Revisi UU Pemilu dan Perlombaan Terbuka Menjadi Presiden

7 hours ago 2

Jakarta -

Presidential threshold tutup buku dalam sejarah demokrasi di Tanah Air setelah Mahkamah Konstitusi menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu pada 2 Januari 2025. Sekarang Pasal 222 UU 7/2017 yang menegaskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional tidak berlaku lagi.

Setelah lebih dari 32 kali uji materi yang menyoal aturan ini ditolak oleh MK, putusan benteng konstitusi itu mengembalikan daulat rakyat yang dirampas oleh rekayasa aturan yang sesungguhnya menelikung konstitusi, UUD 1945 dan hasil amandemen. Pasalnya, di dalam konstitusi hanya tertulis bahwa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden diajukan lewat parpol atau gabungan parpol. Threshold sebaliknya dianggap membuat daulat parpol, elite serta oligarki berkibar.

Rizal Ramli salah satu yang pernah mengajukan uji materi soal presidential threshold ke MK. Menurutnya, aturan ambang batas, termasuk dalam pemilihan kepala daerah, telah menyebabkan demokrasi kita terjatuh menjadi "demokrasi kriminal". Sebuah demokrasi yang kental dengan budaya korup dan membelenggu demokrasi yang berbasis "dari, oleh dan untuk" rakyat.

"Saya berani mengatakan itu karena menjadi Bupati, Gubernur, Presiden, dan anggota DPR kebanyakan calon-calonnya itu harus membayar partai pengusungnya," tegas Rizal dalam wawancara dengan saya saat memproduksi film dokumenter Belenggu Demokrasi Kriminal kerja sama dengan LP3ES dan Taiwan Foundation for Democracy (akhir 2023).

Yang disinggung Rizal ini sesungguhnya hanya imbas negatif dan bukan "dosa" demokrasi langsung, tapi melekat pada subjek yang memang punya bakat korup sejak dalam pikiran dan tindakan.

Presidential threshold telah dihapus, dengan begitu revisi UU Pemilu mendesak untuk dilakukan. MK telah memberi rambu yang seharusnya menjadi pedoman, acuan dan titik tolak untuk melahirkan UU Pemilu yang tidak mencederai demokrasi dan daulat rakyat. Kata kuncinya, pemerintah dan DPR diberi ruang untuk melakukan rekayasa konstitusional. Spirit itu terangkum dalam panca rambu.

Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Tidak lumrah saat memergoki kenyataan bahwa UU 7/2017 tentang Pemilu tidak direvisi atau diubah sama sekali, alias status quo menuju Pemilu 2024. Padahal, bahkan sejak Orde Baru, UU politik, termasuk UU Pemilu selalu diubah setiap lima tahun sekali untuk menampung dinamika sosial politik yang berkembang.

Mumpung masih empat tahun menuju Pemilu 2029, sebaiknya revisi UU 7/2017 lekas dikaji, digodok dan cepat-cepat direvisi. Tidak perlu menunggu tenggat akhir agar revisi tadi dapat menampung dinamika di masyarakat dan politik nasional.

Partisipasi publik yang bermakna sebaiknya dibuka luas kepada akademisi kampus, termasuk mahasiswa, peneliti pemilu, hingga komponen masyarakat sipil. Libatkan sejak awal. Komponen non parpol itu akan lebih objektif dan lebih tidak punya konflik kepentingan. Jangan seperti RUU IKN di mana partisipasi publik amat minim dan pembahasannya tergesa-gesa sehingga menjebak pembuat UU menjadi "cepat-cepat, tapi berujung tak cermat".

Saya kira, bola untuk menggodok constitutional engineering tak hanya berada di tangan DPR, tapi pemerintah. Ini pekerjaan rumah duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang tidak kalah penting dibandingkan sekian program unggulan mereka yang populis.

DPR dalam sistem multipartai yang dianut Indonesia seharusnya mencerminkan keberagaman kepentingan politik dan ideologi dari sekian partai di Senayan. Namun, kita punya sedikit "trauma" dengan blok politik di DPR. Koalisi yang menyokong pemerintahan Prabowo sangat besar, dan cuma menyisakan PDI Perjuangan di luar gerbong. Belakangan, PDIP dikabarkan merapat pada pemerintahan Prabowo.

Benarkah parpol di DPR, terutama KIM Plus, sangat ringan hati menerjemahkan keputusan dan rambu-rambu yang dibuat oleh MK? Rekayasa konstitusional seperti apa yang tepat untuk menerjemahkan lima rambu yang dibuat MK tadi?

Belakangan, ada diskursus untuk mengutak-atik koalisi parpol agar pasangan calon yang berlaga di pilpres jumlahnya tidak terlalu banyak. "Tidak terlalu banyak" ini relatif atau nisbi, karena pengalaman menunjukkan, parpol yang bertarung pada Pemilu 2004 mencapai 24 parpol, dan pada Pemilu 2024 diikuti 18 parpol belum termasuk parpol lokal di Aceh.

Sejak Reformasi, negeri kita gagal melembagakan koalisi parpol secara permanen, minimal selama lima tahun atau satu periode pemerintahan. Pada 2004, Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan bubar selepas Munas Golkar. Partai beringin yang dikemudikan Jusuf Kalla lalu menyokong Pemerintahan SBY-JK. Demikian juga koalisi pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar bubar setelah Pilpres 2024, dengan PKB mengirim kadernya, termasuk Muhaimin, ke Kabinet Merah Putih.

Tidak ada preseden di mana koalisi parpol yang mengusung kandidat kalah di pilpres bersedia ajeg di luar pemerintahan demi memerankan fungsi check and balances. Bahkan Gerindra yang setia di luar pemerintahan pada 2014-2019, akhirnya bergabung di pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin selepas Pemilu 2019.

Menurut saya, negeri kita sebaiknya kembali kepada objektivikasi sebagaimana dikemukakan Kuntowijoyo (2002). Di buku Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, budayawan ini mengartikan objektivikasi sebagai pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif.

Dalam perkara koalisi parpol amat wajar jika kita menyeru agar hal itu dilakukan dengan bertopang ideologi, visi-misi, serta program yang sama. Andai pun ada perbedaan, parpol-parpol yang akan berhimpun dalam satu barisan, sewajarnya jika punya titik temu yang menyatukan (common platform). Apakah persatuan atau perhimpunan atau koalisi parpol dapat dirancang dengan imperatif atau perintah undang-undang?

Objektifnya koalisi mengusung capres-cawapres itu berjalan secara alami, cair, dan situasional, tanpa bermaksud permisif terhadap praktik politik "dagang sapi" atau borong parpol. Setelah parpol-parpol itu berkoalisi atau berkongsi, mereka harus setia untuk jadi kawan seiring hingga setidaknya lima tahun atau satu periode pemerintahan.

Parpol-parpol itu diikat etika, fatsun agar tidak bubar selepas pilpres serta bergabung dengan koalisi parpol lain yang menang pilpres. Ini pun tidak gampang, kendatipun jika menyaksikan fakta objektif, layak ditimbang untuk diatur dalam undang-undang.

Seruan MK agar jumlah pasangan calon atau kandidat yang berlaga di pilpres "tidak terlalu banyak" tidak harus membuat kita khawatir atau waswas. Partai politik peserta pemilu kemungkinan akan tetap rasional untuk menyeleksi kader atau tokoh non kader yang akan diusung atau tidak diusungnya dalam pilpres. Jika popularitas dan elektabilitas kadernya nomor bontot, mereka akan bergabung dengan figur yang lebih menjual yang dimiliki parpol atau koalisi parpol yang terbentuk dalam mekanisme politik yang alami, tanpa paksaan.

Yang paling mendesak dan relevan, putusan MK yang datang lebih cepat ini sebaiknya merangsang dan menjadi insentif bagi partai politik pemilik kursi di DPR atau parpol yang tak lolos Senayan untuk berbenah. Ini kesempatan besar untuk merancang kaderisasi yang dapat melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang mumpuni. Ini perlombaan dengan finis yang jelas, yakni mengantar kader mereka ke perhelatan pilpres serta kalau bisa menjadi presiden dan wakil presiden.

Setelah itu, parpol harus menyiapkan mekanisme seleksi internal yang fair dan terbuka. Golkar pernah memiliki sejarah manis dengan konvensi capres sebelum Pemilu 2004. Saat itu Akbar Tandjung yang notabene ketua umum secara elegan membuka peluang kepada seluruh kadernya untuk menjadi capres Golkar. Dia melepas hak istimewa ketua umum untuk jadi capres langsung, yang melekat pada dirinya, demi menciptakan demokrasi internal yang semarak di tubuh Golkar. Ini preseden emas yang celakanya tidak berlanjut di Golkar dan parpol-parpol lain. Demokrat sempat melaksanakan konvensi capres sebelum Pemilu 2014, tapi pemenang konvensi tidak dimajukan ke pilpres.

Dan, kembali pada soal " tidak terlalu banyak", tengoklah pengalaman Rusia. Kandidat presiden yang melamar ke KPU awalnya mencapai 16 orang, tapi belakangan tinggal empat orang termasuk sang incumbent, Vladimir Putin. Saya masih ingat, mantan ketua MK, Prof Jimly Asshiddiqie, dalam dokumenter yang kami buat, menyebut Rusia sebagai sumber rujukan agar pilpres di Indonesia diikuti banyak kontestan.

Semangat yang dapat diadaptasi dari pengalaman Rusia adalah tidak membatasi jumlah kandidat presiden. Serahkan saja lewat mekanisme politik alami. Lagi pula di bilik suara, rakyat (pemilih) di negeri kita sudah terbiasa berurusan dengan surat/kertas suara dengan jumlah nama yang banyak. Itu kenyataan empiris di pemilihan anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota sejak 2004.

Dan satu lagi: keputusan maju dari MK ini bisa menjadi koreksi atas episode pemimpin nasional yang Jawa-sentris. Aturan presidential threshold secara tak langsung telah memperkukuh mitos bahwa presiden Indonesia itu harus dari dan lahir di Pulau Jawa. Dengan kandidasi yang bebas dan tidak dibatasi, setiap anak bangsa dari pojok-pojok Nusantara lebih punya peluang memimpin Indonesia yang majemuk ini.

Moh. Samsul Arifin produser film dokumenter 'Belenggu Demokrasi Kriminal' (2023), bekerja sebagai broadcaster journalist sejak 2006

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial