Hitungan Transisi PPN 12% Dikritik DPR

1 month ago 29

Jakarta -

Presiden Prabowo telah menyatakan penerapan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah. Kebijakan itu resmi berlaku mulai 1 Januari 2025.

Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun menilai aturan PPN menjadi 12% yang dibuat Kemenkeu malah menuai kebingungan. Dia pun menyentil dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12.

"Anehnya, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementrian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sehingga aturan pelaksanaan nya di PMK sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 dimana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU HPP tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multi tarif," kata dia dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pasal 7 tidak ada larangan soal multitarif PPN sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11% dan PPN 12% diterapkan bersamaan sekaligus. Namun aturan yang telah terbit dinilai malah membingungkan.

"Tetapi ketika PMK 131 membuat dasar perhitungan yg membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak khusus dirjen pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas," jelas dia.

Sementara aturan yang dibuat Kementerian Keuangan dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak, dimana Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.

"Sedangkan untuk Masa Transisi pada tanggal 1 Januari 2025 s.d. 31 Januari 2025, Pengenaan PPN Barang Mewah dikenakan tarif 12% dengan DPP Yang sama dengan Barang/Jasa yang bukan barang mewah," terangnya.

Misbakhun mengatakan Prabowo telah menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11% dan bukan 12% untuk barang/jasa yang bukan barang mewah, tetapi menurutnya dalam peraturan tersebut bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 12%.

"Memang Dasar Pengenaan Pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11% atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif. Tetapi peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, di mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12% seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak dalam Media Briefing 2 Januari 2025," jelasnya.

Misbakhun juga menyentil persiapan pembuatan aturan PPN menjadi 12% yang sangat mendekati dengan penerapan aturan itu. Karena waktu yang mepet itu menurutnya tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.

"Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya," terangnya.

Dia menyebut Kementerian Keuangan RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multi tafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

"Apakah Kementerian Keuangan terutama Direktorat Jenderal Pajak telah menterjemahkan instruksi Presiden dengan tepat? Tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya," ucapnya.

Dia pun menyentil pejabat Direktur Jenderal Pajak yang menurutnya jika tidak mampu melaksanakan perintah Prabowo, maka dia menyarankan untuk mengundurkan diri. Karena menurutnya aturan yang dibuat soal PPN 12% tidak seirama dengan perintah Prabowo.

"Kalau dirjen pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri karena apa yg dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat menimbulkan pelaksanaan yg menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha," pungkasnya.

(ada/rrd)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial