Konsesi Tambang dan Distorsi Perguruan Tinggi

3 weeks ago 29

Jakarta -

Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) merencanakan untuk melegalisasikan perguruan tinggi di Indonesia untuk mendapatkan konsesi tambang. Tentu ini regulasi yang perlu ditelaah secara matang karena implementasinya akan mempunyai implikasi yang penting terhadap fungsi pendidikan tinggi.

Sebagaimana yang diketahui, Undang-Udang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 4) menyatakan ada tiga fungsi pendidikan tinggi yakni; 1) mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; 2) mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan tridharma; dan 3) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.

Menurut hemat saya tiga fungsi tersebut akan terganggu atau mengalami distorsi jika perguruan tinggi diberikan konsesi tambang. Mengapa demikian? Pertama, pemberian konsesi tambang menempatkan perguruan tinggi menjalankan bisnis inti baru yakni aktivitas profit dalam skala besar. Ini akan mengubah bisnis inti perguruan tinggi dari sebagai entitas yang nirlaba menjadi entitas pencari laba pada bisnis tambang.

Bisnis tambang bukan bisnis yang bisa dikerjakan sambilan, sekalipun di lapangan diserahkan pada badan usaha yang dimiliki oleh satu perguruan tinggi. Bisnis ini adalah bisnis besar yang membutuhkan energi dan fokus perhatian yang besar. Oke, katakanlah perguruan tinggi tersebut mendirikan badan usaha bisnis untuk mengelola konsesi tambang ini. Tapi perguruan tinggi yang mendapatkan konsesi tambang harus memecahkan masalah bisnis penting yang dihadapi badan usaha bisnis yang mereka dirikan yakni modal. Modal bisnis tambang bukan modal kecil.

Sebagai contoh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan kepada NU seluas 26 ribu hektar bekas PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur. Ternyata NU sebagai pemilik konsesi tambang tidak otomatis bisa menambang, Ormas keagamaan terbesar di Indonesia tersebut harus membayar Kompesasi Data Informasi (KDI) yang nanti menjadi pendapatan nasional bukan pajak.

KDI berupa kompensasi yang harus dibayar penambang baru (NU) atas data yang sudah diperoleh dari KPC terkait data pengeboran seperti besar cadangan batu bara, kualitas batu bara, ada di mana posisi batu bara di 26 ribu hektar bekas lahan tambang PT KPC tersebut. Besar KDI yang harus dikeluarkan menurut Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo diperkirakan di atas Rp 500 miliar untuk area 26 ribu hektar bekas KPC.

Artinya, bisnis pertambangan ini adalah bisnis besar yang untuk akses modalnya saja perguruan tinggi tidak bisa dengan mudah memenuhinya. Itu juga bermakna, seandainya perguruan tinggi mampu menghadirkan modal untuk bisnis besar ini maka dapat dipastikan bisnis utamanya yang diamanahkan oleh UU pendidikan tinggi menjadi dikesampingkan.

Bisnis inti dari pendidikan tinggi Indonesia (Pasal 4 UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) adalah pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Bisnis inti ini dibebankan kepada perguruan tinggi karena melalui bisnis inti ini mereka membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fungsi penting pendidikan tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui aktivitas pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat akan dikesampingkan jika mereka harus mengelola entitas bisnis sekaliber bisnis pertambangan ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perguruan tinggi adalah penjaga objektivitas bangsa; sumber referensi penting untuk beragam stakeholder bangsa ketika mereka membutuhkan pandangan yang objektif tentang satu masalah. Mereka dipercaya menjaga objektivitas dalam menilai dan memberikan keputusan terhadap isu-isu penting dihadapi masyarakat termasuk dampak negatif pertambangan terhadap kehidupan masyarakat.

Pertambangan adalah bisnis yang selalu berkelindan dengan eksternalitas negatif. Empat eksternalitas negatif pertambangan; pertama, degradasi lingkungan seperti penggundulan hutan, erosi tanah, dan pencemaran air yang berdampak pada ekosistem dan masyarakat (Ligang dan Meijuan, 2020; Haddaway dkk, 2019). Kedua, masalah kesehatan (Olusola dkk, 2024) seperti penyakit pernapasan dan kanker akibat paparan bahan kimia. Ketiga, konflik sosial (Leonard, 2024) seperti penggusuran dan pengusiran masyarakat lokal. Keempat, hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal (Singh, 2011).

Meragukan untuk melihat perguruan tinggi tetap bisa menjadi entitas yang objektif ketika ia sudah masuk menjadi pelaku bisnis tambang ketika diminta untuk menilai secara objektif terkait isu-isu pertambangan yang berdampak negatif.

Karena bisnis ini meniscayakan modal raksasa, jaringan bisnis dan pemasaran, serta tenaga profesional dalam pengelolaannya maka bisnis ini meniscayakan "kolaborasi" dengan pelaku bisnis tambang yang sudah mapan dan sukses. Kolaborasi bisnis seperti ini sebenarnya menempatkan perguruan tinggi di posisi broker; hanya punya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tetapi modal, jaringan bisnis, SDM profesional didukung oleh kekuatan bisnis tambang yang sudah mapan.

Perguruan tinggi mendapatkan bagi hasil yang sebenarnya lebih identik dengan fee karena kepemilikan IUPK. Kolaborasi yang sedemikian ini hakikatnya adalah kooptasi; menempatkan perguruan tinggi sebagai alat kepentingan industri tambang untuk menjustifikasi dan membenarkan semua perilaku industri ini, menjadi public relation industri tambang, dan akan semakin memprihatinkan kalau ternyata yang menjadi patron perguruan tinggi dalam bisnis tambang tersebut ternyata adalah oligarki tambang.

Andi Irawan Guru besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial