Jakarta -
Kabar duka kembali datang dari rel kereta api. Pada Selasa, 8 April 2025 pukul 18.35 WIB, Kereta Commuter Line (CL) Jenggala relasi Indro-Sidoarjo mengalami kecelakaan setelah tertemper truk bermuatan kayu di perlintasan sebidang Jalan Perlintasan Langsung (JPL), antara Stasiun Indro dan Kandangan. Seorang asisten masinis menjadi korban dalam kecelakaan tragis tersebut.
Insiden ini menambah daftar panjang kecelakaan yang terjadi di perlintasan sebidang. Sepanjang 2023 hingga Maret 2024, PT KAI mencatat telah terjadi 414 kasus kecelakaan yang sebagian besar terjadi di perlintasan sebidang. Dari jumlah itu, 124 orang meninggal dunia, 87 luka berat, dan 110 luka ringan. Lebih memprihatinkan lagi, dari total 3.896 perlintasan sebidang yang tersebar di Indonesia, 1.093 di antaranya adalah JPL liar. Sebanyak 1.879 JPL (termasuk 971 JPL resmi) tidak dijaga. Artinya, hampir separuh titik lintasan berada dalam kondisi rawan tanpa pengawasan. Ini menjadi titik lemah dan sekaligus berpotensi menjadi arena maut jika tidak segera mendapatkan atensi bersama.
Tren peningkatan kecelakaan dalam lima tahun terakhir juga mengalami lonjakan signifikan. Pada 2020, tercatat 269 kecelakaan. Tapi di tahun 2024, jumlah itu naik jadi 337 kasus, dengan total 1.226 korban sepanjang 2020-2024. Dari angka tersebut, 450 orang meninggal dunia, 318 luka berat, dan 458 luka ringan. Ini menjadi tragedi bagi dunia transportasi nasional. Meningkatnya jumlah kasus dan berulangnya peristiwa serupa di berbagai kota menunjukkan bahwa perlintasan sebidang bukan sekadar titik potong antara rel dan jalan raya, akan tetapi titik lengah kebijakan, sistemdan indikasi rendahnya kesadaran berlalu lintas.
Revitalisasi Perlintasan Sebidang
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di balik deru kereta yang melintas dan kendaraan yang berlalu-lalang, terdapat sebuah titik kritis yang kerap luput dari perhatian bersama, yaitu perlintasan sebidang. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 94 Tahun 2018, perlintasan sebidang adalah titik perpotongan antara jalan raya dan jalur kereta api yang berada pada bidang tanah yang sama. Meski tampak sederhana, lokasi ini menyimpan potensi bahaya besar jika tidak dikelola dengan baik.
Dalam UU Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 94, secara gamblang dijelaskan bahwa demi keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup. Namun faktanya, banyak perlintasan sebidang di Indonesia yang tidak memenuhi syarat keselamatan. Beberapa tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas, tidak dijaga oleh petugas, hanya dilengkapi rambu tanpa alat bantu pengaman seadanya, tidak dilengkapi palang otomatis atau sinyal suara.Bahkan, ada yang benar-benar dibiarkan tanpa penjagaan, rambu, ataupun perangkat pengaman apapun. Kondisi ini menjadikan perlintasan sebidang sebagai titik rawan kecelakaan yang mengancam nyawa setiap harinya.
Setiap kecelakaan di perlintasan sebidang menjadi etalase wajah sistem transportasi nasional. Padahal, keselamatan seharusnya menjadi simpul penghubung antar moda transportasi, bukan titik pemutus nyawa. Karena itu, kondisi ini menuntut revitalisasi dan perhatian serius dari semua pihak. Revitalisasi perlintasan sebidang tak sekedar persoalan teknis yang menjadi tanggung jawab PT KAI, akan tetapi juga soal membangun budaya keselamatan yang membutuhkan sinergi semua pihak.
Masih banyak menganggap bahwa pengamanan perlintasan kereta api sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT KAI. Padahal, jika merujuk pada aturan yang berlaku, anggapan tersebut kurang tepat. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 94 Tahun 2018 Pasal 2, ditegaskan keselamatan perjalanan kereta api dan keselamatan masyarakat pengguna jalan bukanlah tanggung jawab KAI, melainkan tanggung jawab pemerintah sesuai status jalan yang bersangkutan.
Aturannya sangat jelas, jika perlintasan berada di jalan nasional, maka yang bertanggung jawab adalah Menteri. Jika berada di jalan provinsi, maka tanggung jawab itu ada di tangan gubernur. Untuk jalan kabupaten, kota, dan desa, yang berwenang adalah bupati atau wali kota. Sementara itu, jika jalan tersebut milik suatu badan hukum atau lembaga, maka merekalah yang wajib mengelolanya.
Sementara itu, data menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan lalu lintas terjadi di jalan daerah. Ini sejalan dengan fakta bahwa lebih dari 90 persen status jalan di Indonesia merupakan jalan provinsi, kabupaten, dan kota.Dengan rasio panjang jalan daerah yang begitu dominan, maka pemerintah daerah harus mengambil peran yang lebih aktif dan proaktif. Dengan demikian, penting untuk meluruskan persepsi publik agar semua pihak memahami posisi dan tanggung jawab masing-masing secara proporsional.
Saatnya Menata Ulang Melalui Pendekatan Kolaboratif
Peningkatan keselamatan perlintasan sebidang harus dilihat sebagai upaya kolaboratif, tidak sekadar soal tanggung jawab administratif, tetapi komitmen moral untuk melindungi nyawa masyarakat. Kita sudah kehilangan terlalu banyak. Jangan biarkan nama-nama korban hanya jadi angka dalam statistik tahunan. Setiap tragedi membuat kita terperangah, namun tak mereduksi jumlah kasus kecelakaan. Perlintasan sebidang adalah bom waktu yang menunggu meledak.Percikan-percikannya sudah lalu lalang menghiasi beranda media informasi. Fenomena ini menjadi ancaman bencana yang senantiasa menghantui sistem transportasi nasional.
Karena itu, saatnya melihat perlintasan bukan sebagai bagian dari jalur kereta semata, tapi sebagai cermin tanggung jawab kita bersama. Selama palang masih tidak menutup sempurna, selama rel masih melintasi permukiman tanpa pengawasan, maka nyawa akan terus ada di ujung palang.
Penataan perlintasan sebidang merupakan tanggung jawab bersama. Kita tak bisa terus berjalan sendiri-sendiri. Masalah perlintasan sebidang adalah persimpangan tanggung jawab lintas sektor. Perlu ada pendekatan kolaboratif yang menyatukan kekuatan berbagai sektor yaitu pemerintah pusat,pemerintah daerah, PT KAI, swasta, media, perguruan tinggi,penegak hukum, dan masyarakat.
Upaya ini dapat dimulai dengan mengidentifikasi setiap titik perlintasan yang dipetakan risikonya secara berkala sehingga dapat disiapkan mitigasinya. Perlintasan yang tidak layak dan rawan, segera ditutup atau dijadikan perlintasan resmi melalui pembangunan flyover atau underpass. Sementara itu, perlintasan sebidang yang masih dibutuhkan oleh masyarakat, ditingkatkan menjadi perlintasan resmi yang dilengkapi dengan palang otomatis, sinyal suara, dan petugas jaga. Langkah ini perlu diupayakan sebagai tanggung jawab kemanusiaan bersama.
Sementara, pemerintah daerah dapat membentuk Forum Keselamatan Perlintasan, berisi perwakilan pemerintah, kepolisian, RT/RW setempat, dan PT KAI. Tim ini bertugas memetakan risiko, mengklasifikasikan tingkat bahaya, serta merancang intervensi sesuai prioritas. Selanjutnya, dilaksanakan audit bersama setiap enam bulan, dan hasilnya diumumkan secara terbuka ke publik.
Di sisi lain, peningkatan literasi kesadaran berlalu lintas tetap terus digelorakan melalui pendidikan formal dan non formal. Setiap sekolah dan masyarakat di setiap titik-titik kritis perlintasan sebidang, mendapat edukasi intensif dan menjadikan stakeholder lokal sebagai agen keselamatan. Kesadaran terhadap keselamatan berlalu lintas harus ditanamkan sejak dini.
Para pemuka agama juga punya peran penting. Membangun kesadaran kolektif yang dikemas dengan pendekatan spiritual memungkinkan proses afirmasi yang lebih mudah diterima bagi masyarakat. Dukungan dari swasta juga krusial yang dapat dihadirkan melalui program CSR untuk melengkapi infrastruktur keselamatan transportasi.Sementara, perguruan tinggi dan media memainkan peran dalam mengedukasi publik, riset dan inovasi teknologi keselamatan secara berkelanjutan.
Di saat yang sama, Kepolisian lalu lintas dan Kementerian Perhubungan menggelar razia terpadu di titik rawan pelanggaran, tapi bukan semata untuk menindak, melainkan untuk mendidik. Pengendara yang melanggar tidak hanya ditilang, tapi juga diminta mengikuti kelas singkat tentang keselamatan lalu lintas dan dampaknya terhadap nyawa. Dan tentu saja, semua itu hanya bisa berjalan jika ada komitmen politik dan keberpihakan anggaran. Karena keselamatan adalah hak warga negara, bukan pilihan.
Berbagai upaya di atas diharapkan mampu mengakselerasi kesadaran publik sehingga dapat mereduksi jumlah kasus kecelakaan lalu lintas khususnya di perlintasan sebidang. Kita sering menyalahkan pengguna jalan. Tentu, pengendara yang nekat menembus palang harus ditindak tegas. Tapi dalam kacamata sosiologis Durkheim, kesadaran kolektif yakni nilai bersama yang menuntun perilaku warga, tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia muncul dan menguat saat sistem sosial turut mendukungnya. Artinya, disiplin masyarakat tak bisa tumbuh jika sistem sosial, ketersediaan infrastruktur dan regulasi tak hadir sebagai pendampingnya.Menuntut masyarakat taat, sementara sektor lain abai, adalah bentuk ketimpangan yang membahayakan. Solusinya tak bisa dikerjakan sendirian. Kita butuh pendekatan kolaboratif dan lintas sektor, karena persoalan perlintasan sebidang adalah simpul dari masalah transportasi, tata ruang, kesadaran lalu lintas, dan infrastruktur yang membutuhkan urun tangan bersama.
Dr. Endang Tirtana, Peneliti Senior Maarif Institute dan Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis Pimpinan Pusat Muhammadiyah
(maa/maa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini