Usulan untuk Perbaikan Sistem Pemilu

10 hours ago 4

Jakarta -

Pemerintahan baru di Indonesia tengah bersiap menghadapi masa transisi yang penting, termasuk membahas serius wacana revisi Undang-Undang Pemilu. Sinyal-sinyal ini menguat seiring dengan kebutuhan penyesuaian terhadap dinamika sistem kepartaian, konsolidasi kelembagaan, serta upaya mengatasi berbagai persoalan teknis dan politis yang terus berulang dalam penyelenggaraan pemilu.

Dalam konteks inilah, pembahasan soal desain sistem pemilu kembali mengemuka. Karenanya, tulisan ini hadir untuk memperkaya diskursus tersebut, dengan menawarkan pembacaan kritis terhadap kegagalan sistem proporsional terbuka selama hampir dua dekade terakhir, serta usulan sistem alternatif yang lebih seimbang dan kontekstual bagi demokrasi Indonesia.


Perihal Sistem Pemilu

Wacana revisi UU Pemilu bukan sekadar soal teknis, tapi menyangkut arah demokrasi yang ingin kita bangun. Sistem pemilu bukan sekadar prosedur memilih wakil rakyat. Ia menentukan bagaimana suara pemilih diterjemahkan menjadi kekuasaan politik, siapa yang mendapat ruang di parlemen, dan siapa yang tersingkir dari proses representasi.

Dari berbagai model yang ada, terdapat dua sistem paling umum dipakai di banyak negara yaitu sistem pluralitas atau mayoritas dan sistem proporsional. Sistem pluralitas, atau yang kita kenal sebagai sistem distrik, menggunakan satu daerah pemilihan untuk satu kursi. Kandidat dengan suara terbanyak otomatis terpilih. Meskipun memiliki keunggulan dalam aspek relasi yang dekat antara wakil dan pemilih, serta akuntabilitas yang lebih terjamin, namun, konsekuensinya juga besar.

Potensi banyaknya suara pemilih yang terbuang karena hanya pemenang yang mendapat kursi, serta hanya partai besar yang biasanya mampu bersaing, merupakan konsekuensi yang terjadi sehingga pola semacam ini berpotensi mempersempit representasi politik.

Sementara itu, sistem proporsional berangkat dari prinsip kesetaraan suara. Satu dapil memiliki banyak kursi yang dibagi berdasarkan proporsi suara partai. Sistem ini lebih inklusif dan memberi ruang bagi kelompok minoritas. Tapi kelemahannya adalah fragmentasi partai yang tinggi, dan proses pembentukan pemerintahan jadi lebih sulit karena koalisi cenderung rapuh.

Sistem proporsional memiliki dua varian yaitu daftar terbuka dan daftar tertutup. Dalam sistem daftar terbuka, pemilih langsung memilih nama calon. Ini membuka ruang hubungan personal antara pemilih dan calon, tetapi juga melemahkan kontrol partai dan mendorong persaingan internal yang sering kali tak sehat. Dalam sistem daftar tertutup, pemilih hanya memilih partai dan urutan calon ditentukan oleh partai. Di satu sisi ini memperkuat partai, tapi juga membuka ruang dominasi elite dan potensi jual-beli nomor urut.

Indonesia memiliki pengalaman atas kedua bentuk proporsional tersebut. Sejak Pemilu pertama 1955 hingga berakhirnya rezim Orde Baru, Indonesia menerapkan sistem proporsional tertutup. Namun, pada era reformasi, khususnya 2004, sistem proporsional terbuka diterapkan untuk memperkuat demokrasi dan transparansi. Tapi kenyataannya, sistem terbuka justru memperkuat politik uang dan logika popularitas. Kandidat yang punya modal besar dan akses media lebih diuntungkan, sementara kader partai yang punya kapasitas tapi tidak punya dana sering tersingkir.

Kalau sekarang muncul wacana untuk kembali ke sistem tertutup, itu bisa dimengerti. Tapi bukan berarti itu solusi. Karena itu, perdebatan soal sistem pemilu sebaiknya tidak berhenti pada pilihan terbuka atau tertutup. Yang lebih penting adalah mencari alternatif sistem yang bisa menggabungkan kelebihan berbagai sistem pemilu sekaligus meminimalkan kelemahannya. Di titik ini, sistem campuran perlu dipertimbangkan sebagai opsi yang lebih layak dan kontekstual.


Pilihan Jalan Tengah

Di tengah kebuntuan antara pilihan proporsional terbuka dan tertutup, sistem pemilu campuran atau Mixed-Member Proportional (MMP) muncul sebagai alternatif yang patut dipertimbangkan. Adapun sistem ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Jerman, Selandia Baru, dan Jepang. Keunggulan utama dari MMP adalah kemampuannya untuk menjaga keseimbangan antara proporsionalitas hasil pemilu dan stabilitas sistem kepartaian.

Dalam sistem ini, pemilih diberikan dua suara: satu untuk memilih partai dalam sistem proporsional tertutup dan satu lagi untuk memilih kandidat di daerah pemilihan tunggal dengan sistem first past the post (FPTP). Dengan kombinasi ini, pemilih tetap dapat memilih calon legislatif yang mereka kenal secara langsung, tetapi tanpa menghilangkan representasi proporsional di parlemen.

Sistem ini memberikan ruang bagi pemilih untuk menyalurkan preferensi politik mereka dengan lebih jelas (Ellis, 2020). Dengan sistem proporsional tertutup, partai tetap memiliki peran dalam menentukan kandidat yang akan diusung, sehingga pelembagaan partai tetap terjaga. Di sisi lain, dengan FPTP, pemilih bisa memastikan keterwakilan langsung dari kandidat yang mereka anggap memiliki kapasitas untuk mewakili daerah mereka.

Selain itu, sistem ini juga secara alami menyederhanakan sistem kepartaian tanpa harus menerapkan ambang batas parlemen yang tinggi. Dengan separuh kursi dialokasikan melalui FPTP, hanya kandidat dengan basis suara kuat yang bisa menang, sehingga jumlah partai di parlemen akan lebih terbatas secara organik.

Lantas bagaimana penerapannya? Semisal, dalam konteks Pemilu DPR di DKI Jakarta, misalkan ada 20 kursi yang diperebutkan. Dengan skema 50:50, maka 10 kursi akan dialokasikan melalui sistem proporsional tertutup, sementara 10 kursi lainnya akan dipilih melalui sistem FPTP.

Pada tahap pertama, suara partai dikonversi ke kursi menggunakan metode Sainte-Laguë, sebagaimana diterapkan dalam sistem pemilu proporsional di berbagai negara. Jika Partai A mendapatkan 25 persen suara, maka mereka akan memperoleh 25 persen dari 10 kursi yang tersedia dalam sistem proporsional, yaitu sekitar tiga kursi.

Pada tahap kedua, 10 kursi lainnya akan diberikan kepada kandidat yang memenangkan suara terbanyak di 10 daerah pemilihan tunggal. Dalam sistem ini, setiap daerah pemilihan hanya memiliki satu pemenang, sehingga pemilih akan lebih mudah mengenali kandidat mereka dan tidak lagi dihadapkan pada daftar panjang nama caleg yang membingungkan.

Setelah kedua hasil ini digabungkan, partai yang mendapat lebih banyak kursi dari FPTP akan mendapatkan kursi lebih sedikit dari sistem proporsional, dan sebaliknya. Dengan cara ini, keseimbangan antara representasi partai dan keterwakilan individu tetap terjaga, tanpa membuang suara pemilih seperti dalam sistem FPTP murni.

Sistem pemilu campuran dengan varian MMP menawarkan solusi bagi demokrasi Indonesia yang selama ini terjebak dalam kompleksitas sistem proporsional terbuka. Jika kita ingin membangun sistem yang lebih adil dan efektif, saatnya berhenti mempertahankan status quo dan mulai meretas batas menuju desain pemilu yang lebih baik. Dengan kombinasi antara proporsional tertutup dan FPTP, disertai upaya pembenahan serius dengan mempertimbangkan catatan yang telah diberikan, rasanya kita bisa menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana, lebih stabil, dan lebih representatif.

Muhammad Iqbal Kholidin anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial