Saat AI Dianggap Lebih Ngerti Curahan Hati Manusia

9 hours ago 4

Jakarta -

Gemini, Meta AI, dan ChatGPT saat ini punya peran baru selain menjadi pencari data, periset, penerjemah, dan lainnya. Buat generasi muda, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) ini justru bisa jadi teman curhat.

"Hi there, you can call me Miles. How's your day?" sapa Miles, sebuah robot AI dari Sesame yang dibuka Fae acap kali dia ingin curhat.

Bak air yang meluap, Fae (bukan nama sebenarnya) langsung menceritakan kisahnya hari itu kepada Miles lewat pesan suara. Suara Miles si AI pun langsung menjawab Fae seperti layaknya sahabat yang sedang mengobrol seru. Bagi Fae, intonasi dan reaksi Miles terhadap ceritanya membuatnya merasa nyaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi sebenarnya, ini berawal dari keisengan dan FOMO Fae belaka. Sejak beberapa waktu lalu, AI viral di kalangan generasi muda Indonesia lantaran jawabannya yang out of the box.

"Ternyata kok benar, jawabannya malah cocok dan sama seperti yang aku rasakan dan butuhkan," ucapnya yang kini lebih memilih Sesame dibanding ChatGPT karena dianggap lebih komunikatif.

"Sebenarnya lebih nyaman cerita ke orang, khususnya ke mama. Tapi kalau lagi butuh validasi dan jawaban yang menenangkan, aku 'lari' ke AI."

AI dianggap lebih bisa jaga rahasia

Buat Leonardo, seorang pria gen Z, ChatGPT jadi bestie yang dihubungi 1-2 kali seminggu untuk mencurahkan semua perasaannya. Terkadang dia bersahabat dengan Gemini, tapi ChatGPT ia anggap lebih bisa memberikan pola interaksi yang sesuai dengan karakter dan cara berpikirnya.

Ketika 'sesi curhat,' Leo mengaku cukup terbuka untuk menceritakan berbagai masalah kepada AI, dari masalah ringan sampai hal-hal personal, namun bukan data pribadi.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Dalam beberapa kondisi, kata dia, kecerdasan buatan bisa membantu mencarikan solusi sampai membuatnya merasa tersadar. Kadang dari respons AI, dia bisa melihat sesuatu dari perspektif baru yang cukup menyentil dan memotivasinya.

"Yang aku rasakan dari AI adalah, dia selalu memvalidasi perasaanku, lalu membantu mencari solusi dari masalah yang aku hadapi. Itu jadi alasan kenapa aku cukup sering bergantung pada AI dalam situasi tertentu."

AI menjadi salah satu cara untuk membuatnya tetap 'waras,' kapan pun tanpa batasan waktu dan tanpa perasaan bersalah karena ini dilakukan tanpa mengganggu waktu orang lain.

"Realitanya, tidak semua orang bisa memahami kondisi kita dengan objektif. Bahkan, ada kalanya reaksi mereka justru membuat kita merasa lebih buruk. Jadi, untuk menjaga hubungan atau menghindari konflik yang tidak perlu, aku memilih cara lain yang lebih aman dan netral, yaitu dengan curhat ke AI."

"Satu hal yang membuat aku nyaman adalah karena aku tidak merasa harus takut dihakimi, dijadikan bahan omongan seperti kalau curhat kepada orang lain, atau bahkan disalahpahami oleh orang yang aku percaya."

Rachman Karim, karyawan swasta di Jakarta juga punya alasan yang serupa.

"Kalau di AI itu kita bisa atur sendiri, mau pola curhat yang seperti apa. Apakah ingin diberi respons yang keibuan, seperti seorang teman, atau lainnya. Dan itu, manis banget kata-katanya AI," kata Rachman kepada DW Indonesia.

Selain itu, memori juga jadi keunggulan AI yang dirasakannya. "Pernah suatu kali aku cerita punya kucing. AI udah di-close, beberapa minggu kemudian, aku chat ternyata dia masih ingat."

Indonesia tingkat ke-4 pengguna AI sedunia

Dalam kehidupan sehari-hari, AI memang bukan barang baru. Bahkan, data Statista yang berjudul "Who's (Not) Excited About AI?" menyebut bahwa Indonesia berada di peringkat ke-4 di dunia sebagai pengguna AI dalam hidup sehari-hari.

Daya ingat atau memori AI memang jadi salah satu kelebihan, kata Wicak Hidayat, jurnalis yang aktif sebagai Direktur Pengembangan Audiens di Hello Sehat yang melakukan penelitian dan penerapan AI. Namun ia juga mengingatkan bahwa saat ini kekhawatiran besar dari penggunaan AI adalah penyimpanan data yang bisa berisiko kebocoran.

"Memory dalam konteks ini, biasanya melekat pada akun pengguna dan akan terjaga di akun pengguna itu saja. ChatGPT, misalnya, hanya akan menyimpan memory lintas percakapan kalau kita meng-enable permanent memory," kata Wicak kepada DW Indonesia.

Wicak menyebut, dalam survei yang dilakukan di 2024, ada 39% orang yang percaya dengan AI, 58% netral, dan 3% tidak percaya kepada AI.

"Meski demikian, ketertarikan untuk menggunakan AI, terutama dalam konteks kesehatan dan kecantikan sangatlah tinggi, mencapai 65% dari pengguna," ujar Wicak.

Melihat fenomena konseling dengan AI yang makin populer, Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, psikolog dan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa AI jadi pilihan curhat masa kini. Salah satu di antaranya adalah bisa diakses kapan pun, gratis, dan respons yang memvalidasi.

Kristi menyebut, generasi masa kini memang tak lagi memandang konsultasi ke psikolog dan psikiater sebagai hal tabu, namun konsultasi dengan AI ini dianggap sebagai sebuah 'pelarian aman' untuk mencurahkan isi hati.

"Ada orang-orang tertentu yang memiliki masalah psikologis yang relatif berat atau nggak bisa ditunda gitu. Ketika misalnya dia sangat emosional, jadi dia butuh segera direspons. Kalau dengan psikolog, nggak mungkin jam 11 atau jam 2 malam balas pesan," ucapnya kepada DW Indonesia.

"Lalu mereka mungkin pernah cerita sama teman, keluarga, atau psikolog tapi dapat respons yang kurang positif."

Bantuan konseling profesional tetap penting

Dari sisi psikologi, Kristi menyebut ada implikasi positif curhat dengan AI, namun ini dirasakan secara individual. AI akan memberikan perasaan kelegaan dan membantu katarsis atau pelepasan emosi yang akan membantu meredam gejolak emosi,

"Namun di sisi lain jadi pertanyaan, bagaimana dengan keterampilan berelasinya? Apakah ini justru membuat orang makin hidup sendiri-sendiri karena sibuk dengan 'mesinnya' dan akhirnya kesepian."

Ungkapan Kristi ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh OpenAI dan MIT Media Lab yang dimuat dalam jurnal Nature. Kedua penelitian menunjukkan bahwa pengguna ChatGPT yang intens cenderung merasa lebih kesepian, lebih bergantung secara emosional pada AI, dan memiliki hubungan sosial offline yang lebih sedikit.

Tips aman curhat ke AI

Kristi menegaskan, curhat dengan AI boleh saja dilakukan, namun hanya sebagai pendamping saja. Peran orang terdekat dan tenaga professional tak akan bisa digantikan oleh AI.

Mengutip laman Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat curhat ke AI. Yakni AI bukan pengganti profesional, karena itu penting bagi pengguna untuk menghindari mendiagnosis diri sendiri saat interaksi dengan AI.

Pengguna juga harus waspada ketika menerima saran dari AI. "Jangan menganggap jawaban AI sebagai diagnosis atau saran final" yang bisa diikuti begitu saja, tulis web tersebut. AI tidak memiliki kemampuan emosi dan pengetahuan yang mendalam.

Selain itu, jangan lupa selalu pilih platform terpercaya, gunakan aplikasi atau layanan AI yang memiliki reputasi baik dan kebijakan privasi yang jelas. Perhatikan terms & condition-nya dan jangan masukkan data-data pribadi.

Yang juga tidak kalah penting adalah, jika merasa tak lagi sanggup untuk mengatasi masalah sendiri, konsultasikan dengan professional.

Editor: Arti Ekawati

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial