Ilustrasi : Edi Wahyono
Senin, 28 April 2025
Diskusi terbuka yang diselenggarakan Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), Semarang, pada 14 April lalu diganggu oleh hadirnya aparat militer. Mulanya forum itu berlangsung santai di pelataran depan auditorium kampus. Para peserta duduk lesehan, memperkenalkan diri satu per satu. Namun situasi mulai terasa janggal ketika seorang pria berperawakan besar enggan memperkenalkan diri.
"Kami curiga dia bukan dari kalangan pelajar, karena postur tubuh dan perawakannya jauh di atas rata-rata kami," cerita Riyan Wisnal dari KSMW kepada detikX saat dihubungi pekan lalu.
Saat diminta memperkenalkan diri, pria berbaju hitam itu menjawab singkat, "Kalau nggak boleh ikut diskusi, ya nggak apa-apa." Mahasiswa menekankan perkenalan hanya prosedur biasa. Namun pria itu tetap menolak memperkenalkan diri dan akhirnya pergi meninggalkan lingkaran diskusi.
Sekitar 20 menit setelah insiden tersebut, satpam kampus memanggil Riyan dan penanggung jawab forum. Mereka diajak menemui seseorang di belakang lokasi diskusi. Di sana, mereka mendapati sejumlah personel TNI beserta seorang pria berbaju hitam lain yang berbeda dari sosok sebelumnya. Salah satu personel TNI berseragam itu mengenakan name tag Rokiman, yang berpangkat sersan satu.
"Saya sempat bertanya, apa tujuan personel TNI masuk ke dalam kampus," kata Riyan.
Sebelum sempat mendapatkan jawaban, Riyan justru mendapat serangkaian pertanyaan mengenai identitas pribadi, asal, dan lain sebagainya dari aparat tersebut. "Saya jawab ala kadarnya. Itu menurut saya bagian dari intimidasi," lanjutnya.
Saat kembali ke forum diskusi, suasananya sudah berubah. Biasanya para peserta lantang menyuarakan pendapat kritis, tetapi kali ini banyak yang memilih diam. "Karena di belakang kami itu ada personel TNI yang didampingi satpam, jaraknya mungkin sekitar 20 meter," ungkap Riyan.
Diskusi yang berlangsung di ruang terbuka itu membuat percakapan mudah terdengar, meski keberadaan pohon beringin besar di samping auditorium sedikit menghalangi pandangan.
Tak hanya berhadapan dengan intimidasi secara langsung, para mahasiswa juga mengalami teror siber. Ketua Dewan Mahasiswa UIN Walisongo, Tasim, menceritakan salah satu akun media sosial Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Walisongo beberapa kali mengalami upaya peretasan.
"Kemarin sempat ada upaya hacking ke akun media sosial Dema. Ada IP (terdeteksi) dari Jawa Barat dan Jawa Timur, di Cimahi, ada di Indramayu, sama di Surabaya," ujar Tasim kepada detikX.
Kampus UIN Walisongo Semarang.
Foto : Dok. UIN Walisongo
"Selama empat hari berturut-turut, saya tidak bisa buka WhatsApp dan tidak bisa semua aplikasi," imbuhnya.
Peristiwa itu berlangsung bertepatan dengan rangkaian acara diskusi mahasiswa, tepatnya pada 14-17 April. Tema-tema diskusi yang diangkat Dema memang mengkritisi kebijakan pemerintah.
"Terkait kebijakan efisiensi, kemudian terkait kebijakan RUU TNI, dan yang paling banyak menyinggung soal Makan Bergizi Gratis," jelasnya.
Serangan intimidatif juga datang dalam bentuk teror melalui spam chat dan telepon. Salah satu nomor yang digunakan untuk melakukan teror dan spam telepon terdeteksi memiliki tag atas nama Sertu Rokiman.
Bahkan sejumlah pers mahasiswa yang meliput diskusi turut menjadi sasaran teror. Dikutip dari detikJateng, para mahasiswa itu mendapat tekanan dan intervensi setelah mempublikasikan berita soal kedatangan anggota TNI ke kampus. Mereka mengaku diminta menghapus pemberitaan hingga diancam menggunakan UU ITE.
Pada Selasa, 15 April 2025, surat kabar mahasiswa (SMK) Amanat memberitakan Babinsa Koramil Ngaliyan, Sertu Rokiman, mendatangi UIN Walisongo. Saat itu sedang digelar diskusi bertajuk 'Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-bayang Militer bagi Kebebasan Akademik'.
"Rabu sekitar jam 12.00 WIB, saya di-chat Babinsa, Pak Rokiman, minta takedown berita," kata salah satu awak SMK Amanat, Alfarizy.
Mereka tetap teguh mempertahankan pemberitaan tersebut. Sebab, pemberitaan itu sudah sesuai kaidah jurnalistik dan tak ada penggiringan opini.
"Rabu pagi memang Pak Rokiman sudah di depan kantor redaksi SKM. Saya dikasih tahu teman ada seorang berseragam Babinsa duduk-duduk di sekitar situ," jelasnya. Hari itu anggota SKM Amanat pun mengosongkan kantor sebagai upaya mitigasi.
Sedangkan LPM Justisia diancam akan dijerat UU ITE apabila tidak menghapus berita yang mereka unggah. Wati, salah satu eks awak Justisia, diberondong pesan hingga telepon dari nomor tak dikenal. Penelepon misterius itu meminta Wati menghubungkannya dengan redaksi Justisia. Sebab, ia tidak terima dengan berita yang memuat foto dan identitas anggota TNI yang mendatangi diskusi mahasiswa soal militerisme.
"Saya rekam cuma di bagian akhir. Ketika bilang mau lapor UU ITE nggak kerekam. Kerekam-nya pas bilang, 'Kalau masih dilanjut, urusannya bisa panjang loh, Mbak'," ungkapnya.
Situasi serupa dialami LPM Reference FISIP UIN Walisongo. Salah satu anggota LPM Reference, Frederich, mengatakan, setelah mempublikasikan berita, mereka mendapat tekanan melalui spam telepon selama dua hari. Selain itu, ada anggota TNI yang meminta bertemu dengan penulis berita tersebut.
"Kami nggak menyebut itu sebagai ketakutan, hanya resah. Karena apa salahnya kita menyuarakan kebenaran?" jelasnya.
Wakil Rektor III UIN Walisongo Semarang Hasan Asy'ari Ulama'i sudah mengetahui adanya intimidasi terhadap para mahasiswanya. Dia menegaskan siapa pun boleh ikut dan menyampaikan pendapatnya di diskusi terbuka, baik itu polisi, tentara, maupun siapa pun asalkan tidak ada intimidasi.
“Semua boleh ikut kalau diskusi itu terbuka. Yang tidak boleh adalah pihak luar, pihak mana pun, membatasi itu. Jadi nggak boleh ada, apalagi intimidasi, apalagi kemudian membubarkan, tidak bisa,” tegas Hasan kepada detikX.
Dia menegaskan akan melindungi hak berpendapat dan rasa aman mahasiswanya. UIN Walisongo Semarang, kata Hasan, menolak intimidasi di lingkungan akademik.
“Nggak boleh ada intimidasi-intimidasi. Tidak hanya persoalan diskusi, di luar diskusi pun, nggak boleh ada mahasiswa kami yang diintimidasi oleh siapa pun. Kami tetap akan memberikan, ya, istilahnya pendampingan. Wong demonstrasi saja yang ketangkap pun kami bantu untuk bagaimana mereka dapat pelajaran, tapi tidak juga merugikan mereka dalam studinya. Walaupun kami tidak setuju dengan perusakannya ya,” terangnya.
Sementara itu, saat dimintai konfirmasi, Kapendam IV/Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo, membantah adanya intervensi dari anggota TNI kepada anggota LPM di UIN Walisongo.
"Menurut kami, tidak ada kaitannya dengan intervensi apa pun karena memang tidak ada hal yang menyatakan itu terbukti atau nyata," kata Andy.
Jika ada bukti intervensi dari pihak TNI, ia mengatakan, mahasiswa bisa melaporkan ke pihaknya atau ke Polisi Militer untuk ditelusuri lebih lanjut.
Dugaan intimidasi terhadap mahasiswa yang mengkritisi UU TNI dan pemerintahan ini tak hanya terjadi di Semarang. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi, menjelaskan intimidasi juga terjadi di Bali.
Dalam beberapa diskusi yang dilakukan di Bali, kata Rezky, militer terbukti makin agresif dengan hadir secara langsung di ruang-ruang diskusi akademik tanpa tujuan yang bermakna. Hal itu dipandang justru memperburuk situasi dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan jaringan sipil, terutama mahasiswa.
Potret Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi.
Foto : Fawdi/detikcom
Di Bali, persoalan menjadi makin serius ketika memorandum of understanding (MoU) antara Universitas Udayana dan TNI AD Kodam IX/Udayana ditolak keras oleh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya. Dengan penolakan itu, pihak kampus disebut telah menarik diri dari MoU tersebut. Namun militer kekeh tidak membatalkannya.
Terkait intimidasi, Rezky menjelaskan ada beberapa insiden yang tercatat. "Sejauh ini, yang kita catat adalah peristiwa saat teman-teman FISIP Udayana didatangi pada 25 Maret saat mendiskusikan RUU TNI itu," ujarnya.
Selain itu, setelah pengumuman penolakan MoU, beberapa mahasiswa mengalami teror individu. Bahkan rumah keluarga salah satu mahasiswa bahkan sempat didatangi dan ditanya tentang keberadaan mahasiswa tersebut.
"Ada beberapa teman yang melaporkan ada orang yang menghubungi dan mengatasnamakan pihak Kodam. Lalu juga ada kawan yang didatangi, ditanya-tanya soal di mana dia tinggal," katanya.
Sementara itu, ketika ditanya peristiwa anggota TNI mendatangi kampus berkaitan dengan diskusi UU TNI, Mendiktisaintek Brian Yuliarto enggan menjawab. Dia hanya menegaskan perguruan tinggi terbuka untuk bekerja sama dengan pihak mana pun, termasuk TNI.
"Kalau dari kami, dalam konteks kerja sama penelitian, kerja sama kuliah akademik, mengisi materi, dan sebagainya, tentu kampus itu adalah tempat yang terbuka dan sudah banyak berjalan sebenarnya," kata Brian di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 24 April 2025.
Kapuspen TNI Brigjen Kristomei Sianturi membantah tudingan anggota TNI kerap memata-matai mahasiswa di kampus. Menurutnya, tidak ada permasalahan TNI dengan mahasiswa.
"TNI di kampus kan, masalahnya hanya dibesar-besarkan saja. Sebenarnya tidak ada permasalahan antara TNI dan teman-teman mahasiswa di kampus. Tidak ada," kata Kristomei dikutip dari detikNews di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis, 24 April 2025.
Kristomei merespons peristiwa diskusi mahasiswa di Jawa Tengah yang didatangi oleh sejumlah anggota TNI. Dia mengatakan Babinsa saat itu bukan untuk memata-matai, melainkan memonitor wilayah.
"Babinsa di situ bertugas tidak untuk memata-matai atau tidak untuk mengintimidasi kegiatan kampus. Tugas Babinsa adalah memonitor wilayah, sehingga dia bisa menyiapkan kantong-kantong perlawanan apabila terjadi perang semesta, perang gerilya, atau perang berlarut," ucapnya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto, Ani Mardatila
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim