Jakarta -
Seorang warga negara Indonesia ditahan oleh aparat imigrasi Amerika Serikat beberapa hari setelah visa pelajarnya dicabut. Aparat AS mengatakan langkah itu ditempuh karena WNI tersebut berpartisipasi dalam demonstrasi pada 2021 terkait pembunuhan seorang pria kulit hitam oleh polisi AS.
Aditya Wahyu Harsono ditangkap oleh petugas Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) di tempat kerjanya di Marshall, Negara Bagian Minnesota, pada 27 Maret 2025, menurut istri dan dokumen pengadilan yang diajukan oleh pengacaranya.
Visa pelajar F-1 miliknya telah dicabut empat hari sebelumnya. Namun, pencabutan itu tidak diberitahukan kepada Aditya, kata istri dan pengacaranya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria berusia 33 tahun itu kini ditahan dalam fasilitas penjara ICE di Negara Bagian Minnesota, menurut laman pencari lokasi di situs web lembaga tersebut.
Harsono pertama kali datang ke AS satu dekade lalu dan telah berada di negara itu secara legal menggunakan visa pelajar, kata istrinya, seorang warga negara AS bernama Peyton Harsono.
Menurut Peyton, dirinya telah mengajukan permohonan 'Green Card' alias Kartu Hijau bagi suaminya. Kartu Hijau merupakan dokumen identitas yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki izin tinggal tetap di Amerika Serikat.
Sarah Gad, selaku pengacara bagi Aditya, mengatakan kliennya telah mempertahankan status legal sejak datang di AS dan permohonan 'Green Card' seharusnya memungkinkan dia untuk tinggal di negara itu.
"Bahkan dengan visa pelajarnya yang dicabut, dia masih diizinkan untuk tetap berada di AS selagi petisi imigrasinya diproses," kata Gad dalam email kepada media AS, Star Tribune.
Siapa Aditya Harsono?
Aditya Harsono mengenyam pendidikan sarjana dan pascasarjana di Southwest Minnesota State University (SMSU), sebagaimana dikonfirmasi seorang juru bicara universitas tersebut.
Aditya menyelesaikan gelar master dalam bidang bisnis pada tahun 2023, katanya.
Saat di SMSU, ia dipercaya untuk menjadi manajer rak makanan di kampus, tulis salah satu profesornya dalam sebuah surat yang mendukung Aditya untuk menjadi warga negara AS.
Aditya kemudian bekerja sebagai manajer rantai pasokan di Marshall melalui Pelatihan Praktik Opsional, sebuah program yang memungkinkan mahasiswa internasional mempunyai izin tinggal resmi setelah lulus untuk bekerja di bidang studi mereka.
Aditya menikah dengan Peyton dan pasangan memiliki seorang putri berusia delapan bulan.
Bagaimana rekam jejak Aditya?
Dokumen pengadilan menyebutkan alasan resmi yang diberikan untuk menahan Aditya adalah karena batas waktu visa pelajarnya telah kadaluarsa dan pelanggaran ringan. Visa pelajarnya telah dicabut empat hari sebelum dia ditangkap pada bulan Maret.
Namun, Peyton Harsono, 24 tahun, meyakini suaminya menjadi sasaran atas keterlibatan dalam sebuah demonstrasi pada 2021.
- Tiga WNI 'diproses hukum' di AS dan satu lainnya dideportasi imbas kebijakan Trump Rizal Mallarangeng keluhkan pemulangan anaknya dari AS
- Sebelas kematian warga kulit hitam yang memicu gelombang protes besar di Amerika Serikat
- 'Apa yang kamu pikirkan ketika lututmu menindih leher kakakku?' Pembunuh George Floyd dipenjara 22 tahun
Pada 16 April 2021, Aditya Harsono adalah salah satu dari sekitar 1.000 orang yang berunjuk rasa setelah seorang warga kulit hitam bernama George Floyd oleh polisi Minneapolis.
Polisi menangkap Harsono dalam protes tersebut pada pukul 11.13 waktu setempat atau 13 menit setelah jam malam diberlakukan.
Selain itu, Aditya Harsono memiliki catatan kriminal pada 2022, yaitu menimbulkan kerusakan pada properti dengan menyemprotkan grafiti pada trailer. Aditya kemudian menjalani hukuman percobaan.
Mengapa Aditya ditangkap?
Setelah Aditya Harsono ditangkap aparat imigrasi AS, hakim imigrasi kemudian menggelar sidang jaminan pada 10 April. Gad, pengacara Aditya, berdalih kliennya tidak menimbulkan ancaman sehingga dia harus dibebaskan.
Hakim imigrasi sepakat dengan argumen Gad dan memerintahkan Aditya membayar uang jaminan sebesar US$5.000.
"Ia diberikan jaminan oleh hakim imigrasi, yang memberi kami sedikit harapan tetapi keringanan itu tidak bertahan lama," kata Peyton, istri Aditya.
Menurut Gad, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengajukan banding terhadap putusan hakim imigrasi.
Gad dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa pejabat federal tampaknya lebih tertarik pada riwayat protes politik kliennya daripada catatan kriminalnya.
"[Aksi protes Aditya] adalah bukti pertama yang mereka ajukan untuk menentang jaminan, bukan kerusakan properti yang merupakan pelanggaran ringan," kata Gad.
Departemen Luar Negeri AS belum mengeluarkan komentar atas kasus ini.
Pada Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan bahwa negaranya memiliki hak untuk mencabut visa bagi pelajar yang "berpartisipasi dalam gerakan yang melakukan hal-hal seperti vandalisme di universitas, pelecehan terhadap pelajar, pengambilalihan gedung, pembuatan keributan, [dan] kami tidak akan memberikan visa kepada Anda."
Peyton kini berupaya menggalang dana melalui situs Gofundme guna kebutuhan hidup keluarganya.
"Kami memiliki seorang putri berusia delapan bulan yang membutuhkan ayahnya. Setiap hari ia mencari ayahnya. Ini sangat traumatis bagi kami semua, terutama putri kami," tulis Peyton dalam situs GoFundme.
"Kami ingin Aditya pulang ke tempat yang seharusnya bersama keluarganya."
- Donald Trump jadi presiden lagi, apakah diaspora Indonesia di AS perlu khawatir?
- Pertanyaan sederhana yang mengungkap rasisme di Amerika Serikat
- Vonis persidangan kasus George Floyd dan titik balik sejarah AS dalam 'rasisme sistemik'
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini