DJKI Sebut Edukasi dan Kepatuhan Kunci Ekosistem Musik Berkeadilan

4 hours ago 4

Jakarta -

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan edukasi soal hak cipta dan kepatuhan terhadap mekanisme penggunaan lagu untuk komersial adalah langkah dasar membangun ekosistem musik nasional yang sehat dan berkeadilan.

Namun, masih banyak pelaku usaha yang belum memahami bahwa memutar lagu di ruang publik atau menggelar konser merupakan bentuk penggunaan komersial yang wajib memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

"Ini bukan hanya soal membayar royalti, tapi soal memahami bahwa setiap karya cipta memiliki hak ekonomi yang harus dihargai. Pelaku usaha perlu tahu bahwa menggunakan lagu di tempat usaha tanpa izin atau tanpa pembayaran royalti adalah pelanggaran," ujar Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu dalam keterangan tertulis, Selasa (17/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, setiap penggunaan lagu untuk tujuan komersial memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Namun, untuk mempermudah perizinan, Undang-undang telah mengamanatkan untuk membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai perantara satu pintu.

Berdasarkan pasal 23 ayat (5) dan pasal 87 UU Hak Cipta, pelaku usaha atau pengguna Layanan Publik bersifat Komersial cukup membayar royalti satu kali secara terpusat. Adapun royalti kemudian akan didistribusikan kepada para pencipta dan pemilik hak terkait (penyanyi, musisi, produser fonogram) melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

"Kewajiban pembayaran royalti ini telah diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang menggunakan lagu atau musik dalam layanan publik bersifat komersial wajib mengajukan lisensi melalui LMKN. Ini berlaku untuk berbagai bentuk pemanfaatan lagu, mulai dari yang diputar di restoran, kafe, pub, diskotek, hingga konser musik," paparnya.

Razilu menjelaskan tarif royalti pun sudah ditetapkan secara jelas dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Tarif ini sebesar 2% dari hasil kotor penjualan tiket dan tambahan 1% untuk tiket gratis, atau 2% dari biaya produksi untuk konser tanpa tiket.

Sementara itu tanggung jawab pembayaran ada di tangan penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha, bukan pada penyanyi atau musisi-kecuali jika mereka juga berperan sebagai penyelenggara.

Setelah pembayaran dilakukan melalui LMKN, pengguna tidak lagi memerlukan izin langsung dari pencipta/pemegang hak cipta untuk keperluan performing right. Sebab, secara hukum hak tersebut telah dipenuhi. Hal ini memberikan kejelasan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha.

"Jika terjadi sengketa dalam proses pembayaran royalti, penyelesaian dapat ditempuh melalui mediasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta. Prosedur ini disediakan agar semua pihak dapat menyelesaikan perbedaan secara adil dan tanpa konflik berkepanjangan," lanjutnya.

Razilu mengatakan DJKI akan terus melakukan edukasi, pendampingan, dan pengawasan terhadap penggunaan lagu untuk kepentingan komersial. Ia mengatakan kepatuhan terhadap hak cipta bukan hanya perlindungan hukum bagi pencipta, tetapi juga landasan etika yang menguatkan industri kreatif nasional.

"Kita ingin masyarakat dan pelaku usaha tidak hanya taat aturan, tapi juga benar-benar mengerti kenapa aturan itu dibuat. Perlindungan hak cipta adalah bentuk dukungan nyata terhadap kemajuan musik Indonesia," pungkas Razilu.

(akd/akd)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial