Jakarta -
Geoekonomi kini menjadi wajah baru perebutan supremasi global. Jika dominasi dalam geopolitik klasik ditentukan oleh kekuatan militer dan ruang fisik, seperti yang digaungkan Jerman pada Perang Dunia II, maka abad ke-21 menghadirkan logika baru: kekuasaan kini bergantung pada algoritma, kabel bawah laut, dan pengaruh atas standar teknologi global.
Jika geopolitik menekan dengan militer, geoekonomi menggunakan instrumen ekonomi: sanksi, kontrol rantai pasok, dominasi teknologi, dan arsitektur data. Seperti dicatat Robert Blackwill dan Jennifer Harris dalam War by Other Means (2016), kekuatan ekonomi kini menjadi alat diplomasi koersif. Muncullah geoekonomi digital, penggunaan kekuatan digital dan infrastruktur teknologi sebagai senjata kebijakan luar negeri.
Strategi ini tampak jelas dalam kebijakan Amerika Serikat sejak era Donald Trump. Pada 2019, Huawei dan perusahaan Tiongkok lainnya masuk Entity List. Pada April 2025, bea masuk produk dari berbagai negara dilipatgandakan. Di balik narasi "perdagangan adil", penguasaan digital makin nyata; dunia pun terbelah dalam dua kutub ekosistem digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Transformasi digital tak lagi netral. Ia menjadi ajang kontestasi geopolitik dan geoekonomi. Ketika negara adidaya menancapkan pengaruh melalui 5G, enkripsi, dan platform digital, negara berkembang termasuk Indonesia ditantang memilih: berdaulat atau terseret dalam pusaran global.
Posisi Indonesia
Di tengah arus deras polarisasi digital dunia, posisi Indonesia masih belum sepenuhnya jelas. Transformasi digital nasional terus berlangsung, namun lebih banyak dikelola dalam logika teknokratik, belum terbingkai sebagai strategi ketahanan negara. Pembangunan pusat data, digitalisasi layanan publik, dan perluasan infrastruktur jaringan memang terus didorong. Namun, tanpa fondasi geopolitik yang kuat, arah kebijakan digital Indonesia rawan limbung, mudah terseret kepentingan kekuatan besar.
Padahal Indonesia memiliki modal besar untuk memainkan peran penting. Indonesia bukan sekadar pasar digital raksasa. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, posisi strategis di Indo-Pasifik, dan nilai ekonomi digital yang diperkirakan mencapai USD 82 miliar pada 2023 serta USD 760 miliar pada 2030 (Warta Ekonomi, 7/11/2023), Indonesia seharusnya tampil sebagai kekuatan regional dalam menegosiasikan arsitektur digital global yang lebih adil dan setara.
Namun, tanpa ketahanan digital yang kokoh potensi besar tersebut berisiko menjadi celah kerentanan nasional di tengah rivalitas kekuatan teknologi global. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Realitasnya, terlalu banyak kebijakan digital berjalan parsial, sektoral, bahkan tumpang tindih. Di sisi lain, belum ada kerangka nasional yang secara tegas menempatkan kedaulatan digital sebagai bagian dari visi kebangsaan yang utuh.
Di tengah perubahan global tersebut, Indonesia tak bisa lagi mengelola transformasi digital sekadar sebagai proyek modernisasi birokrasi. Sebab pada era geoekonomi digital yang dipertaruhkan bukan hanya efisiensi layanan, tetapi arah masa depan bangsa. Indonesia ditantang memilih: membangun kedaulatan digital atau tetap pasif di pusaran global.
Reposisi Besar
Untuk menghadapi tantangan geopolitik dan geoekonomi digital yang kian kompleks, Indonesia membutuhkan reposisi besar dalam tata kelola transformasi digital nasional. Bukan sekadar membangun infrastruktur atau mengejar inovasi, melainkan menyusun strategi menyeluruh yang menyatukan dimensi keamanan, ketahanan, dan kedaulatan.
Langkah pertama, mengharmonisasi berbagai regulasi yang tumpang tindih. Saat ini, sejumlah undang-undang seperti UU ITE, UU Pertahanan, UU TNI, UU Polri hingga RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) masih berjalan parsial dan sektoral. Dibutuhkan kerangka hukum terpadu yang menjabarkan secara jelas pembagian tugas dan sinergi antarlembaga dalam menjaga ruang digital Indonesia.
Langkah kedua, memfungsikan kembali lembaga-lembaga strategis nasional (Wantannas, Lemhannas, dan Wantiknas) sebagai motor arah kebijakan digital. Lembaga-lembaga ini dibutuhkan untuk menjamin kesinambungan kebijakan, menjaga disiplin implementasi, serta memiliki kemampuan mengoordinasikan respons Indonesia di tengah tekanan global yang terus berubah.
Dalam merespons eskalasi geoekonomi digital dan meningkatnya ancaman terhadap kedaulatan data nasional, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan kementerian teknis. Diperlukan konsolidasi kepemimpinan lintas sektor dan lintas periode pemerintahan, yang dapat diwujudkan melalui tiga lembaga di atas.
Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) memiliki dasar hukum dalam Pasal 15 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Perpres No. 101 Tahun 2022. Lembaga ini membantu Presiden menetapkan kebijakan ketahanan. Dalam konteks ancaman siber, Wantannas perlu diberi mandat eksplisit untuk menyusun strategi ketahanan siber sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional.
Sebagai pelengkap fungsi strategis tersebut, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), melalui Perpres No. 98 Tahun 2016, berperan sebagai think tank dalam merumuskan kebijakan nasional. Lemhannas telah mengembangkan kerangka Asta Gatra sebagai paradigma ketahanan nasional. Ke depan, kajian Lemhannas perlu mencakup kedaulatan teknologi dan informasi sebagai unsur utama pertahanan-keamanan digital.
Sementara itu, dalam dimensi pengembangan kebijakan lintas sektor, Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas), dibentuk lewat Keppres No. 20 Tahun 2006, merupakan forum lintas sektor untuk memberi masukan strategis. Namun, kontribusinya nyaris tak terdengar. Wantiknas perlu direvitalisasi agar mampu menjembatani sinergi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil dalam merumuskan arah transformasi digital nasional.
Ketiga lembaga tersebut jika diperkuat secara institusional dan dikoordinasikan secara sinergis, dapat menjadi pilar kepemimpinan digital nasional --membangun tata kelola transformasi digital yang berdaulat dan berorientasi jangka panjang. Tata kelola ini harus mampu memastikan kemandirian teknologi nasional, memperkuat posisi Indonesia di forum global, dan menjawab tantangan lintas generasi.
Indonesia tidak boleh ragu mengambil posisi penting dalam pusaran geoekonomi digital global. Era netralitas telah berlalu; yang tersisa hanyalah pilihan antara membangun kedaulatan digital atau terus menjadi medan kompetisi kekuatan asing. Dengan mengonsolidasikan peran Wantannas, Lemhannas, dan Wantiknas, serta memperkuat dasar hukum transformasi digital, Indonesia dapat keluar dari bayang-bayang ketergantungan dan mulai memimpin dari dalam.
Saat data menjadi senjata, yang dibutuhkan bukan hanya regulasi, tetapi visi kebangsaan yang dilandasi integritas dan dirancang untuk ketahanan jangka panjang.
Taufiq A Gani peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), alumni PPRA 65 Lemhannas, penulis buku 'Kedaulatan Data Digital untuk Integritas Bangsa' (Syiah Kuala University Press, 2023), ASN di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini