Aktivis Bicara 'Prabowocare' di 100 Hari Prabowo: Komitmen Kerakyatan

3 hours ago 1

Jakarta -

Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998 Haris Rusly Moti menilai 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming menunjukkan komitmen keberpihakan ke rakyat. Kebijakan yang dilakukan di awal pemerintahan bukti keseriusan untuk mewujudkan janji ke masyarakat.

"Menurut pandangan saya, dalam 100 hari pertama, Pemerintahan Prabowo-Gibran telah menunjukkan komitmen tersebut melalui berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kebijakan ini menjadi tanda nyata dari keseriusan mereka untuk memenuhi janji-janji kepada masyarakat," kata Haris dalam keterangannya, Senin (20/1/2025).

Ia mengibaratkan keseriusan yang dilakukan Prabowo-Gibran seperti memberikan down payment (DP) atau "uang muka tanda jadi". Mengutip ajaran Islam, sebuah pernikahan dianggap sah jika akad atau janji dibuktikan dengan komitmen nyata berupa mahar, berapa pun nilainya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya menilai Pemerintahan Prabowo-Gibran telah mengambil langkah nyata meskipun waktu yang tersedia sangat terbatas. Beberapa kebijakan 'tanda jadi' bahkan cukup berisiko di tengah tantangan geopolitik dan pelemahan ekonomi global," lanjutnya.

Haris lantas memakai istilah Prabowocare untuk menggambarkan kebijakan-kebijakan populis yang berpihak dan dirasakan langsung oleh rakyat. Ia menyebut setidaknya ada 7 kebijakan yang mencerminkan warna Prabowocare dalam 100 hari pertama Prabowo-Gibran.

"Saya ingin menggunakan istilah Prabowocare untuk menggambarkan kebijakan-kebijakan populis yang berpihak dan dirasakan langsung oleh rakyat. Istilah ini terinspirasi dari Obamacare yang digunakan pada era Presiden Barack Obama untuk menggambarkan kebijakan populis di sektor kesehatan," ujarnya.

Pertama, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Kebijakan ini diumumkan pada November 2024 dan disambut positif oleh kalangan pekerja.

"Kedua, Penyesuaian PPN untuk Barang Mewah. Pemerintah Prabowo berani menyesuaikan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Sistem Perpajakan, yang awalnya direncanakan naik dari 11 persen menjadi 12 persen tanpa selektif. Presiden Prabowo mengambil resiko memutuskan kebijakan ini hanya berlaku secara selektif untuk barang mewah semata, sehingga potensi penerimaan pajak yang awalnya diprediksi mencapai Rp 75 triliun turun menjadi sekitar Rp 3 triliun," ujarnya.

"Kebijakan ini menunjukkan keberanian pemerintah mengambil resiko untuk berorientasi pada perlindungan rakyat, bukan sekadar stabilitas makro ekonomi," lanjut Haris.

Kemudian, pengurangan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Lalu, kenaikan harga jual gabah dari Rp 6.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram untuk memastikan petani tidak merugi. Dengan mensubsidi pembelian harga gabah, maka dipastikan harga beras akan tetap stabil.

"Kelima, pemerintah membatasi impor jagung, gula, garam, dan beras sebagai langkah awal untuk mencapai visi kedaulatan pangan. Kebijakan ini diambil untuk melindungi harga komoditas lokal yang dihasilkan petani Indonesia," ujarnya.

Selanjutnya, stimulus ekonomi sebesar Rp 38,6 Triliun. Stimulus ini mencakup bantuan beras, diskon listrik, insentif pajak, dan pembebasan PPh untuk UMKM. Kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Terakhir menurutnya, yakni program Makan Bergizi Gratis.

"Program prioritas ini bertujuan membangun generasi emas 2045. Meski implementasinya belum merata, program ini sudah dirasakan manfaatnya di berbagai daerah. Kritik dan masukan terkait tata kelola dan akuntabilitas program ini tentu menjadi perhatian Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran," ujarnya.

Haris berpandangan Prabowocare menjadi bukti bahwa keberpihakan kepada rakyat dapat diwujudkan dalam langkah konkret meskipun waktu yang tersedia sangat terbatas. Ia berharap seluruh pembantu presiden dapat menyesuaikan diri dengan langgam baru kepemimpinan Prabowo.

"Alangkah baiknya para menteri dan kepala badan tidak menyampaikan pernyataan ke publik terkait sebuah kebijakan yang belum menjadi keputusan pemerintah, atau belum matang dalam kajiannya," ujarnya.

(eva/gbr)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial