Jakarta -
Di tengah ketegangan yang kembali memanas antara Amerika Serikat dan China, pertanyaan yang mengusik banyak pengamat global: mengapa China tampak begitu percaya diri menghadapi ancaman tarif tinggi dari Donald Trump? Fenomena ini bukan sekadar soal angka perdagangan, melainkan cerminan dari ambisi strategis, pembelajaran historis, dan kalkulasi geopolitik yang telah dibangun selama dekade-dekade terakhir.
Percakapan populer tentang "harga diri" dan "kemandirian" China mungkin terdengar sederhana, namun di baliknya terdapat kerangka pemikiran strategis yang jauh lebih mendalam. Mari kita telaah mengapa China mampu bertahan, bagaimana ketegangan ini kemungkinan berevolusi, dan implikasinya bagi tatanan global di masa depan.
Mencerminkan Keyakinan Mendalam
Ketahanan China dalam menghadapi tekanan tarif berakar pada transformasi fundamental yang telah mereka bangun dalam beberapa dekade terakhir. Pengalaman sejarah sebagai negara yang pernah terisolasi telah menciptakan mentalitas swasembada yang kini termanifestasi dalam berbagai inisiatif strategis seperti "Made in China 2025". Program ini bukan sekadar slogan politik, melainkan cetak biru komprehensif untuk mencapai kemandirian teknologi.
Ke depan, China kemungkinan akan semakin mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspornya, dengan fokus khusus pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Afrika, dan negara-negara yang tergabung dalam Belt and Road Initiative. Strategi ini akan memperkecil ketergantungan pada pasar Amerika, sehingga ancaman tarif akan semakin kehilangan efektivitasnya sebagai alat tekanan. Pasar domestik China dengan populasi masif juga akan menjadi mesin pertumbuhan yang semakin penting, mengimbangi potensi kerugian dari pasar luar negeri yang menyusut.
Sikap China dalam menghadapi tarif Trump mencerminkan keyakinan mendalam bahwa mereka berada di posisi yang lebih menguntungkan dalam perspektif jangka panjang. Beijing tampaknya telah membuat kalkulasi bahwa mereka memiliki daya tahan yang lebih besar untuk mengatasi guncangan ekonomi jangka pendek, sementara terus membangun fondasi untuk dominasi teknologi dan ekonomi di masa depan.
Konsekuensi yang Tak Diinginkan
Argumentasi bahwa tarif akan "menyelamatkan" industri Amerika perlu dievaluasi secara kritis. Kebijakan proteksionisme seringkali menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Dalam kasus ini, tarif tinggi kemungkinan akan menciptakan efek rantai yang kompleks di seluruh ekonomi global, dengan hasil akhir yang mungkin bertentangan dengan tujuan awalnya.
Dalam jangka menengah, konsumen Amerika akan menanggung beban kenaikan harga berbagai produk, dari elektronik hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki rantai pasokan di China akan menghadapi pilihan sulit: menyerap biaya tambahan, menaikkan harga, atau berinvestasi miliaran dolar untuk merelokasi fasilitas produksi. Ketiga opsi tersebut membawa konsekuensi ekonomi yang signifikan.
Sementara itu, China kemungkinan akan mempercepat transformasi ekonominya menuju model yang lebih berorientasi pada konsumsi domestik dan inovasi teknologi. Meskipun perang tarif akan memperlambat pertumbuhan dalam jangka pendek, dampak jangka panjangnya mungkin justru mempercepat reorientasi strategis yang sebenarnya sudah direncanakan Beijing. Tekanan eksternal dapat menjadi katalis yang memperkuat, bukan melemahkan, ekonomi China dalam perspektif yang lebih panjang.
Lebih jauh lagi, reaksi berantai di pasar global dapat menciptakan peluang baru bagi China. Negara-negara berkembang yang mencari alternatif dari ketergantungan ekonomi pada Amerika mungkin semakin mendekat ke orbit ekonomi China, memperluas pengaruh Beijing di Global South. Ironis, kebijakan yang dirancang untuk membendung pengaruh China mungkin justru memperluas ruang manuvernya di panggung global.
Persaingan Sistemik Dua Visi
Dimensi geopolitik dari ketegangan AS-China melampaui perdebatan tentang defisit perdagangan atau praktik ekonomi. Yang sedang kita saksikan adalah persaingan sistemik antara dua visi yang berbeda tentang tatanan global masa depan. Tarif, dalam konteks ini, adalah instrumen dalam pertarungan yang jauh lebih besar untuk pengaruh dan legitimasi global.
Retorika provokatif dari kedua belah pihak mencerminkan lebih dari sekadar postur politik domestik—ini adalah bagian dari proses penentuan batas-batas baru dalam hubungan bilateral. China tidak lagi bersedia menerima posisi subordinat dalam hierarki global; mereka secara aktif menuntut pengakuan sebagai kekuatan setara dengan hak untuk membentuk norma dan institusi internasional.
Dalam periode mendatang, kita kemungkinan akan menyaksikan eskalasi kontestasi di berbagai domain—dari teknologi hingga militer, dari ruang luar hingga tata kelola internet. Sementara konfrontasi langsung tetap tidak mungkin terjadi karena saling ketergantungan ekonomi yang mendalam, persaingan akan semakin intensif di berbagai arena yang kurang terlihat namun sama pentingnya, seperti standar teknologi, keuangan internasional, dan diplomasi multilateral.
Upaya Amerika untuk membentuk koalisi anti-China kemungkinan akan menghadapi tantangan signifikan. Banyak negara, terutama di Asia dan Eropa, akan berusaha menghindari polarisasi dengan mempertahankan hubungan produktif dengan kedua kekuatan. Pendekatan "memilih sisi" mungkin akan digantikan oleh strategi yang lebih halus dan selektif, di mana negara-negara menjalin kemitraan dengan AS dan China di berbagai domain berbeda berdasarkan kepentingan nasional mereka.
Sulit Direkonsiliasi
Keteguhan China dalam menghadapi tekanan tarif tidak berarti mereka menginginkan konfrontasi berkelanjutan. Beijing mungkin akan terus mencari peluang untuk stabilisasi hubungan sambil mempertahankan garis merah pada isu-isu yang dianggap menyangkut kedaulatan dan kepentingan inti mereka. Namun, kondisi untuk dialog yang berarti akan semakin kompleks dengan ekspektasi dari kedua belah pihak yang sulit direkonsiliasi.
Dalam dekade mendatang, hubungan AS-China kemungkinan akan ditandai oleh pola kompetisi strategis yang diselingi dengan kerja sama terbatas pada isu-isu global seperti perubahan iklim. Decouple total adalah skenario yang tidak realistis, tetapi de-risking dan diversifikasi akan menjadi fitur permanen dalam hubungan ekonomi. Kedua negara akan berusaha mengurangi kerentanan mereka terhadap tindakan sepihak pihak lain sambil tetap mempertahankan jalur komunikasi dan kerja sama di area kepentingan mereka bertemu.
Tantangan terbesar adalah mengelola persaingan ini tanpa terjebak dalam spiral konflik yang merugikan kedua belah pihak. Ini akan membutuhkan kerangka kerja yang memungkinkan kompetisi berlangsung dalam parameter yang relatif stabil dan dapat diprediksi—semacam guardrails yang mencegah eskalasi tidak terkendali, terutama di area-area sensitif seperti Taiwan dan Laut China Selatan.
Mengelola Transisi ke Era Baru
Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China adalah manifestasi dari pergeseran tektonik dalam politik global kontemporer. Kepercayaan diri China dalam menghadapi tekanan tarif berakar pada visi strategis jangka panjang yang mereka kembangkan, transformasi ekonomi yang telah mereka capai, dan perhitungan bahwa angin perubahan sejarah bergerak menguntungkan mereka.
Masa depan tidak akan ditentukan oleh kebijakan tarif semata, melainkan oleh bagaimana kedua negara mengelola transisi ke era baru hubungan yang ditandai oleh campuran persaingan dan interdependensi. Tatanan global yang muncul kemungkinan akan lebih kompleks, kurang homogen, dan lebih kontestasi dibandingkan era pasca-Perang Dingin. Dalam dunia seperti itu, kemampuan untuk mengelola ketegangan, mempertahankan dialog, dan menemukan ruang untuk kepentingan bersama akan menjadi kualitas yang semakin berharga.
Bukan dominasi satu pihak atas yang lain, melainkan koeksistensi pragmatis antara visi yang berbeda tentang tatanan internasional mungkin menjadi jalan paling realistis ke depan. Seperti dalam semua hubungan kompleks, relasi AS-China membutuhkan kematangan, kesabaran, dan kearifan—kualitas yang kerap sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk politik domestik, namun sangat penting untuk stabilitas global.
Arif Darmawan dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini