Serangkaian uji coba program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dilaksanakan di berbagai daerah. Rencananya, program andalan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam debat pemilu lalu ini akan dimulai pada Januari 2025.
Meski demikian, sejumlah pemerhati kesehatan masih mempertanyakan tujuan sebenarnya pemberian makan gratis ini. Pasalnya, hingga hari ini, pemerintah belum terang betul menyampaikan tujuan dan teknis pelaksanaan program tersebut.
“Yang kami pertanyakan adalah, kalau memang tujuannya untuk menurunkan stunting, seharusnya sasarannya bukan di sekolah. Tapi, kalau bukan untuk menurunkan stunting, jadi tujuannya apa? Apakah hanya untuk membuat mereka punya asupan yang bergizi yang bisa dipertanggungjawabkan atau memang ada penyakit tertentu yang mau diselesaikan secara jangka panjang dari memberi Makan Bergizi Gratis ini?” tutur CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih kepada detikX pekan lalu.
Mulanya, Prabowo, dalam sejumlah debat dan kampanye pada 2023, mengatakan tujuan awal program ini adalah mengurangi stunting. Target penerimanya mulai anak-anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Namanya masih menggunakan makan siang gratis.
Belakangan, namanya diganti menjadi MBG. Prabowo berkilah nama itu didapat setelah melalui sejumlah kajian. Target penerimanya juga diubah menjadi anak sekolah, balita, ibu menyusui, hingga ibu hamil. Tujuannya diperluas menjadi untuk meningkatkan gizi dan mengurangi angka prevalensi gagal tumbuh atau stunting pada anak.
Nanti diukur secara intelektual. Dilihat nilai-nilai siswa sebelum diberi makan bergizi dan setelah diberi makan bergizi. Diharapkan dapat meningkatkan semangat belajar siswa.”Diah memandang perubahan nama dan tujuan ini menunjukkan pemerintah sebetulnya belum memiliki kerangka teori yang jelas dalam program tersebut. Ini, kata Diah, berpotensi membuat tata laksana makan bergizi berbenturan dengan program-program pemerintah lainnya yang sudah ada. Misalnya, program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) yang tertuang dalam Perpres 72/2021.
Target penerima manfaat PPS nyaris serupa dengan MBG. PPS menyasar ibu hamil, ibu menyusui, bayi usia dua tahun (baduta), remaja putri, balita, dan anak-anak sekolah. Salah satu upaya dalam PPS ini adalah memberikan vitamin, makanan berprotein nabati, makanan tambahan untuk ibu hamil maupun anak-anak yang terdeteksi mengalami kurang gizi.
PPS, menurut Diah, punya kerangka strategi maupun teori yang lebih jelas. Upaya penurunan prevalensi stunting dalam program ini dimulai dari proses skrining supaya bisa menentukan langkah-langkah intervensi lanjutan yang berbasis rekam gizi calon penerima manfaat. Lingkupnya lebih kecil lantaran hanya diberikan kepada target penerima manfaat yang memang terindikasi membutuhkan intervensi gizi.
Ini berbeda dengan program MBG, yang belum jelas basis ilmiahnya. Belum ada juga upaya skrining kepada calon penerima manfaat untuk menentukan menu apa saja yang sesuai dengan kebutuhan gizi mereka. Dalam kata lain, MBG terlihat menggeneralisasi kebutuhan gizi dan pangan setiap penerima manfaat.
Kesimpulan itu disampaikan Diah lantaran sampai hari ini Badan Gizi Nasional (BGN), yang menaungi program tersebut, belum terang betul menjelaskan seperti apa kandungan gizi yang ada dalam MBG nantinya. Padahal calon penerima manfaat perlu tahu apa saja kandungan gizi yang terdapat dalam satu porsi MBG. Sebab, kata Diah, kebutuhan gizi penerima manfaat dan penerimaan seseorang terhadap jenis makanan bisa jadi berbeda-beda, misalnya untuk orang-orang yang punya alergi tertentu.
“Ini kenapa kajian saintifik itu penting dan kenapa konsultasi dengan masyarakat umum itu penting,” kata Diah.
Standar gizi yang belum jelas ini terlihat dalam beberapa menu makan yang diberikan kepada sejumlah siswa dalam tahap uji coba MBG. Misalnya, menu MBG yang sempat diuji coba di Sekolah Dasar Negeri 4 Kota Tangerang pada Agustus 2024. Menu MBG yang diberikan berupa nasi putih, ayam suwir, kentang, dan buah-buahan.
Dosen Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Izzati Nur Khoiriani mengatakan menu uji coba MBG tersebut masih belum memenuhi standar piramida gizi seimbang yang diatur Kemenkes. Menu tersebut, kata Izza, hanya berfokus pada asupan gizi berupa protein hewani, tapi luput menyajikan protein nabati.
Izza mengatakan, untuk bisa disebut sebagai menu makan dengan gizi seimbang, protein nabati dan hewani harusnya diberi secara bersamaan, bukan terpisah. Protein nabati bisa didapat dari kacang-kacangan atau menu fermentasi kedelai, seperti tahu dan tempe.
Izza juga menyoroti porsi sayuran yang diberikan dalam menu tersebut. Porsi sayur yang diberikan juga belum memenuhi standar gizi seimbang. Sayur, kata Izza, harusnya diberi paling sedikit 100 gram dalam sekali makan. “Kalau ini sekilas yang saya lihat sepertinya nggak 100 gram, ya,” kata Izza mengomentari gambar menu MBG yang detikX kirimkan ke nomor WhatsApp-nya.
Standar gizi, tujuan, dan mekanisme pelaksanaan MBG ini juga menjadi sorotan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Irma Suryani Chaniago. Seperti Diah, Irma khawatir pelaksanaan MBG akan berbenturan dengan program PPS. Kalau ini yang terjadi, kata Irma, persoalannya bukan hanya pada mekanisme pelaksanaan, tapi juga pada strategi alokasi anggaran. Karena itu, BGN perlu memperjelas tujuan pemberian MBG dan mengevaluasi kembali target penerima manfaatnya.
Di samping itu, Irma meminta BGN secara terbuka menjelaskan standar menu yang akan disajikan dalam setiap MBG. Irma mengatakan, pada masa awal sidang 2025, komisinya akan langsung memanggil BGN untuk meminta keterangan terkait hal-hal tersebut.
“Nanti di RDP (rapat dengar pendapat) awal masa sidang 2025, tentu kita akan perjelas ini dengan Gadan Gizi Nasional karena ini memang program yang harus dikawal,” jelas Irma melalui telepon pada Kamis, 5 Desember 2024.
Pejabat Humas BGN Kombes Pol Lalu Muhammad Iwan Mahardan mengakui beberapa hal terkait MBG memang mengalami perubahan, termasuk nama, tujuan, teknis pelaksanaan, anggaran, dan menu. Itu, menurut Iwan, merupakan hal wajar mengingat kini program MBG masih dalam proses perencanaan dan uji coba.
BGN, sambung Iwan, masih terus berproses meramu teknis pelaksanaan yang tepat agar dapat diterima dengan baik oleh target penerima manfaat MBG. Menu makannya juga tengah dikaji bersama para ahli gizi dari Perhimpunan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) agar dapat disesuaikan dengan tujuannya.
Iwan mengatakan BGN akan terus melakukan evaluasi selama proses uji coba dan pelaksanaannya. Tim ahli gizi di BGN akan mengukur peningkatan IQ para penerima manfaat sebagai ukuran keberhasilan dari program tersebut.
“Nanti diukur secara intelektual. Dilihat nilai-nilai siswa sebelum diberi makan bergizi dan setelah diberi makan bergizi. Diharapkan dapat meningkatkan semangat belajar siswa,” ungkap Iwan saat ditemui detikXdi kantornya pekan lalu.
Evaluasi juga akan dilakukan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat sebagai mitra kerja BGN. Anggota Komisi IX Ashabul Kahfi mengatakan DPR sudah memiliki sejumlah indikator untuk mengukur keberhasilan program MBG. Indikator tersebut didapat dari data sejumlah lembaga baik nasional maupun internasional yang menyajikan angka-angka spesifik terkait stunting dan IQ masyarakat Indonesia.
Untuk stunting, misalnya, DPR berpatokan pada hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang menyebut prevalensi stunting saat ini masih di angka 21,5 persen. Jauh dari target pencapaian 14 persen pada 2024. Sementara itu, terkait IQ, data World Population Review (WPR) bakal menjadi patokan. Berdasarkan data WPR, rata-rata IQ masyarakat Indonesia saat ini berada di level 78,49. Jauh di bawah rata-rata IQ global, yang berkisar pada angka 85-115. Indonesia bahkan menempati posisi ke-10 dengan rata-rata IQ terendah dari 11 negara di ASEAN.
“Kita lihat apakah setelah ini akan ada perubahan atau tidak. Jadi kita awasi saja prosesnya sembari kita dorong terus-menerus ya karena ini program yang menurut saya sangat mulia ya, memberi makan masyarakat,” pungkas Kahfi pekan lalu.