perguruan tinggi, adik saya akan langsung memberikan berbagai argumen yang menentang. Saya percaya dia akan merasa sulit untuk setuju, dan jelas ada alasan kuat di balik ketidaksetujuannya.

Bahkan, dia bisa saja dengan mudah untuk mengutip pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang mengatakan bahwa IPK tidak menentukan kesuksesan seseorang. Bahlil sendiri adalah contoh nyata bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari seberapa tinggi IPK seseorang. Dengan IPK yang hanya 2,7, Bahlil berhasil meraih posisi penting di pemerintahan. Ini memberikan pesan bahwa keterampilan praktis, pengalaman kerja, dan kemampuan membangun koneksi jauh lebih bernilai daripada sekadar mengejar angka tinggi di bangku kuliah.

Sudah menjadi hal lumrah bahwa gelar akademik dan IPK bukan lagi satu-satunya ukuran kesuksesan. Banyak lulusan perguruan tinggi yang justru terjebak dalam pengangguran meski sudah punya gelar sarjana. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berbincang dengan seorang teman yang baru saja lulus dari perguruan tinggi yang sama dengan saya. Dia bercerita tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan meski sudah menyandang status sarjana. Setelah bertahun-tahun belajar, mengikuti ujian, dan meraih IPK yang memadai, dia merasa tak berdaya untuk menembus pasar kerja yang semakin penuh dengan persaingan. Pekerjaan impian yang selama ini ia idam-idamkan tak kunjung datang. Bahkan, beberapa lowongan pekerjaan yang dia lamar lebih banyak menuntut pengalaman praktis ketimbang sekadar gelar akademik.

Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam tingkat pengangguran di kalangan lulusan sarjana di Indonesia. Pada Juli 2024, tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan perguruan tinggi tercatat mencapai 5,18%, sebuah angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan 4,8% yang tercatat pada 2022. Angka ini memberikan gambaran yang cukup mencemaskan, mengingat semakin banyaknya sarjana yang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara jumlah lulusan sarjana yang terus meningkat dengan tuntutan pasar kerja yang semakin selektif atau bahkan justru menyempit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pendidikan di tengah ketidakpastian gelar akademik dan tantangan dunia kerja memang membutuhkan pemikiran lebih dalam. Tidak cukup hanya mengandalkan tradisi dan cara-cara lama yang menekankan perolehan angka dan gelar semata. Meskipun banyak perguruan tinggi yang menyediakan fasilitas lengkap dan pengajaran yang mumpuni, namun muncul pertanyaan serius, apakah pendidikan tersebut dapat benar-benar mempersiapkan kita untuk menghadapi dunia kerja yang penuh tantangan ini.

Salah satu hal yang paling sering terabaikan dalam pendidikan adalah keterampilan praktis. Siswa dan mahasiswa sering terjebak dalam rutinitas menghafal materi dan mengejar nilai tinggi, namun jarang diajarkan bagaimana cara mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata. Padahal, di dunia kerja, banyak perusahaan yang lebih memprioritaskan pengalaman kerja dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara langsung, dibandingkan sekadar memiliki gelar atau IPK tinggi.

Kemampuan beradaptasi, keterampilan teknis, dan kemampuan untuk berpikir kreatif adalah hal-hal yang lebih dihargai daripada sekadar angka yang tercatat di transkrip. Hal ini menjadi pemantik bagi lembaga pendidikan untuk melakukan transformasi secara revolusioner. Selain memberikan pemahaman mendalam tentang materi pelajaran, pendidikan butuh menekankan pengembangan keterampilan yang relevan dengan dunia kerja. Pembelajaran berbasis proyek, pengalaman magang, dan kerja tim adalah beberapa contoh yang dapat memberikan keterampilan praktis yang sangat dibutuhkan oleh dunia kerja.

Tidak hanya itu, perguruan tinggi juga perlu mengajarkan keterampilan soft skill, seperti komunikasi yang efektif, kemampuan bekerja dalam tim, dan pemecahan masalah. Semua ini akan sangat membantu lulusan dalam menavigasi tantangan dunia kerja yang semakin kompleks.

Selain itu, lembaga pendidikan juga perlu mulai mengajarkan metakognisi—kemampuan untuk berpikir tentang cara kita berpikir—sebagai bagian dari kurikulum pendidikan. Metakognisi mengajarkan tentang bagaimana belajar dapat dilakukan secara mandiri, serta mampu mengevaluasi proses pembelajaran agar terus berkembang. Dengan pendekatan ini, lulusan tidak hanya mengandalkan apa yang mereka pelajari di bangku kuliah, tetapi juga mampu mengevaluasi kekuatan dan kelemahan mereka, serta mengatasi tantangan di dunia nyata dengan cara yang lebih bijak dan efisien.

Namun, di luar masalah pendidikan itu sendiri, kita juga perlu melihat tantangan yang datang dari masyarakat dan dunia luar. Media sosial sering memberikan gambaran yang keliru tentang cara mendapatkan pekerjaan bergengsi—seolah-olah kesuksesan bisa dicapai dalam sekejap tanpa melalui perjuangan yang panjang. Hal ini tentu saja menciptakan tekanan tersendiri bagi generasi muda yang ingin cepat berhasil tanpa menyadari bahwa kesuksesan sejati memerlukan waktu, usaha, dan proses yang berkelanjutan.

Afif memaparkan sebanyak 24 daerah akan melaksanakan PSU lalu dua daerah yang harus melakukan perbaikan berita acara rekapitulasi. Dia mengatakan KPU akan melaksanakan semua putusan MK dengan penuh tanggung jawab.

"Untuk perbaikan di daerah-daerah yang ada PSU (berjumlah) 24 dan 2 tempat yang perbaikan berita acara dan juga rekapitulasi yang bebannya diberikan di KPU RI. Semuanya kita harus laksanakan dengan penuh tanggung jawab," ujarnya.

Dalam konteks ini, pendidikan yang lebih berorientasi pada metakognisi dan keterampilan praktis akan jauh lebih berguna dibandingkan pendidikan yang hanya mengandalkan pencapaian akademik semata. Kita perlu memahami bahwa dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian ini, siapa yang bisa terus belajar dan beradaptasi adalah mereka yang akan bertahan dan berkembang. Gelar akademik akan tetap memiliki nilai, tetapi keterampilan untuk menghadapi perubahan dan tantangan dunia kerja yang semakin kompleks akan menjadi pembeda utama.

Tentu saja, perubahan ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor industri untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar. Perguruan tinggi perlu bertransformasi dari sekadar tempat untuk meraih gelar menjadi lembaga yang menyiapkan lulusannya untuk terjun ke dunia kerja dengan keterampilan praktis dan pola pikir yang adaptif.

Dengan demikian, meski inflasi gelar akademik dan ketidakpastian dunia kerja adalah kenyataan yang harus kita hadapi, kita bisa menghadapinya dengan pendidikan yang lebih holistik—yang mempersiapkan generasi muda untuk tidak hanya menguasai teori, tetapi juga siap mengaplikasikan ilmu dan keterampilan mereka di dunia yang terus berubah. Pendidikan yang menekankan metakognisi dan keterampilan praktis adalah kunci untuk menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Dimas Junian Fadillah mahasiswa Universitas Negeri Semarang

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial