Jakarta -
Fenomena bullying di lingkungan pendidikan Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Hingga akhir 2024, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan yang dilaporkan dalam satu tahun terakhir, di mana 31 persen di antaranya secara khusus terkait dengan bullying. Data ini bukan sekadar angka, melainkan sebuah alarm serius yang menggambarkan semakin kompleksnya tantangan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif bagi semua peserta didik.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan permasalahan individual, tetapi juga menyingkap dinamika sosial yang lebih dalam di lingkungan sekolah. Dalam buku The Sociology of Bullying: Power, Status, and Aggression Among Adolescents, bullying dijelaskan sebagai manifestasi dari struktur hierarki sosial yang terbentuk di kalangan siswa. Tindakan ini sering merupakan alat untuk mempertahankan atau meningkatkan status sosial seseorang, dengan mengorbankan orang lain yang dianggap lebih lemah atau tidak sesuai dengan norma kelompok dominan.
Bullying bukan hanya permasalahan perilaku, tetapi juga terkait erat dengan distribusi kekuasaan dan status dalam sistem sosial sekolah, yang sering tidak terlihat di permukaan. Faktor-faktor seperti ketimpangan gender, perbedaan latar belakang sosial-ekonomi, dan stereotip budaya turut memperburuk fenomena ini.
Di lingkungan sekolah Indonesia, dinamika tersebut semakin kompleks dengan adanya pengaruh dari media sosial, yang sering kali memperluas jangkauan dan dampak dari tindakan bullying. Siswa tidak hanya menghadapi tekanan di ruang fisik sekolah, tetapi juga dalam dunia maya, di mana perundungan dapat terus berlangsung tanpa batasan waktu dan tempat.
Lingkungan pendidikan Indonesia juga sering menekankan model pemeringkatan dan stratifikasi akademik melalui istilah seperti "juara kelas," yang mendorong siswa untuk berkompetisi secara individu. Kompetisi ini menciptakan tekanan besar pada siswa untuk mencapai status sosial tertentu, sehingga mereka yang berada di posisi lebih tinggi dalam hierarki cenderung menggunakan bullying sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam konteks ini, bullying menjadi cara bagi individu atau kelompok untuk mengukuhkan status mereka dalam struktur sosial sekolah. Selain itu, norma sosial yang permisif terhadap agresi, termasuk anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari "pembentukan karakter," memperburuk situasi. Pengamat atau bystanders yang tidak mengambil tindakan juga memberikan legitimasi kepada pelaku bullying, menciptakan siklus kekerasan yang sulit dihentikan. Hal ini mencerminkan dinamika sosial yang lebih besar, di mana kekuasaan dan status memainkan peran sentral dalam interaksi antarindividu.
Diperparah oleh Teknologi
Buku The Sociology of Bullying juga menyoroti bagaimana stratifikasi akademik yang dihasilkan dari sistem pemeringkatan memperburuk potensi bullying. Dalam sistem pendidikan yang sangat berorientasi pada kompetisi individu, siswa dengan capaian akademik lebih rendah sering menjadi target diskriminasi dan pengucilan. Label seperti "juara kelas" tidak hanya mengangkat status siswa tertentu tetapi juga secara tidak langsung menurunkan posisi sosial siswa lainnya. Hierarki ini memunculkan ketidakseimbangan kekuasaan yang menjadi fondasi utama bullying.
Tekanan untuk mempertahankan atau meningkatkan status dalam hierarki sosial semakin diperparah oleh kehadiran teknologi. Media sosial membuka ruang baru untuk agresi relasional, seperti menyebarkan gosip atau mengucilkan seseorang, yang dapat dilakukan tanpa tatap muka. Di Indonesia, tren ini semakin terlihat, terutama di kalangan remaja yang aktif di platform digital. Media sosial sering menjadi ajang pembandingan diri, di mana siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi atau status sosial tertentu dipuji secara publik, sementara yang lainnya merasa teralienasi.
Stratifikasi akademik yang berorientasi pada pemeringkatan memperbesar tekanan ini, menciptakan lingkungan yang kompetitif hingga ke ranah digital. Fenomena ini menunjukkan bahwa bullying tidak lagi terbatas di ruang fisik sekolah, tetapi juga berlangsung secara virtual, menciptakan dampak psikologis yang lebih luas dan sulit diatasi.
Pendekatan Komprehensif
Untuk mengatasi peningkatan kasus bullying diperlukan pendekatan komprehensif yang tidak hanya menangani gejala, tetapi juga akar permasalahan. Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada stratifikasi akademik harus dirombak untuk mendorong kolaborasi alih-alih kompetisi. Sebuah sistem yang lebih inklusif dapat membantu meredakan tekanan sosial yang mendorong perilaku agresif.
Salah satu langkah awal adalah mengurangi penekanan pada pemeringkatan yang berlebihan. Alih-alih menyoroti siswa yang unggul secara individu, sekolah dapat mengadopsi pendekatan yang lebih berorientasi pada kerja tim dan kolaborasi. Selain itu, penghargaan terhadap berbagai bentuk prestasi, baik akademik maupun non-akademik, akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Pelatihan untuk guru dan staf sekolah juga menjadi elemen penting dalam strategi ini. Guru harus mampu mengenali tanda-tanda bullying, baik dalam bentuk fisik maupun digital, dan memiliki keterampilan untuk melakukan intervensi yang tepat. Selain itu, kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas harus diterapkan di setiap institusi pendidikan.
Pada era digital, peningkatan literasi digital di kalangan siswa menjadi krusial. Program literasi ini tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi secara aman tetapi juga menanamkan nilai-nilai empati dan tanggung jawab sosial. Mengingat pengaruh besar media sosial dalam membentuk dinamika sosial remaja, pendidikan tentang etika berinternet dapat menjadi langkah pencegahan yang efektif.
Akhirnya, pendidikan karakter yang menekankan empati, toleransi, dan resolusi konflik tanpa kekerasan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah. Dengan cara ini, siswa tidak hanya diajarkan untuk meraih prestasi, tetapi juga untuk menghormati keberagaman dan membangun hubungan sosial yang sehat. Reformasi ini memerlukan komitmen dari berbagai pihak, mulai dari pembuat kebijakan hingga komunitas sekolah. Hanya dengan pendekatan yang holistik, Indonesia dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan mengurangi prevalensi bullying yang semakin memprihatinkan.
Martin Dennise Silaban mahasiswa Pascasarjana Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu