Jakarta -
Beberapa waktu belakangan dunia maya dihebohkan dengan tagar #KaburAjaDulu, menyusul kondisi sosial, politik, dan ekonomi RI yang dinilai suram. Tagar ini berisi ajakan meninggalkan Indonesia untuk sekolah ataupun bekerja di luar negeri.
Lalu, apakah bekerja di luar negeri lebih baik?
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai, salah satu daya tarik utama yang membuat banyak orang ingin bekerja di luar negeri ialah terkait besaran upah atau gajinya. Di Jepang sendiri, upah pekerja dibayarkan bisa mencapai 1.000 yen per jam atau setara Rp 106.000 per jam (kurs Rp 106).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Australia katanya ada yang sampai Rp 150.000 per jam yang di pertanian, peti anggur, apel, atau ceri. Dan kalau mereka kerja melampaui batas jam yang ditetapkan, mereka dapat uang lembur, dan ada bonus biasanya. Itu yang membuat tertarik ke sana," kata Tadjudin, saat dihubungi detikcom, Minggu (16/2/2025).
Tidak hanya gaji yang besar, para pekerja juga mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan, bahkan beberapa di antaranya juga menyediakan tempat tinggal. Belum lagi, ada bonus dan uang lembur.
"Di Australia pertanian itu ada yang dapat mess, kesehatan ditanggung, semuanya ditanggung. Mereka pokoknya kerja dari jam 8 sampai jam atau jam berapa, lebih jam ditambah upahnya. Lalu katanya kalau per bulan itu ada bonus. Ada yang sudah mengumpulkan sampai ratusan juta (dari sana)," ujarnya.
Menurutnya, salah satu pemicu dari semarak tagar #KaburAjaDulu ialah kebutuhan lapangan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaannya. Ditambah lagi, beberapa waktu belakangan justru marak terjadi Pemutusan Lapangan Kerja (PHK).
"Sampai saat ini, kan yang terdengar bukan lapangan pekerjaan yang muncul, tapi kan banyak PHK. Memang adalah lapangan kerja dibuka, tapi yang paling santer belakangan ini PHK. Ini saya pikir cukup berat," kata dia.
Selain itu, masyarakat juga kerap dihadapkan dengan tantangan untuk melamar pekerjaan di Indonesia seperti aspek persyaratan umur hingga pendidikan. Ada juga sejumlah pekerjaan dengan beban kerja berat, namun gajinya terbilang kurang sesuai.
Karena itulah, semakin banyak anak-anak muda Indonesia yang mencari peluang kerja dari luar negeri. Sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, hingga Australia menjadi destinasi yang paling banyak diincar.
Meski demikian, menurutnya fenomena #KaburAjaDulu ini bisa disikapi secara positif dan dimanfaatkan. Daripada anak muda berpendidikan menganggur, Tadjudin menilai, tidak apa-apa pergi kerja ke luar negeri untuk mencari penghasilan dan pengalaman, kemudian kembali ke Indonesia.
"Anak-anak yang #KaburAjaDulu, saya kira jangan-jangan setiap bulan dia mengirim uang ke Indonesia. Artinya, orang-orang itu mempunyai kontribusi kepada divisa kita. Kalau dulu pernah kita dengar ART yang bekerja di Malaysia, Arab Saudi, itu biasanya mereka akan mengirimkan uangnya ke Indonesia, kemudian mereka dapat sebutan pahlawan devisa," ujarnya.
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, telah mencatatkan peningkatan remitansi atau transfer uang lintas negara setiap tahunnya. Hal ini salah satunya ditopang oleh banyaknya anak-anak muda Indonesia mencari pekerjaan di luar negeri.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada tahun 2024 tercatat ada sebanyak Rp 251,5 triliun. Angka ini naik 14% dibandingkan dengan remitansi di tahun 2023.
"Jadi kalau dilihat tergantung, #KaburAjaDulu itu begitu di luar negeri dia apa? Dia hanya bekerja. Kalau dia hanya bekerja kan artinya dia masih menyumbang remitansi atau menyumbang transfer pendapatan ke keluarganya yang ada di Indonesia," kata Bhima dihubungi terpisah.
Namun berbeda cerita apabila anak-anak muda RI memutuskan untuk menetap dan pindah kewarganegaraan hingga membeli aset di sana, seperti kendaraan bermotor hingga properti. Menurutnya, angka remitansinya akan berkurang sehingga RI kehilangan potensi devisa.
"Satu, perputaran ekonomi domestik, kita akan ditinggalkan anak-anak usia produktif yang seharusnya bisa bekerja di domestik dan memutar uangnya di dalam negeri. Kedua, fenomena ini bisa memicu krisis SDM dalam jangka panjang dalam bentuk brain drain, artinya talenta-talenta terbaik," ujarnya.
Bhima mengatakan, sektor digital di Indonesia masih kekurangan 9 juta orang tenaga kerja berkeahlian tinggi, namun memenuhi pasar di negara orang. Menurutnya, kondisi ini bisa menimbulkan bencana krisis demografi di Indonesia.
(shc/kil)