Jakarta -
Apakah pemerintah masih perlu membangun sekolah unggulan dan sekolah rakyat? Pertanyaan ini muncul setelah menyimak dan memperhatikan rencana program Kementerian Pendidikan Tinggi Sains, Riset dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang akan membangun SMA Unggulan Garuda dan Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar berencana membangun Sekolah Rakyat.
Seperti diberitakan media, tujuan pembangunan sekolah unggulan ini adalah memberikan akses pendidikan berkualitas bagi siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata, khususnya dalam bidang sains dan teknologi, serta mempersiapkan talenta unggul untuk memimpin bangsa di masa depan. Meskipun niat baik ini layak didukung, ada beberapa hal yang perlu dikritisi, terutama terkait akuisisi sekolah-sekolah unggul seperti SMA Taruna Nusantara di Magelang dan SMA Pradita Dirgantara di Boyolali untuk diakui sebagai bagian dari SMA Unggulan Garuda.
Padahal dua sekolah swasta tersebut sudah terkenal menjadi sekolah unggulan yang telah berhasil mencetak lulusan yang berprestasi baik dalam kancah nasional maupun internasional. SMA Taruna Nusantara misalnya terkenal sebagai sekolah yang menelurkan orang hebat yang saat ini menjabat sebagai menteri di Kabinet Merah Putih. Hal yang sama juga SMA Pradita Dirgantara, sebagai sekolah unggulan yang baru berdiri pada 14 Maret 2018, sudah banyak menorehkan banyak prestasi dan menduduki peringkat 3 nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian sekolah unggulan seperti disebut di atas tidaklah berbiaya murah. Bagi kelas menengah ke bawah masuk ke sekolah unggulan tersebut tidaklah mudah baik secara biaya maupun serangkaian seleksinya. Melansir dari berbagai sumber biaya operasional sekolah tersebut kurang lebih Rp 6,5 juta per bulan dan sumbangan institusi juga tidak murah sekitar Rp 50 juta. Ada memang siswa yang berhasil lulus di sekolah tersebut dan mendapatkan beasiswa sehingga biaya sekolah menjadi gratis. Namun, berapa persentase siswa kurang mampu yang bisa masuk ke sekolah tersebut?
Sekolah dengan seleksi masuk yang ketat tentu akan menyaring anak-anak dari keluarga mampu atau pejabat yang sejak awal sudah memiliki keistimewaan baik secara finansial maupun fasilitas belajar yang memadai. Sedangkan anak dari keluarga miskin terkadang sulit untuk mendapatkan fasilitas seperti yang dimiliki oleh anak dari keluarga mampu. Ada memang beberapa pengecualian tetapi yang namanya pengecualian tentu jumlahnya tidak banyak.
Wamen Kemendiktisaintek Stella Christie menyampaikan bahwa akan mengakomodasi keluarga kelas menengah ke bawah masuk SMA Unggulan Garuda. Tetapi jika mempertimbangkan aksesibilitas anak dari keluarga mampu seperti yang sudah dijelaskan, anak dari keluarga menengah ke bawah akan tetap sulit mengakses pendidikan berkualitas di sekolah unggul tersebut.
Jika sudah unggul biarkanlah sekolah tersebut berkembang sendiri secara mandiri sehingga tidak perlu membebani keuangan negara. Bukankah lebih baik pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memberikan dukungan terhadap sekolah-sekolah yang saat ini masih belum unggul --misalnya dilihat dari sarana dan prasarana serta kesejahteraan guru?
Lagi pula membangun sekolah unggulan dari nol tidaklah mudah, butuh banyak dana. Tanpa dukungan dana besar tidaklah mudah membangun sekolah unggulan. Misalnya, untuk merekrut guru-guru yang berkualitas dan berdedikasi tinggi tidak juga mudah apalagi murah. Perlu ada serangkaian seleksi baik secara kognitif maupun kepribadian.
Dengan memilih sekolah-sekolah pinggiran dan membiayainya akan lebih banyak tercipta sekolah-sekolah unggulan baru secara lebih cepat. Hal itu pun bisa dilakukan sekaligus untuk memetakan sekolah-sekolah pinggiran yang bisa jadi mitra untuk penerimaan siswa baru melalui sistem zonasi. Saat ini butuh banyak sekolah-sekolah berkualitas baik swasta maupun negeri yang dapat menjadi upaya pemenuhan sekolah-sekolah berkualitas. Apalagi sesuai dengan apa yang sering disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti bahwa ia akan lebih mengupayakan sekolah berkualitas untuk semua kalangan.
Lagi pula, mencetak talenta unggul untuk tujuan jangka pendek, misal dalam satu periode pemerintahan, dan tanpa tujuan jangka panjang akan berakhir pada keterputusan program. Selain itu tidak ada jaminan pula talenta unggul dapat berperan dalam penciptaan kemajuan negara tanpa ada pengawasan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu tidaklah lebih baik anggaran yang ada dialihkan untuk mendorong sekolah-sekolah swasta atau negeri yang saat ini sudah ada dan perlu dukungan dari pemerintah dalam hal pendanaan supaya lebih maju. Memang membangun sekolah unggul tidak melulu soal dana. Namun, tanpa dana yang cukup saya kira sulit untuk membangun sekolah unggul.
Wacana Tandingan
Di sisi lain Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa Presiden Prabowo akan membangun sekolah rakyat di bawah naungan Kementerian Sosial. Sekolah tersebut akan diutamakan untuk anak dari keluarga tak mampu dan yang termasuk miskin ekstrem (detikcom, 11/1). Jika dikaitkan dengan dengan program pendirian SMA Unggulan, pendirian sekolah rakyat ini bisa dipahami sebagai wacana tandingan supaya pemerintah tidak terkesan mengesampingkan anak dari keluarga miskin.
Jika dilihat dari urgensinya sebenarnya mendirikan sekolah baru bukanlah prioritas. Yang prioritas adalah memastikan sekolah-sekolah yang sudah ada bisa benar-benar terpenuhi sarana dan prasarananya. Kesejahteraan para guru juga menjadi prioritas. Selain itu yang seharusnya menjadi prioritas dan lebih substansial adalah memastikan anak dari keluarga miskin benar-benar kerasan untuk bersekolah. Karena ada banyak anak-anak dari keluarga miskin memutuskan tidak sekolah.
Pada akhir 2021, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek mencatat, ada 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah. Dari data ini, untuk jenjang wajib belajar SD-SMP terindikasi 53.758 siswa putus sekolah. Adapun, di jenjang SMA dan SMK sebanyak 22.085 siswa putus sekolah.
Siswa dari keluarga miskin rentan untuk putus sekolah meskipun telah ada bantuan yang diberikan untuk bersekolah. Misalnya mereka merasa lebih memilih untuk memulung atau mengamen karena lebih menguntungkan secara finansial dari pada menerima bantuan dari pemerintah (Mu'ammar, 2019). Menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, 76% keluarga mengakui bahwa alasan anaknya putus sekolah adalah ekonomi. Sebagian besarnya (67%) tidak mampu membayar biaya sekolah, sedangkan sisanya (8,7%) harus mencari nafkah.
Akhirnya, membenahi sekolah yang sudah ada jauh lebih baik daripada membangun sekolah unggulan atau sekolah rakyat yang baru. Membenahi yang sudah ada memang tidak tampak legasinya dan tidak populer untuk dijadikan suatu program pemerintahan. Namun sampai kapan program pemerintah dilakukan hanya untuk meraih perhatian masyarakat dan dijadikan sebagai mesin pendulang suara untuk meraih dan/mempertahankan kekuasaan tetapi nir substansi?
Waliyadin dosen PPPK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)