Jakarta -
Dalam sambutan di suatu acara, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengungkapkan bahwa dirinya telah meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) untuk menghapus sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Hal ini cukup mengejutkan mengingat akhir tahun ajaran masih lama. Pro dan kontra pun muncul.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) segera merilis survei yang kemudian berujung pada rekomendasi agar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tidak tergesa-gesa memutuskan. Sementara itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengusulkan perlunya kajian akademik yang objektif terkait gagasan ini.
Di sisi lain, Mendikdasmen menyatakan bahwa PPDB dengan sistem zonasi terus dikaji, sedangkan Ombudsman merespons cepat dengan menyebutkan bahwa sistem zonasi memiliki relevansi untuk mendorong pemerataan kualitas dan fasilitas pendidikan.
Masih Meninggalkan Residu
Semenjak diimplementasikan pada 2017 lalu, kebijakan zonasi dalam PPDB memang acap memantik persoalan menjelang tahun ajaran baru. Sistem yang dirilis melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 dan kemudian diperkuat oleh Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 ini dinilai masih meninggalkan residu ketidakpuasan pada sisi transparansi hingga akuntabilitas. Bahkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang semestinya turut membangun sistem pendukung yang kokoh pun belum berhasil menutup celah yang pada akhirnya masih diisi oleh praktik-praktik yang dinilai melukai rasa keadilan.
Dicermati dari beberapa pemberitaan, hingga akan menginjak tahun kedelapan diimplementasikan, tidak sedikit lapisan masyarakat di tataran akar rumput masih mengeluhkan kesulitan hingga kekhawatiran mengikuti proses PPDB dengan sistem zonasi. Selain dinilai perlu strategi menakar peluang dari berbagai pilihan jalur yang disediakan, minimnya sosialisasi terhadap dinamika penyesuaian turut berkontribusi pada pemahaman yang tidak utuh.
Dalam kasus tertentu, bahkan hal ini masih diperparah oleh kegagapan sebagian masyarakat mengoptimalkan aplikasi teknologi. Alhasil, meskipun berbagai informasi telah disediakan hingga didukung oleh kemudahan aksesibilitas, berbagai persoalan masih ditemui baik dari aspek teknis seperti gangguan pada server hingga aspek non teknis seperti pungli. Mirisnya permasalahan itu terindikasi terjadi di berbagai tingkatan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Hal ini kuat mengimplikasikan bahwa instrumen evaluasi yang transparan dan akuntabel adalah hal mendesak.
Realitanya, dalam implementasi sistem zonasi PPDB tidak jarang ditemui praktik-praktik kecurangan. Praktik titip kartu keluarga adalah salah satunya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian masyarakat memanfaatkan celah ini. Padahal praktik manipulatif seperti ini kontraproduktif terhadap landasan gagasan kebijakan zonasi PPDB yaitu menghapuskan "favoritisme" dan "kastanisasi" di sekolah negeri. Satu catatan penting, tindak lanjut untuk mengatasi fenomena masih dipertanyakan.
Lainnya adalah marak keluhan masyarakat terhadap praktik yang memanfaatkan pengaruh figur tertentu hingga kuasa uang untuk mendapatkan bangku di sekolah negeri yang diinginkan. Praktik yang dalam pemberitaannya pernah populer disebut "jalur siluman" ini tidak hanya memantik keresahan, melainkan juga mengkhianati transparansi dan akuntabilitas dan berujung pada terkesampingkannya hak calon peserta didik atas keadilan.
Menjawab Rumusan Konkret
Kebijakan zonasi PPDB sedianya dilahirkan dari gagasan baik untuk mengakselerasi akses, layanan hingga kualitas pendidikan yang merata. Wajar saja ada yang kontra dan merasa dirugikan, sementara lainnya mendukung karena diuntungkan. Terlepas dari sikap masyarakat yang masih terbelah dalam implementasinya, apresiasi sebagian masyarakat melalui FSGI, P2G hingga Ombudsman terhadap langkah berani ini semestinya adalah dukungan moril bagi pelaksana untuk bergerak mencapai tujuannya.
Persoalannya, pada implementasinya yang akan memasuki tahun ke delapan, hasil pengukuran capaian kebijakan ini belum kunjung dipublikasikan secara gamblang dan mudah dipahami masyarakat luas. Apalagi, jika merujuk pada hasil survei skor Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) yang dipublikasikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada akhir 2023 lalu, justru terungkap tren penurunan skor PISA siswa sekolah menengah di Indonesia yang masih berlangsung pada 2022. Oleh karenanya, sekalipun diproyeksikan sebagai kebijakan jangka panjang, instrumentasi penilaian yang spesifik mengukur capaian implementasi kebijakan zonasi PPDB ini memang mendesak.
Pada akhirnya, berangkat dari prinsip bahwa setiap kebijakan berlandaskan filosofi hingga tanggung jawab moral, serta perumusan kebijakan semestinya dilandasi kajian ilmiah yang relevan, hasil implementasi kebijakan setidaknya perlu menjawab rumusan konkret permasalahan yang paling mendasar. Sulit memang mengamini bahwa sistem dan ekosistem pendidikan bangsa kita saat ini selaras dengan visi Indonesia Emas. Oleh karenanya, tantangan Kemendikdasmen adalah meyakinkan publik melalui pembuktian terukur bahwa kebijakan yang diterapkan telah berimpak pada kemanfaatan, bukan bersirkulasi pada efek samping yang kontraproduktif. Bagaimanapun juga, menyoal korelasi kebijakan zonasi PPDB dan akselerasi pemerataan kualitas pendidikan adalah bagian dari pemikiran yang kritis.
Achilleus Hermawan Astyanto akademisi Universitas Sanata Dharma
(mmu/mmu)