Jakarta -
Pemerintah akan melakukan evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) setiap harinya. Pemilihan menu, bahan makanan, dan keseimbangan nutrisi akan menjadi bahan evaluasi oleh Badan Gizi Nasional (BGN).
Evaluasi BGN itu sudah tepat, terlebih jika hasilnya bisa mengakomodasi makanan lokal dan makanan tradisional dalam MBG. Misalnya, tahu, tempe, daun kelor, dan ikan, bisa menggantikan susu. Namun kebijakan itu harus disertai edukasi kepada masyarakat untuk menghindari polemik yang tidak perlu.
Saya akan mencoba mengulas hal itu, namun dengan perspektif yang berbeda. Yakni, perspektif pentingnya membentuk pola makan manusia (human diet) yang sehat: mengonsumsi makanan lokal dan tradisional. Selain, perspektif saya sebagai penyintas malnutrisi (malnutrition) dari pelosok Ngawi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semoga tulisan ini bisa membuat masyarakat lebih teredukasi; mereka memiliki pola makan yang sehat: mencintai makanan lokal dan makanan tradisional.
Pola Makan
Menurut World Health Organization (WHO), pola makan manusia diartikan sebagai kombinasi dari makanan-makanan yang biasa dimakan manusia. Pola makan manusia ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kebutuhan nutrisi, ketersediaan makanan, adat istiadat dan kepercayaan yang diyakini, serta nutrisi seimbang.
Di samping pola makan, preferensi (kesukaan) anak-anak sekolah terhadap makanan yang diberikan perlu mendapat perhatian utama dalam evaluasi MBG. Ketidaksesuaian menu makanan dengan preferensi peserta MBG, bisa mengakibatkan tujuan MBG tidak tercapai.
Misalnya anak-anak sekolah yang pola makannya tidak terbiasa dengan susu, lalu diberi susu. Kemungkinannya, susu itu akan diabaikan, tidak diminum. Penyebabnya, anak-anak itu tidak terbiasa dengan rasa dan aroma susu. Fenomena tersebut, menurut pengalaman saya, lazim ditemukan di kampung-kampung. Beda halnya jika mereka diberi tempe, tahu, dan ikan goreng, serta sayur daun kelor. Anak-anak kampung itu sudah terbiasa mengonsumsinya.
Pemilihan makanan lokal dan tradisional menjadi menu MBG akan membentuk pola makan yang baik sejak dini. Beberapa kriteria, yaitu: 1) mudah didapatkan (bahan makanan lokal), 2) memenuhi kebutuhan nutrisi, 3) sesuai adat istiadat, kepercayaan atau agama yang dianut, dan 4) nutrisinya seimbang—memenuhi semua kebutuhan nutrisi dan energi untuk tumbuh dan tetap sehat.
Sebenarnya, itu semua telah dicontohkan nenek moyang, terkumpul dalam sebuah kearifan lokal (local wisdom).
Menurut Chatherine Shanahan dan Luke Shanahan dalam bukunya Deep Nutrition: Why Your Genes Need Traditional Food yang terbit pada 2017, makanan tradisional bisa digunakan nenek moyang untuk merekayasa tubuh manusia (body engineering). Misalnya, agar badan lebih tinggi, proporsional, sehat, dan kuat.
Di samping melakukan rekayasa tubuh manusia secara fisik, mereka juga bisa merekayasa pikiran/mental manusia melalui makanan. Bagaimana caranya? Mereka mengoptimalkan fungsi gen melalui makanan yang dikonsumsi.
Gen merupakan unit dasar yang mewariskan sifat manusia dan menentukan karakteristik fisik dan juga kerentanan terhadap penyakit. Setiap makanan yang dikonsumsi oleh manusia akan mempengaruhi fungsi gen. Jika makanan yang dikonsumsi kualitasnya baik dan jumlahnya mencukupi, gen manusia akan berfungsi dengan baik.
Jadi, kualitas dan kuantitas makanan sangat mempengaruhi optimalisasi fungsi gen manusia. Fungsi gen yang teroptimalkan dengan baik, bisa membuat fisik, pikiran, atau mental manusia sehat.
Teori itu didukung oleh hasil penelitian terkini para ilmuwan mikrobiota usus. Mereka menemukan adanya keterkaitan antara kualitas dan kuantitas makanan dengan kondisi mikrobiota usus dan kesehatan fisik, pikiran/mental manusia. Para ilmuwan mendeteksi keberagaman (diversity), keberlimpahan (abundance), dan keseimbangan (balance) dari mikrobiota usus.
Normalnya, mikrobiota dalam usus manusia akan sangat beragam, jumlahnya banyak, dan keseimbangannya terjaga. Namun jika kondisi mikrobiota usus manusia mengalami dysbiosis --keberagamannya kurang, jumlah dan keseimbangannya tidak terjaga-- itu indikasi kesehatannya terganggu.
Membentuk Sejak Dini
Makanan lokal dan tradisional di usus akan diuraikan oleh mikrobiota melalui proses fermentasi. Salah satu hasil fermentasi adalah asam-asam lemak berantai pendek (short chain fatty acids): asam butirat (butyric acid), asam propionate (propionic acid), dan asam asetat (acetic acid). Asam-asam lemak rantai pendek itu bisa membantu menjaga kesetimbangan usus (gut homeostasis) dan mampu mencegah kebocoran usus (leaky gut).
Kebocoran usus bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti inflamasi, obesitas, diabetes melitus tipe-2, bahkan kanker. Di samping kesehatan fisik, mikrobiota usus juga mempengaruhi kesehatan otak, pikiran, atau mental manusia. Itu sesuai dengan review article yang diterbitkan Jurnal Nature pada 16 Februari 2024 oleh Jian Sheng Loh dan koleganya: Microbiota-gut-brain axis and its therapeutic applications in neurodegenerative diseases.
Kesimpulannya, pola makan manusia harus baik, yakni biasa mengonsumsi makanan lokal dan tradisional. Itu bisa menyebabkan kondisi mikrobiota usus baik dan bisa menjadi indikator bahwa kesehatannya juga baik. Semoga BGN mengakomodasi makanan lokal dan tradisional dalam MBG, sehingga kebijakan itu bisa membentuk pola makan yang baik anak-anak sekolah sejak dini.
Boimin Direktur Eksekutif Banana Institute Center for Food Policy and Food for Health
(mmu/mmu)