Pangan Lokal, Serangga, dan Makan Bergizi Gratis

3 weeks ago 44

Jakarta -

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah diluncurkan sejak 6 Januari 2025. Wajah-wajah ceria setiap hari tampak dari siswa yang menerima menu MBG. Mereka menyantap makanan di kelas secara bersama-sama dengan menu yang sama, dan tidak ada penolakan terhadap beragam menu yang disajikan dan berganti setiap hari. Pada tahap awal, program ini ditargetkan dapat menjangkau sekitar 3 juta orang penerima manfaat di seluruh Indonesia, dan pada Agustus 2025 sasaran yang akan dijangkau mencapai 15 juta penerima manfaat yang terdiri dari siswa, anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Program MBG harus mengutamakan pemakaian produk pangan lokal sehingga sekaligus dapat memberdayakan ekonomi petani. Kebijakan impor pangan yang mulai dibatasi sejak 2025 adalah wujud adanya perhatian pada kesejahteraan petani. Kalau setiap kali terjadi gejolak pangan hanya dipecahkan dengan kebijakan impor, maka sumberdaya lokal sejatinya tidak pernah diberdayakan secara serius.

Petani-petani kita dibiarkan harus bertarung dengan petani luar yang lebih efisien dan mendapat dukungan subsidi serta fasilitas infrastruktur yang lebih baik dari negaranya. Oleh sebab itu, adanya masalah pangan di tingkat masyarakat harus menjadi cambuk bagi pemberdayaan petani-petani kita sehingga bisa lebih optimal dalam berproduksi sehingga sumberdaya lokal termanfaatkan secara baik.

Program MBG mengajarkan pentingnya konsumsi pangan yang beragam sebagai cerminan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan seyogianya jangan hanya diterjemahkan sebagai mengganti pangan pokok beras dengan pangan pokok lain seperti jagung atau umbi-umbian. Inti dari diversifikasi adalah mengonsumsi aneka ragam pangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi tubuh serta membuat seseorang menjadi sehat. Program MBG sejak diluncurkan awal Januari 2025 secara konsisten telah menyajikan nasi, sayur, lauk, dan buah dalam menu sehari-hari.

Dominasi Beras

Pada era 1950-an peran pangan non beras sebagai sumber karbohidrat masih sangat menonjol; jagung berkontribusi 18,9%, umbi-umbian 28,3%, dan beras 53,5%. Namun kini dominasi beras semakin tinggi dan disusul di peringkat kedua adalah terigu. Oleh sebab itu, upaya mendongkrak pangan lokal sumber karbohidrat sebagai bagian konsumsi masyarakat memerlukan edukasi dan keterjaminan produksi sehingga masyarakat bisa mengakses dengan mudah pangan-pangan lokal yang kini dianggap inferior.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumberdaya keanekaragaman hayati luar biasa. Kita memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 389 jenis buah, 228 jenis sayuran, 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, dan 110 jenis rempah/bumbu. Pangan-pangan sumber karbohidrat banyak di antaranya yang memiliki Indeks Glisemik rendah yang cocok untuk penderita diabetes. Sayuran, buah, dan rempah banyak yang mengandung antioksidan dan ini sangat bermanfaat untuk mendukung kesehatan masyarakat agar terhindar dari penyakit tidak menular (PTM).

Sangat disayangkan konsumsi pangan lokal sumber karbohidrat dari tahun ke tahun tidak ada peningkatan yang berarti. Sebagai contoh, konsumsi singkong pada 2020 hanya 8,6 kg/kapita/tahun, ubi jalar 3,2 kg, kentang 2,5 kg, dan sagu 0,3 kg. Konsumsi jagung hanya tinggi di Gorontalo 15,9 kg/kapita/tahun dan NTT 7,0 kg; sementara sebagian besar provinsi di Indonesia konsumsi jagungnya kurang dari 1 kg/kapita/tahun.

Pangan Lokal

Pangan lokal adalah pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai potensi, kearifan, dan budaya masyarakat setempat. Mungkin karena kurangnya perhatian dari sisi produksi, pangan lokal semakin langka dan menjadi neglected and forgotten foods (pangan terabaikan dan terlupakan).

Pangan lokal mempunyai peran penting sebagai: (1) sumber keragaman pangan untuk pencapaian ketahanan pangan dan gizi keluarga, (2) katup pengaman dalam menjaga pasokan pangan bagi masyarakat di perdesaan pada saat terjadi guncangan (shock) terhadap ketersediaan pangan, (3) pencipta kesempatan kerja dan tambahan pendapatan rumah tangga, serta penggerak ekonomi daerah.

Berbagai studi tentang pangan lokal khususnya kacang-kacangan menunjukkan perannya yang signifikan untuk perbaikan gizi balita. Pemanfaatan kacang hijau, kacang merah, dan kacang kedele yang handal sebagai sumber protein dapat memperbaiki performans berat badan dan tinggi badan anak balita. Ubi ungu bahkan kini telah ditangkap oleh industri pangan menjadi Makanan Pendamping ASI yang kaya antioksidan antisoanin. Antosianin pada ubi ungu bermanfaat untuk meningkatkan proliferasi bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus/Enterococcus spp. Kedua jenis bakteri ini merupakan probiotik yang baik untuk kesehatan saluran cerna.

Yang menarik adalah rencana pemanfaatan serangga sebagai sumber protein alternatif dalam program MBG. Para orangtua sebagian sudah harap-harap cemas bila ada menu serangga ini. Di seluruh pelosok Nusantara, mungkin hanya sebagian kecil lokasi-lokasi yang masyarakatnya mengonsumsi serangga.

Serangga mempunyai kandungan protein yang tinggi berkisar 15 persen atau lebih. Di Gunung Kidul dapat dijumpai orang berjualan belalang goreng; di Ciamis konon kita bisa mendapatkan jangkrik goreng; satai ulat sagu dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di Papua; botok tawon dijumpai di Banyuwangi, Kediri, dan Blitar. Namun, saya beranggapan bahwa tidak berarti di kota/wilayah tersebut semua masyarakatnya doyan makan serangga.

Saat ini, serangga mungkin menjadi sumber protein yang terlupakan. Mengapa? Karena keberadaan serangga tersebut semakin langka dan tidak pernah dibudidayakan. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kebutuhan pangan sumber protein Program MBG yang sedemikian besar akan bisa disuplai dari serangga yang tidak diketahui sentra produksinya. Sebagian serangga bahkan hanya muncul menjelang musim hujan.

Kemudahan mendapatkan pangan seperti telur, ikan, dan daging ayam menyebabkan kebiasaan mengonsumsi serangga semakin ditinggalkan. Makan serangga hanya sekadar klangenan (rasa rindu), karena dulu di masa sulit pangan masyarakat pernah mengonsumsi serangga sebagai pangan alternatif.

Bukan Sekadar Kandungan Gizi

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persoalan makan tentu bukan sekadar mempertimbangkan berapa kandungan gizi dalam seporsi makanan bergizi gratis. Lebih dari itu, konsumsi pangan adalah juga menyangkut soal budaya pangan, tabu makanan, status sosial makanan, dan halal-haram suatu jenis makanan. Oleh karena itu, sosialisasi pemanfaatan serangga dalam program MBG tidak cukup sekadar informasi yang disampaikan di media bahwa serangga akan menjadi alternatif sumber protein.

Serangga-serangga tertentu yang dianggap menjijikkan harus mendapatkan fatwa MUI tentang status kehalalannya. Tim Badan Gizi Nasional perlu mencermati data-data produksi serangga di berbagai kabupaten di Indonesia (kalau ada). Apakah benar bahwa memperoleh serangga sama mudahnya dengan beternak ayam, beternak burung puyuh, dan mencari ikan di lautan? Kalau kita hanya pernah mendengar bahwa di suatu kabupaten ada penjual jangkrik goreng, ini tidak berarti wilayah tersebut merupakan sentra produsen jangkrik, apalagi kemudian kita menyimpulkan bahwa masyarakat di kabupaten tersebut semua doyan makan jangkrik goreng.

Setiap program, apalagi berskala nasional, akan mempunyai nilai plus-minus dalam penyelenggaraannya. Misalnya, bila program MBG sudah bisa mencapai target atau sasaran 82,9 juta orang dan semua sekolah di seluruh pelosok Tanah Air sudah rutin mendapatkan kiriman makanan bergizi gratis, lalu bagaimana nasib penjual makanan di sekolah yang pasti akan mengalami penurunan omzet? Kalau peran SPPG diganti oleh para pemilik kantin di sekolah, sejauh mana mereka bisa memproduksi makanan dengan kandungan gizi yang terjamin dan keamanan pangan yang memenuhi syarat yang ditetapkan?

Kita semua berharap bahwa program MBG membawa manfaat besar bagi bangsa ini. Dari aspek asupan gizi anak yang lebih baik, ini semua akan berdampak positif terhadap status gizi dan kecerdasan anak. Dengan melibatkan UMKM penyedia bahan pangan, maka sirkulasi ekonomi lokal akan berputar lebih kencang. Sudah saatnya pemerintah memikirkan masalah gizi pada semua kelompok umur, bukan hanya anak balita tetapi juga siswa-siswa sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia.

Prof. Dr. Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial