Jakarta -
Pemerintah Kamboja dituduh sedang menargetkan para jurnalis, baik lokal maupun asing, yang meliput isu-isu sensitif. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah peliputan berita di negara Asia Tenggara tersebut menjadi semakin berisiko?
Dalam salah satu insiden terbaru, jurnalis asal Inggris, Gerald Flynn, ditolak masuk kembali ke Kamboja di Bandara Internasional Siem Reap bulan lalu setelah berlibur singkat di negara tetangga, Thailand.
Flynn mengatakan, pejabat imigrasi Kamboja mengatakan visa miliknya palsu dan ia "dilarang masuk secara permanen" ke Kamboja. Ia kemudian dipaksa naik pesawat kembali ke Thailand.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Flynn merupakan staf penulis di Mongabay, sebuah situs berita konservasi yang berbasis di Amerika Serikat. Ia baru-baru ini berkontribusi dalam sebuah film dokumenter dari media Prancis tentang tantangan lingkungan di Kamboja, di mana temuan itu disebut pemerintah Kamboja sebagai "berita palsu."
Ancaman bahaya peliputan berita di Kamboja
Nathan Paul Southern, seorang jurnalis sekaligus direktur pelaksana di Eyewitness Project, sebuah organisasi jurnalisme investigatif, secara rutin melaporkan berita di Kamboja dalam beberapa tahun terakhir. Ia memperingatkan, segala bentuk peliputan yang mempermalukan negara itu bisa berbahaya.
"Di Kamboja, hampir semua orang menyensor diri sendiri, berhenti dari profesinya, atau melarikan diri. Melaporkan isu-isu lingkungan itu sangat berbahaya, tetapi meliput krisis lain yang mempermalukan pemerintah juga bisa membuat seseorang terbunuh atau dipenjara," katanya kepada DW.
Pada Desember tahun lalu, jurnalis isu lingkungan asal Kamboja, Chhoeung Chheng, ditembak saat sedang menyelidiki pembalakan liar atau penggundulan hutan ilegal di Provinsi Siem Reap. Ia kemudian meninggal akibat luka yang dideritanya. Pihak berwenang mengklaim telah menangkap pelaku penembakan dan menyatakan bahwa insiden itu adalah perselisihan pribadi.
Kematian Chhoeung mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi satu dekade sebelumnya, ketika jurnalis Tiang Try ditembak dan dibunuh saat sedang menyelidiki pembalakan liar di Kamboja.
Pihak berwenang Kamboja juga dituduh menindak para advokasi aktivis lingkungan dengan menjatuhkan hukuman penjara terberat.
Pada Juli 2024, 10 anggota kelompok aktivis Mother Nature dijatuhi hukuman enam hingga delapan tahun penjara atas tuduhan bersekongkol melawan negara Kamboja.
Para aktivis lingkungan itu sedang menyelidiki pencemaran limbah di Sungai Tonle Sap di Phnom Penh dan telah lama berkampanye menentang perusakan lingkungan di Kamboja, dengan tuduhan terkait dengan korupsi.
"Pemerintah Kamboja semakin agresif terhadap segala bentuk kritik, sekecil apa pun, dan bagi banyak orang hal ini dapat mengancam nyawa atau mengubah hidup mereka secara drastis, baik bagi jurnalis yang berani dan berdedikasi seperti Gerry maupun bagi masyarakat biasa yang hanya mengungkapkan kekhawatirannya di Facebook," kata Southern.
"Jurnalis, aktivis, dan pekerja nonpemerintah asal Kamboja yang tidak memilih meninggalkan negara ini dengan berani mengambil risiko paling besar, tetapi mereka justru paling sedikit menerima dukungan dan perhatian internasional."
Memenjarakan para jurnalis
Pada November 2024, Mech Dara, seorang jurnalis terkenal asal Kamboja, mengumumkan bahwa ia memilih berhenti dari profesinya dua bulan setelah ditangkap dan dihukum atas tuduhan penghasutan setelah menerbitkan laporan yang mengungkap skandal penipuan dan korupsi online. Dara menghabiskan lebih dari 30 hari dalam tahanan praperadilan dan masih menghadapi hukuman hingga dua tahun penjara.
Tuduhan serupa juga dialami oleh jurnalis asal Kamboja lainnya, Sok Oudom, yang dijatuhi hukuman 20 bulan penjara pada 2020, karena dianggap telah menyiarkan berita palsu dengan tujuan menimbulkan hasutan.
Sejak 2017, beberapa media di Kamboja juga dicabut izin penyiarannya, termasuk Voice of Democracy (VOD), salah satu media independen terakhir di Kamboja.
Akibatnya, semakin banyak warga Kamboja yang beralih ke media sosial untuk mendapatkan asupan berita. Namun, mengunggah di media sosial pun juga berisiko bagi para jurnalis.
Pada 2021, Khou Piseth didakwa atas tuduhan penghasutan setelah mengkritik pejabat di media sosial Facebook terkait kebijakan COVID-19, menurut laporan berita. Pada tahun yang sama, Youn Chhiv, yang mengelola situs Koh Kong Hot News, dijatuhi hukuman satu tahun penjara setelah ia "mengunggah komentar yang menimbulkan keresahan" di Facebook, menurut Vey Phearom, wakil jaksa di pengadilan provinsi Koh Kong.
Serangan terhadap jurnalisme
Aliansi Jurnalis Kamboja (CamboJA), sebuah asosiasi jurnalis berbasis keanggotaan yang bersifat netral secara politik, telah mencatat setidaknya ada 14 kasus di mana jurnalis menjadi target secara hukum atau fisik dari Juli hingga September 2024.
Nop Vy, Direktur Eksekutif CamboJA, mengatakan bahwa pemerintah Kamboja semakin tidak toleran terhadap jurnalisme investigatif.
"Kami (telah) menemukan bahwa hukum pidana (Kamboja) lebih sering (digunakan) untuk melawan jurnalis, bukan hukum perdata atau pers, dan itu membuat suasana yang menakutkan bagi pers," katanya kepada DW melalui email.
"Keputusan pemerintah Kamboja untuk menolak masuknya jurnalis asal Inggris, Gerald Flynn, ke Kamboja dan melarangnya dari negara ini adalah serangan terang-terangan terhadap jurnalisme dan menjadi contoh lain dari ketidaktoleranan otoritas Kamboja terhadap jurnalisme yang kritis dan investigatif."
Menanggapi kekhawatiran terkait kebebasan pers itu, Kementerian Informasi Kamboja menegaskan komitmen pihaknya untuk terus melindungi jurnalis dan menjamin kebebasan pers di negara itu.
Dalam pernyataan yang dimuat oleh The Phnom Penh Post mengenai kondisi media di Kamboja pada 2024, seorang juru bicara kementerian bertekad untuk terus menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para jurnalis di Kamboja, mendukung pengembangan profesional mereka, dan menegakkan kebebasan pers.
"Kami mendesak semua jurnalis untuk bekerja dengan jujur, integritas, dan tanpa keberpihakan, menjaga martabat dan disiplin, serta mengedepankan kepentingan publik, mematuhi standar etika, dan menghormati prinsip-prinsip jurnalistik guna meningkatkan nilai dan kualitas jurnalisme serta keberlanjutan sektor media di Kamboja," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Dinasti yang berkuasa
Partai Rakyat Kamboja (CPP) telah berkuasa sejak 1979 di negara itu. Banyak kritikus menyebut para pemimpin Kamboja ini sebagai "Dinasti Hun."
Mantan Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen telah memimpin negara ini selama hampir empat dekade, sebelum akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada putranya, PM Hun Manet, pada 2023.
Di bawah kepemimpinan keduanya, pemerintah Kamboja semakin memperketat cengkeramannya dengan melarang adanya oposisi politik, menargetkan media independen, serta menindak para kritikus dan pembangkang baik di dalam maupun luar negeri.
Aleksandra Beilakowska, manajer advokasi di Reporters Without Borders (RSF), memperingatkan bahwa Kamboja telah menekan para media independen untuk mengendalikan opini publik dan semakin memperkuat kekuasaan dinasti itu.
"Dengan menekan jurnalis, pemerintah Kamboja mengirimkan pesan menakutkan dan mengancam siapa pun yang masih mencoba meminta pertanggungjawaban dari para penguasa," katanya.
Kamboja kini berada di peringkat ke-151 dari 180 negara dan wilayah, dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia laporan RSF. Posisi Kamboja itu turun sembilan peringkat dalam dua tahun terakhir.
Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu