Presidential Treshold Nol Persen dan Wajah Pemilu ke Depan

8 hours ago 3

Jakarta -

Setelah diajukan gugatan berulang kali ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh berbagai pihak untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), akhirnya gugatan itu dikabulkan. Dengan Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, maka partai politik peserta pemilu memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa adanya batasan prosentase kursi DPR atau suara sah nasional.

Dengan putusan tersebut maka presidential threshold (PT) yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 222 --yang menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya-- menjadi tidak berlaku.

Putusan MK tersebut membuka peluang hadirnya banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkontestasi dalam pilpres bila masing-masing atau gabungan tak lebih dari dua partai politik mau mengusulkan pasangan calonnya. Hadirnya banyak calon membuat pilihan masyarakat menjadi lebih variatif bila dibandingkan hanya dua bahkan satu pasangan calon.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi putusan MK itu, separuh partai menyambut dengan senang hati. Mereka mengatakan putusan tersebut merupakan marwah dan yang dicita-citakan oleh partainya. Sebagian partai merespons dengan wajar dalam posisi tidak menolak dan tidak menerima. Dari kelompok inilah perlawanan terhadap putusan MK bisa muncul.

Belum Tentu Dimanfaatkan

Meski ada jalan yang terbuka lebar bagi partai politik untuk mengusung pasangan calonnya sendiri dalam pilpres yang akan datang, namun apakah peluang tersebut dimanfaatkan? Sebenarnya aturan-aturan yang ada dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) maupun produk turunannya terbilang cukup memberi ruang pada partai politik untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat.

Sebelum ada Putusan MK di atas, meski PT sangat tinggi, namun terbukti dalam Pilpres 2024 ada tiga pasangan calon. Tiga pasangan calon bisa dikatakan sudah mewakili aspirasi masyarakat dari berbagai golongan. Jumlah tiga calon bisa dikatakan angka yang cukup ideal, tidak sesulit bila hanya ada dua pasangan calon.

Jadi partai politik dengan keterbatasan persentase suaranya mereka tetap bisa mengotak-ngatik kekuatan yang dimiliki untuk berkoalisi dengan partai lain agar mampu mengusung calon yang didukungnya. Di sinilah kreasi dalam pilpres muncul.

Pintu terbuka bagi partai politik untuk berkreasi dalam mengusung pasangan calon dalam pemilu sebenarnya sudah diberikan lewat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah di Pilkada. Putusan ini menurunkan ambang batas pencalonan menjadi 6,5-10 persen dari yang sebelumnya 20-25 persen.

Meski ada pintu lebar bagi partai politik untuk mengusung pasangan calon dari partainya sendiri dalam pilkada namun keleluasaan aturan itu juga tidak benar-benar dimanfaatkan oleh partai politik. Partai-partai yang ada tetap saja memilih sikap pragmatisme, lebih suka bergabung dalam koalisi besar untuk memenangkan pasangan calon yang didukung.

Lihat saja PKS sebagai pemenang pemilu legistlatif di Jakarta, yang pasti perolehan suaranya lebih dari ambang batas Putusan MK No. 60, namun dirinya lebih memilih berkoalisi dalam KIM Plus yang mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono padahal aspirasi mayoritas pendukung PKS dan warga Jakarta ingin Anies Baswedan. Walau akhirnya kalah dalam Pilkada Jakarta namun berdasarkan pengalaman ini menunjukan bahwa peluang mengajukan pasangan calon bukan dihalangi oleh ambang batas namun karena dominannya sikap pragmatisme dari partai politik itu sendiri.

Pun demikian dalam pilpres yang akan datang, Pilpres 2029, pintu yang terbuka lebar bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri dengan landasan hukum Putusan MK No. 62/2024 itu belum tentu dimanfaatkan oleh partai politik sehingga wajah capres dan cawapres yang ada tetap saja "lu lagi lu lagi" (4L) alias itu-itu saja.

Cenderung Pragmatis

Mengapa dalam pilpres yang akan datang capres dan cawapresnya kemungkinan besar tetap 4L? Pertama, sikap partai politik saat ini lebih cenderung pragmatis. Mereka akan lebih memilih mendukung sosok dan pihak-pihak yang dirasa akan menang. Dalam pikiran mereka ikut yang menang lebih menguntungkan dari segi materi. Lunturnya sikap idealisme yang demikian muncul sebab biaya pemilu dari waktu ke waktu yang semakin mahal.

Kedua, berdasarkan pengalaman dari pemilu belakangan ini, cawe-cawe atau merekayasa terbentuknya koalisi partai sudah menjadi rahasia umum. Bergabung dalam koalisi tidak berdasarkan kesukarelaan namun disebabkan intimidasi dan kriminalisasi. Bila tidak mau bergabung, ketua umumnya akan dikriminalisasi atau partai akan diambil alih. Faktor inilah yang membuat dalam Pilpres dan Pilkada 2024 terjadi ketimpangan koalisi, ada koalisi besar, lebih dari lima partai; ada pula koalisi yang jumlah partainya pas-pasan.

Ketiga, selain intimidasi dan kriminalisasi, juga ada faktor tawaran jabatan di kekuasaan sehingga partai mau bergabung dalam koalisi. Meski hal ini lumrah namun juga menjadi daya tarik bagi partai untuk berhimpun pada kekuatan yang berpeluang menang dari pada harus berjuang sendiri.

Faktor-faktor di ataslah yang membuat pilpres dan pilkada tetap berbau oligarki, kolusi, dan nepotisme meski ambang batas telah membuka selebar-selebarnya bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calonnya sendiri.

Ardi Winangun Direktur Indonesia Political Review (IPR)

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial