Teguh Joko Dwiyono dan Filosofi Cangkang Telur

13 hours ago 4

Jakarta -

Hampir tiga dekade, Teguh Joko Dwiyono menekuni seni berbahan dasar 'sampah'. Ia adalah pelukis yang menjadikan cangkang telur dan sisa plastik sebagai medium untuk melahirkan karya seni bernilai tinggi.

Tidak hanya menciptakan, Dwiyono juga aktif mengajar seni lukis dengan medium cangkang telur dan plastik, menyasar berbagai kalangan sembari menyebarkan kesadaran akan potensi tersembunyi dari sampah rumah tangga.

Baginya, menciptakan karya seni dari cangkang telur sekaligus mendidik masyarakat adalah pengalaman yang tak ternilai. Namun, justru melalui cangkang telur pula, Dwiyono belajar menjadi pribadi yang lebih tangguh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum memproduksi banyak lukisan, Dwiyono terlebih dahulu meneliti karakteristik cangkang telur itu sendiri. Ia menemukan lebih dari 40 warna alami yang berasal dari telur ayam negeri, ayam kampung, bebek, hingga burung puyuh. Tak hanya itu, ia mendalami kekuatan cangkang telur yang meskipun tebalnya kurang dari 1 mm, mampu bertahan menghadapi cuaca dan kondisi lingkungan, menjadikannya material yang awet dan tetap kokoh seiring waktu.

Dwiyono menyimpulkan, di balik anggapan tentang rapuhnya kulit telur, tersimpan kekuatan di dalamnya. Inilah prinsip yang kemudian dijalani oleh Dwiyono dalam mengarungi hidupnya sendiri.

"Artinya, ada satu pesan-pesan moral yang bisa kita sampaikan. Kalau orang berjiwa seperti kulit telur, artinya tidak sombong. Di balik kerapuhan, dia menyimpan kekuatan luar biasa," tutur Dwiyono dalam program Sosok detikcom.

Filosofi ini juga yang membuat Dwiyono tetap bertahan meski diterpa angin badai tahun 1999. Saat itu, Dwiyono kerap menerima komplain dari klien di berbagai negara. Penyebabnya, ia gagal menyelesaikan pesanan tepat waktu sesuai tenggat yang diberikan.

Menurut Dwiyono, kurangnya pemahaman tentang manajemen, produksi, dan keuangan menjadi alasan utama kegagalan pertamanya tersebut. Namun, berbekal keyakinan akan nilai dan filosofi cangkang telur, Dwiyono menguatkan hati. Tak hanya mengasah kemampuan seni, ia juga memperkuat ilmu-ilmu pendukung agar bisnis lukisannya tetap berjalan.

"Ternyata, kejatuhan saya (disebabkan oleh) banyak hal, nggak punya ilmu tadi. Makanya, kita harus lengkap lah kalau mau bisnis. Harus punya ilmu manajemennya, keuangan, marketingnya, produksinya itu harus punya. Nah itu yang saya nggak miliki, tapi saya belajar. Ada kemauan saya untuk belajar, belajar terus, tentunya dengan kesabaran, terus bersabar karena ada keyakinan," jelas Dwiyono.

Kesabaran dan keyakinan Dwiyono berbuah manis. Tahun 2000, ia bangkit dan mengikuti sebuah pameran produk ekspor yang kemudian membuatnya kebanjiran pesanan dari Amerika, Inggris, hingga Bahrain. Saat itu, dengan ilmu manajemen yang baru, Dwiyono juga mampu mempekerjakan 35 orang karyawan untuk membantunya menyelesaikan pesanan.

Dua puluh lima tahun berselang, Dwiyono kini fokus pada kegiatan mengajar dan memproduksi lukisan secara mandiri. Dalam mengajar, Dwiyono seringkali membuka kelas gratis dengan modal dari penjualan lukisan. Hal ini semata-mata dilakukannya agar bisa terus bermanfaat bagi orang lain, layaknya cangkang telur itu sendiri.

Berkat cangkang telur, Dwiyono menemukan tujuan hidupnya. Ketika dirinya mampu memberikan dampak bagi orang lain, ia merasakan kebahagiaan yang tak pernah dijumpainya dalam profesi sebelumnya.

"Misal saya jual lukisan puluhan juta, saya bagi sebagian untuk saya berikan kepada warga untuk bagaimana mengajari mereka secara gratis. Itulah membahagiakan saya, jadi saya tidak berpikir materi. Saya lebih bangga, lebih bahagia, apalagi saya melihat kesuksesan dari murid-murid saya, wah itu jauh lebih membanggakan, bahkan itu nilainya nggak bisa ternilai dengan harta. Karena prinsip saya, saya harus bermanfaat untuk orang lain," ucap Dwiyono.

(nel/ppy)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial