Jakarta - Undang-Undang Minerba yang memberikan perguruan tinggi hak kelola tambang sebetulnya sudah bisa ditebak sejak ormas keagamaan diberi hak kelola tambang. Muncul pertanyaan berikutnya, siapa yang akan mengawal kuasa intelektual dan keagamaan bila eksplorasi alam melalui tata kelola tambang ini berjalan dengan kurang tepat? Apakah moralitas yang menjadi fondasi ormas keagamaan dan akademisi akan tergerus dalam dinamika kepentingan ekonomi-politik yang sering tidak memihak keberlanjutan dan keadilan sosial?
Sejak diumumkannya kebijakan ini, muncul pertanyaan mendasar, apa tujuan dari pemberian hak tambang kepada ormas keagamaan? Retorika pemerintah yang membungkus kebijakan ini dalam narasi pemberdayaan lokal justru mengaburkan agenda yang lebih besar, privatisasi tambang dengan "wajah sosial." Dengan memberi hak kepada ormas, pemerintah tampaknya ingin melepaskan diri dari tanggung jawab langsung atas dampak buruk eksplorasi tambang.
Kekhawatiran ini semakin nyata bila kita membayangkan kemungkinan perguruan tinggi diberi hak yang sama. Akankah lembaga akademik, yang seharusnya menjadi benteng intelektual untuk mengawasi kebijakan publik, justru terjerumus dalam jebakan konflik kepentingan? Kampus, dengan segala otoritas moral dan intelektualnya, bisa saja menjadi alat bagi kekuatan ekonomi dan politik tertentu untuk melegitimasi eksploitasi tambang atas nama riset atau pengembangan masyarakat.
Paradoks Tata Kelola Tambang
Ironi kebijakan ini terletak pada penempatan kuasa tambang sebagai "hadiah" untuk ormas keagamaan, sementara negara terus mengabaikan kewajibannya untuk menciptakan sistem pengelolaan tambang yang benar-benar berkeadilan. Dalam praktiknya, eksplorasi tambang sering meninggalkan jejak kehancuran ekologis yang tak terpulihkan, sebagaimana terjadi di banyak wilayah tambang di Indonesia.
Pendekatan ini juga menciptakan paradoks besar. Pemerintah, yang seharusnya menjadi aktor utama dalam mengatur dan mengawasi pengelolaan sumber daya alam, malah memilih untuk menyerahkan tanggung jawab ini kepada aktor non negara. Padahal, sejarah panjang pengelolaan tambang di Indonesia telah menunjukkan betapa rawannya sektor ini terhadap praktik korupsi, ketidakadilan distribusi keuntungan, dan kerusakan lingkungan.
Selain risiko ekologis, kebijakan ini berpotensi merusak struktur sosial masyarakat. Dengan memberi hak tambang kepada ormas keagamaan, pemerintah memperkuat segregasi sosial-ekonomi berdasarkan afiliasi keagamaan. Hal ini menciptakan ketimpangan baru, di mana kelompok tertentu mendapatkan akses eksklusif ke sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Dalam jangka panjang, dapat memicu konflik horizontal yang semakin memperburuk ketegangan sosial di Indonesia.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memahami inti dari keadilan sosial. Alih-alih memperkuat mekanisme distribusi yang adil, pemerintah justru menciptakan mekanisme baru yang memperbesar ketimpangan. Jika model ini diteruskan, kita mungkin akan melihat penguasaan tambang tidak lagi oleh korporasi besar, tetapi oleh jaringan-jaringan keagamaan atau akademik yang pada akhirnya tidak kalah eksploitatif.
Membangun Tata Kelola yang Berkeadilan
Lantas, apa yang harus dilakukan? Pertama, pemerintah harus kembali ke dasar pengelolaan sumber daya alam: keadilan, keberlanjutan, dan transparansi. Pengelolaan tambang harus berada di tangan lembaga negara yang memiliki akuntabilitas tinggi dan diawasi oleh masyarakat sipil, bukan diserahkan kepada aktor non-negara yang minim kontrol publik.
Kedua, ormas keagamaan dan perguruan tinggi seharusnya memainkan peran sebagai pengawas kebijakan, bukan aktor dalam eksploitasi tambang. Mereka harus menjaga jarak dari dinamika kepentingan ekonomi-politik yang dapat merusak integritas moral dan intelektual mereka.
Ketiga, pemerintah harus mengembangkan mekanisme distribusi hasil tambang yang lebih adil, misalnya melalui penerapan pajak progresif atau program redistribusi langsung kepada masyarakat terdampak. Sumber daya alam adalah milik bersama, dan keuntungannya harus dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite.
Pemberian hak tambang kepada ormas keagamaan dan kemungkinan perguruan tinggi mengelola tambang menimbulkan pertanyaan besar: apakah hak anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan tinggi berkualitas akan terjamin, dan pemerataan sosial akan terwujud?
Meskipun sekilas terlihat benar, "daripada dikelola oleh orang asing", namun kebijakan ini tidak hanya keliru secara moral, tetapi juga berbahaya secara sosial-politik, mencerminkan pendekatan jangka pendek yang mengabaikan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Tata kelola tambang yang tidak transparan berisiko merusak moralitas dan intelektualitas yang seharusnya menjadi benteng perlindungan masyarakat. Pemerintah harus segera mengubah arah untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite.
Achmad Room Fitrianto, PhD dosen dan Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya (mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu